Selasa, 30 Agustus 2016

BERIHRAM





MEMULAI IHRAM

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
Artinya: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”. (QS. Al Baqarah: 197)
لاَ تَلْبَسُوا الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ
Artinya: “Janganlah kalian memakai ghamis, surban, celana, burnus (baju yang mempunyai penutup kepala)…”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Makna Ihram ?
Pengertian Ihram Dalam Ibadah Haji. Menurut Wikipedia. Ihram adalah keadaan seseorang yang telah beniat untuk melaksanakan ibadah haji dan atau umrah. Mereka yang melakukan ihram disebut dengan istilah tunggal "muhrim" dan jamak "muhrimun". Calon jamaah haji dan umrah harus melaksanakannya sebelum di miqat dan diakhiri dengan tahallul.

Menurut Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin-Ihram adalah niat haji atau umrah. Yaitu ikatan hati untuk masuk dalam ibadah haji atau umrah. Dan bila seseorang telah masuk dalam ibadah haji atau umrah maka dia terlarang melakukan hal-hal yang dilarang bagi orang yang sedang ihram.
Ihram secara bahasa berasal dari kata أحرم يحرم إحراماً, yaitu seseorang jika berniat haji atau umrah dan melaksanakan sebab dan syarat-syaratnya, siapa yang telah melepaskan pakaian yang membentuk tubuhnya dan menjauhi seluruh perkara yang dilarang syariat Islam ketika ihram, seperti; minyak wangi, nikah, berburu dan semisalnya, berarti dia berihram.
Dan asal kata ihram artinya adalah larangan, seakan-akan seorang yang sedang ihram dilarang dari beberapa hal.
Makna lain dari seorang yang berihram di bulan-bulan suci adalah jika dia masuk ke dalam tanah suci. (Lihat kitab An NIhayah fi Gharib Al Atsar, karya Ibnu Al Atsir, 12/3)
Jadi, arti ihram secara mudah dipahami adalah niat masuk ke dalam ibadah haji atau umrah. (Lihat kitab Manasik Al Hajj wa al Umrah, karya syeikh DR. Sa’id bin Wahf Al Qahthani
Pakian Ihram ?
Pakaian Ihram ialah pakaian yang dipakai oleh orang yang melakukan ibadah haji dan umrah dengan ketentuan:
  1. Bagi pria memakai dua helai kain yang tidak berjahit, satu diselendangkan di bahu dan satu disarungkan menutupi pusar sampai dengan lutut. pada waktu melaksanakan tawaf, di sunnahkan memakai kain Ihram dikenakan dengan cara idtiba, yaitu dengan membuka bahu sebelah kanan dengan membiarkan bahu sebelah kiri menutup kain Ihram. Tidak boleh memakai baju, celana atau kain biasa. Diperbolehkan memakai ikat pinggang, jam tangan dan alas kaki yang tidak menutup mata kaki ketika shalat, sunatnya diselendangkan di atas kedua bahu hingga dada sehingga kedua pundaknya tertutup.
  2. Bagi wanita memakai pakaian yang menutup seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan.
Sunat sebelum berihram : mandi, memakai minyak wangi, menyisir rambut dan memotong kuku.

Anjuran Bagi Berihram ?
Jika seseorang yang ingin melakukan haji atau umrah sampai di miqat, maka dia harus berihram dan sebelum berihram dianjurkan melakukan hal-hal berikut:
1) Dianjurkan memotong kuku, menipiskan kumis, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْفِطْرَةُ خَمْسٌ – أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ – الْخِتَانُ وَالاِسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ ».
Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Fitrah manusia ada lima; khitan, menghabiskan bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, menipiskan kumis”. (HR. Bukhari dan Muslim)
2) Dianjurkan mandi yang mengangkat hadats besar.
عَنْ ثَابِتٍ رَأَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- تَجَرَّدَ لإِهْلاَلِهِ وَاغْتَسَلَ.
Artinya: “Tsabit radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan pernah melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melepaskan pakaiannya dan mandi untuk berihram”. (HR. Tirmidzi)
Bahkan wanita haid dan nifaspun dianjurkan mandi untuk berihram:
قَالَ النبي صلى الله عليه و سلم لأسماء بنت عميس رضي الله عنها « اغْتَسِلِى وَاسْتَثْفِرِى بِثَوْبٍ وَأَحْرِمِى ».
Artinya: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaih wasallam bersabda kepada Asma binti Umais yang sedang nifas dan ingin berihram: “Mandi, tutup dengan pembalut dan beihramlah”. (HR. Muslim)
3) Dianjurkan memakai minyak wangi di kepala, janggut dan badan.
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَرَادَ أَنْ يُحْرِمَ يَتَطَيَّبُ بِأَطْيَبِ مَا يَجِدُ ثُمَّ أَرَى وَبِيصَ الدُّهْنِ فِى رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ بَعْدَ ذَلِكَ.
Artinya: “Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika ingin berihram beliau memakai minyak wangi paling wangi yang beliau dapati, maka aku melihat bekas minyak wangi tersebut di kepala dan jenggot beliau setelah”. (HR. Muslim)
4) Untuk laki-laki berihram dengan memakai dua kain ihram, dan diutamakan berwarna putih karena dia adalah warna sebaik-baik pakaian.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما, قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم: « وَلْيُحْرِمْ أَحَدُكُمْ فِى إِزَارٍ وَرِدَاءٍ وَنَعْلَيْنِ ».
Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hendaknya salah seorang dari kalian berihram di dalam (memakai) kain sarung, surban dan dua sandal”. (HR. Ahmad)
untuk wanita diperbolehkan memakai pakaian apa saja yang diperbolehkan oleh syari’at ketika keluar rumah.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتِ : الْمُحْرِمَةُ تَلْبَسُ مِنَ الثِّيَابِ مَا شَاءَتْ إِلاَّ ثَوْبًا مَسَّهُ وَرْسٌ أَوْ زَعْفَرَانٌ وَلاَ تَتَبَرْقَعُ وَلاَ تَلَثَّمُ وَتَسْدُلُ الثَّوْبَ عَلَى وَجْهِهَا إِنْ شَاءَتْ.
Artinya: “Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Wanita muhrim memakai dari pakaian apa saja yang dia kehendaki kecuali pakaian yang terkena wars (tanaman kuning yang dipakai untuk mewarnai kain) atau za’faran, dan tidak boleh memakai burqu’ (sesuatu yang dipakai menutupi wajah sehingga hampir menutup mata), tidak menutup mulut, dan menjulurkan kain di atas wajahnya jika dia menginginkan”. (HR. Al Baihaqi dan dishahihkan di dalam kitab Irwa Al Ghalil, 4/212)
5) Ketika sudah di atas kendaraan menghadap kiblat dan berniat di dalam hati untuk melakukan manasik.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما – قَالَ أَهَلَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلمحِينَ اسْتَوَتْ بِهِ رَاحِلَتُهُ قَائِمَةً .
Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berihram ketika hewan tunggangannya berdiri tegak”. (HR. Bukhari)
Bagi yang berhaji tamattu’ berniat melaksanakan ibadah umrah, dan mengucapkan: “Allahumma labbaika ‘umratan atau Labbaika Umratan”.
Bagi yang haji qiran berniat melaksanakan ibadah haji dan umrah secara bersamaan dan mengucapkan: “Allahumma labbaika umratan wa hajjan atau labbaika umratan wa hajjan “,
sedangkan bagi yang haji ifrad berniat melaksanakn ibadah haji saja dan mengatakan: “Labbaika hajjan atau Allahumma labbaika hajjan”.
6) Apabila khawatir tidak bisa menyempurnakan umrah maupun hajinya, disyari’atkan mengucapkan:
إِنْ حَبَسَنِيْ حَابِسٌ فَمَحِلّيِ حَيْثُ حَبَسْتَنِيْ
Artinya: “Jika ada sesuatu yang menghalangiku maka tempat bertahallulku dimana Engkau menahanku”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Mulai di sini dia merupakan orang yang berihram atau disebut Muhrim.
Dan semenjak itu disunnahkan baginya membaca talbiyah:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ, لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ, إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
Disunnahkan untuk mengeraskan talbiyah bagi laki-laki,
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « جَاءَنِى جِبْرِيلُ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ مُرْ أَصْحَابَكَ فَلْيَرْفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالتَّلْبِيَةِ فَإِنَّهَا مِنْ شِعَارِ الْحَجِّ ».
Artinya: “Zaid bin Khalid al Juhaniy radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jibril telah mendatangiku, lalu berkata: “Wahai Muhammad perintahkan shahabat-shahabatmu agar mengangkat suara mereka dengan mengucapkan talbiyah, karena sesungguhnya ia adalah syiar haji”. (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no. 830)
Sedang bagi wanita hanya dengan suara yang rendah. Talbiyah ini terus dibaca dan berhenti sampai ingin melaksanakan thawaf
Hal-Hal yang dilarangan dalam Ihram
  1. Bagi pria dilarang: memakai pakaian berjahit (bertangkup), memakai sepatu/alas kaki yang menutupi mata kaki dan menutup kepala (seperti topi).
  2. Bagi wanita dilarang : berkaos tangan(menutup telapak tangan) dan menutup muka (bercadar).
  3. Bagi kedua-duanya dilarang : memakai wangi-wangian kecuali yang dipakai sebelum berihram, memotong kuku dan mencukur atau mencabut bulu badan, berburu atau menggangu/membunuh binatang dengan cara apapun, Nikah, menikahkan atau meminang wanita untuk dinikahi, bercumbu atau bersetubuh (rafas), mencaci atau bertengkar mengucap kata-kata kotor (fusuq atau jidal) dan memotong pepohonan di tanah haram.
Macamnya Fidyah ?
Pelaku larangan ihram tidak melebihi tiga keadaan;
1) Pelaku sengaja dan tidak ada alasan, maka dia harus bayar fidyah dan berdosa.
2) Pelaku sengaja dan mempunyai alasan yang dibenarkan syariat, maka dia harus bayar fidyah dan tidak dianggap berdosa.
3) Pelaku tidak sengaja, tidak mengetahui, dipaksa atau dalam keadaan tidur, maka dia tidak dikenakan sangsi apa-apa, meskpun dia bersetubuh.
4) Pelaku
Pembagian Larangan Ihram berdasarkan fidyah:
1) Larangan ihram yang tidak ada fidyah, seperti akad nikah.
2) Larangan ihram yang fidyahnya menyembelih onta atau sapi adalah bersetubuh sebelum tahallul awal.
3) Larangan ihram yang fidyahnya menyembelih hewan sepertinya, atau semisal dengannya atau bersedekah dengan seharganya adalah berburu hewan buruan darat yang liar.
4) Larangan ihram yang fidyahnya boleh menyembelih kambing, atau puasa 3 hari di tanah suci atau memberi makan kepada 6 fakir miskin adalah; mencukur rambut, mengunting kuku, memakai minyak wangi, menutup kepala bagi laki-laki dan memakai pakaian yang berjahit. (Lihat kitab Jami’ Al Manasik, karya Syeikh Sulthan Al ‘Ied, hal. 83-86)

Sumber :
1.Wikipedia, kemenag.go.id
2.https://moslemsunnah.wordpress.com
JAKARTA 30/8/2016
READ MORE - BERIHRAM

Senin, 29 Agustus 2016

I'JAZUL QUAR'AN




KEMU’JIZATAN AL-QUR’AN

قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآَنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
Katakanlah, “sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain. (QS. Al-Isra 17: 88)

Muqaddimah
Al-Quran tidak henti-hentinya diteliti dan dikaji. Kandungan kitab suci tersebut terus menerus digali oleh para pengkajinya. Mereka berusaha menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tentang otentisitas al-Quran, kebenaran kandungannya, nilai-nilai universal yang terkandung di dalamnya, dan eksistensi al-Quran sebagai mukjizat abadi Nabi Muhammad saw.
Kajian al-Quran sebagai mukjizat ini berkenaan dengan kehebatan al-Quran dalam menantang dan mengalahkan berbagai upaya orang-orang yang mencari atau mencari-cari kekurangan atau kelemahan al-Quran. Tantangan al-Quran dan kemampuan mengalahkan “musuh-musuhnya” itu ini dinamakan i’jaz atau mukjizat al-Quran.
I’jaz atau mukjizat al-Quran adalah studi tentang bagaimana al-Quran mampu melindungi dirinya dari beragam “serangan”, baik yang berbentuk ketidakpercayaan, maupun keragu-raguan sampai pengingkaran terhadapnya. Pada saat yang sama,           al-Quran juga mampu melakukan counter attack yang mampu mementahkan dan mengalahkan serangan-serangan tersebut.
Makalah ini akan membahas tentang pengertian i’jaz dan mukjizat, jenis-jenis mukjizat, segi-segi kemukjizatan al-Quran, dan faktor-faktor  yang menyebabkan kegagalan dan ketidakmampuan bangsa Arab-dan manusia pada umumnya-dalam menandingi  al-Quran.
Makna  I’jaz ?
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, “kata Mukjizat” diartikan sebagai kejadian yang luar biasa yang sukar dijangkau oleh akal pikiran manusia. Pengertian ini punya muatan yang berbeda dengan pengertian I’jaz dalam perspektif Islam.
I’jaz sesungguhnya menetepkan kelemahan  ketika mukjizat telah terbukti, maka yang nampak kemudian adalah kemampuan atau “mu’jiz” (yang melemahkan). Oleh sebab itu I’jaz al-Qur’an menampakkan kebenaran Muhammad dalam pengakuannya sebagai Rasul yang memperlihatkan kelemahan manusia dalam menandingi mukjizatnya.

Dari segi bahasa (etimologi), i’jaz berasal dari kata a’jaza  yu’jizu  i’jazan   yang artinya melemahkan, memperlemah, atau menetapkan kelemahan. Kata i’jaz sendiri awalnya berasal dari kata dasar a’jaza ya’jizu  yang artinya lemah atau tidak mampu. seperti dalam contoh: a’jaztu zaidan “aku mendapati Zaid tidak mampu”. Sedangkan menurut istilah  i’jaz didefinisikan oleh Manna Khalil al-Qaththan dan Ali al-Shabuny dalam tulisan Usman. Manna Khalil al-Qaththan mendefiniskan i’jaz sebagai “menampakan kebenaran Nabi saw dalam pengakuan orang lain, sebagai seorang rasul utusan Allah swt. dengan menampakkan kelemahan orang-orang Arab untuk menandinginya atau menghadapi mukjizat yang abadi, yaitu al-Quran dan kelemahan-kelemahan generasi-generasi sesudah mereka.”
Makna Mu’jizat ?
secara bahasa, mu’jizat juga berasal dari kata a’jaza yu’jizu i’jazan, yang artinya melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Sedangkan secara istilah, mu’jizat dapat didefinisikan oleh beberapa ulama, yaitu:
a.       Manna al-Qaththan dalam tulisan Rosihan sebagai “suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsur tantangan, dan tidak akan dapat ditandingi. Dari definisi ini, mukjizat mengandung arti menantang dan mengalahkan orang-orang yang meragukan dan mengingkari sabda Tuhan. Tantangan ini tidak bisa ditandingi oleh siapapun, karena Allah berkehendak untuk memenangkan semua “pertempuran,” sementara orang-orang ragu dan para pengingkar tersebut tidak mampu melawan Tuhan.
b.      Ali al-Shabuny mendefinisikan mukjizat sebagai “bukti yang datangnya dari Allah swt. yang diberikan kepada hamba-Nya untuk memperkuat kebenaran misi kerasulan dan kenabiannya.” Definisi ini menegaskan bahwa fungsi mukjizat memperkuat posisi nabi dan rasul, sehingga tidak seorang pun mampu menghancurkan posisi tersebut.
c.       Muhammad Bakar Ismali mendefinisikan mu’jizat sebagai  “perkara luar biasa yang disertai-dan diikuti-dengan tantangan yang diberikan Allah swt. kepada nabi-nabi-Nya sebagai hujjah dan bukti yang kuat atas misi dan kebenaran terhadap apa yang diembannya, yang bersumber dari Allah swt.”
Unsur-Unsur  Mukjizat ?
M. Quraish Shihab dalam tulisan Rosihan menjelaskan empat unsur mukjizat, yaitu:
1.         Hal atau peristiwa yang luar biasa. Peristiwa-peristiwa alam atau kejadian sehari-hari walaupun menakjubkan tidak bisa dinamakan mukjizat. Ukuran “luar biasa” tersebut adalah tidak bertentangan dengan hukum alam, namun akal sehat pada waktu terjadinya peristiwa tersebut belum bisa memahaminya.
2.         Terjadi atau dipaparkan oleh seorang Nabi. Artinya sesuatu yang luar biasa tersebut muncul dari atau berkenaan dengan seorang Nabi. Peristiwa besar yang muncul dari seorang calon Nabi tidak bisa dikatakan mukjizat, apalagi dari manusia biasa seperti kita.
3.         Mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian. Mukjizat terkait erat dengan tantangan dan jawaban terhadap orang-orang yang meragukan kenabian. Jadi peristiwa yang terkait dengan Nabi, tapi tidak berkenaan dengan kenabian tidak bisa dikatakan sebagai mukjizat.
4.         Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani. Mukjizat merupakan tantangan terhadap orang-orang yang meragukan atau mengingkari kenabiaan dan mereka tidak mampu melayani tantangan tersebut. Oleh karena itu, kalau tantangan tersebut mampu dilawan atau dikalahkan, maka tantangan tersebut bukan lah bentuk mukjizat.
Keempat unsur tersebut menjadi syarat bagi peristiwa tertentu sehingga peristiwa ini bisa dinamakan mukjizat. Kalau salah satu unsur tersebut tidak ada, maka persitiwa itu tidak bisa dikatakan sebagai mukjizat. Untuk memahami esensi keempat unsur mukjizat tersebut, kita mesti memahami segi-segi kemukjizatan, khususnya kemukjizatan al-Quran.
Aspek-aspek I’jaz Al-Quran dan Macamnya ?
Menurut Prof. Dr. S. Agil Almunawwar, mukjizat dapat dibagi menjadi dua bagian:
1.      Mukjizat “hissi”, ialah yang dapat dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dicium oleh hidung, diraba oleh tangan, dirasa oleh lidah, yang lebih tegas dapat dicapai oleh panca indera. Mukjizat ini sengaja ditunjukkan atau diperlihatkan pada manusia biasa, yakni mereka yang tidak biasa menggunakan keceerdasan pikirannya, yang tidak cakap pandangan hatinya dan yang rendah budi dan perasaannya.
2.      Mukjizat “ma’nawi”, ialah mukjizat yang tidak mungkin dapat dicapai dengan kekuatan panca indera, tetapi harus dicapai dengan kekuatan “aqli” atau dengan kecerdasan pikiran. Karena orang tidak akan mungkin mengenal mukjizat ini melainkan yang berpikir sehat, bermata hati yang nyalang, berbudi luhur dan yang suka mempergunakan kecerdasan pikirannya dengan jernih dan jujur.
Al-Qaththan mengemukakan tiga aspek I’jaz al-Quran yaitu:
1.      Kemukjizatan al-Quran
Para ahli bahasa terpukau dengan keindahan gaya bahasa al-Quran. Al-Baghalani mengemontari bahwa keindahan bahasa al-Quran dengan berbagai formulasi berbeda dengan system dan tata urutan umum yang dikenal oleh orang Arab.
Bahasa atau kalimat-kalimat al-Quran adalah kalimat-kalimat yang menakjubkan yang sangat signifikan perbedaannya dengan kalimat diluar al-Quran. Al-Quran mampu mengeluarkan sesuatu yang absatrak  kepada fenomena yang dapat dirasakan sehingga didalmnya ada dinamika. Adapun huruf tidak lain hanya symbol makna-makna. Sementara lafadz memiliki petunjuk etimologis yang berkaitan dengan makna tersebut. Menuangkan makna-makna yang abstrak tersebut kepada bathin seseorang dan kepada hal-hal yang biasa dirasakan (al-mahsusat) yang bergerak didalam imajinasi dan perasaan bukan hal yang mudah dilakukan.
Termasuk kesulitan seseorang yang menundukan seluruh kata dalam  satu bahasa, untuk setiap makna dan imajinasi yang digambarkannya, sementara al-Quran tidak berbicara dengan sebuah kata  kecuali dengan sebuah makna yang dikehendaki pada tingkat kedalaman yang paling tinggi. Hal ini merupakan bagian dari I’jaz Al-Quran.
2.      Kemukjizatan Ilmiah
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa  al-Quran ada yang mengandung teori ilmiah. Hal tersebut bahkan mendapat sambutan hangat dan mengalami perkembangan yang pesat, namun disisi lain mendapat keritikan dari sebagian ulama, seperti Al-Syatibi dalam bukunya beliau mengatakan, “banyak yang bersifat keterlaluan dalam memahami al-Quran sehingga mereka mengaitkannya dengan semua ilmu pengetahuan”.
Kemukjizatan al-Quran tidak sekedar meletakkan pada cakupannya dengan teori-teori ilmiah saja yang selalu baru dan berubah, tetapi cakupannya terletak pada motifasinya untuk berpikir menggunakan akal. Dari sudut pandang ini Imam Al-Ghazali serius dalam menggalakkan penafsiran ilmiah.
3.      Kemukjizatan Tasyri
Dalam sejarah peradaban umat manusia telah banyak system dan perundang-undangan yang dikenal dan diikuti, namun tidak ada aturan yang bisa menyamai system perundang-undangan Islam.[7] System perundan-undangan Islam tersebut meliputi berbagai aspek kehidupan manusia, tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu serta akan menjadi system yang dirindukan oleh manusia sepanjang zaman.
Al-Baqalani juga menitipberatkan aspek I’jaz Al-quran pada tiga hal, yaitu:
1.      Rasulullah tidak mengenal baca tulis al-Quran (ummi) kenyataan ini merupakan bukti konkrit bahwa al-Quran bukan bikinan Muhammad.
2.      Info al-Quran tentang persoalan-persoalan ghaib, misalnya kemenangan Romawi atas Persia setelah Persia mengalahkan Romawi.
3.      Tidak ada kontradiksi dalam al-Quran. Sekiranya hasil karya Muhammad maka pasti akan terjadi kontradiksi didalamnya.
Sementara Al-Qurtubi mengemukakan sepuluh aspek I’jaz Al-Quran yaitu:
1.      Aspek bahasanya yang mengungguli seluruh cabang bahasa Arab
2.      Aspek bahasanya yang mengungguli keindahan bahasa Arab
3.      Aspek eksistensinya yang tak tertandingi
4.      Aspek hukumnya yang universal dan manusia
5.      Aspek informasinya yang menembus persoalan-persoalan ghaib
6.      Aspek keteraturan dan sejalan dengan sains (natural science)
7.      Aspek pengetahuan yang dikandungnya
8.      Aspek kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia
9.      Aspek pengaruhnya terhadap kalbu manusia
10.  Aspek kebenaran atas janji-janjinya, baik berupa rahmat atau ancaman.

Syeikh Muhammad Ali al-Shabuniy dalam tulisan Usman menyebutkan segi-segi kemukjizatan al-Quran, yaitu:
1.         Keindahan sastranya yang sama sekali berbeda dengan keindahan sastra yang dimiliki oleh orang-orang Arab
2.         Gaya bahasanya yang unik yang sama sekali berbeda dengan semua gaya bahasa yang dimiliki oleh bangsa  Arab
3.         Kefasihan bahasanya yang tidak mungkin dapat ditandingi dan dilakukan oleh semua makhluk termasuk jenis manusia
4.         Kesempurnaan syariat yang dibawanya yang mengungguli semua syariat dan aturan-aturan lainnya
5.         Menampilkan berita-berita yang bersifat eskatologis yang tidak mungkin dapat dijangkau oleh otak manusia kecuali melalui pemberitaan wahyu al-Quran itu sendiri
6.         Tidak adanya pertentangan antara konsep-konsep yang dibawakannya dengan kenyataan kebenaran hasil penemuan dan penyelidikan ilmu pengetahuan
7.         Terpenuhinya setiap janji dan ancaman yang diberitakan al-Quran
8.         Ilmu pengetahuan yang dibawanya mencakup ilmu pengetahuan syariat  dan ilmu pengetahaun alam (tentang jagat raya).
9.         Dapat memenuhi kebutuhan manusia
10.     Dapat memberikan pengaruh yang mendalam dan besar pada hati para pengikut dan musuh-musuhnya
11.     Susunan kalimat dan gaya bahasanya terpelihara dari paradoksi dan kerancuan.
Perbedaan Aspek Kemu’jizatan  al-Qur’an ?
Para ulama telah menyebutkan aspek-aspek kemukjizatan al-Quran. Namun demikian mereka berbeda pendapat dalam meninjau segi kemukjizatan al-Quran. Perbedaan itu adalah sebagai berikut:
1.      Abu Ishaq Ibrahim An-Nazham dan pengikutnya dari kaum syi’ah berpendapat, bahwa kemukjizatan al-Quran adalah dengan cara shifrah (pemalingan). Arti shifrah dalam pandangan An-Nazam ialah, Allah memalingkan orang-orang arab untuk menantang al-Quran, padahal sebenarnya mereka mampu menghadapinya.
2.      Sebagian ulama berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran adalah karena ia mengandung badi’ yang sangat unik dan berbeda dengan apa yang telah dikenal oleh orang-orang arab seperti fashilah dan maqtha’.
3.      Sebagian yang lain berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran itu terkandung balaghah tangkat tinggi, redaksinya yang bernilai sastra dan susunannya yang indah, karena nilai sastra yang terkandung dalam al-Quran itu sangat tinggi dan tidak ada bandingannya.
4.      Ulama lain berpendapat bahwa kemukjizatan itu karena al-Quran terhindar dari adanya pertentangan, dan mengandung arti yang lembut dan memuat hal-hal ghaib diluar kemampuan manusia dan diluar kekuasaan mereka untuk mengetahuinya.
5.      Ada juga ulama yang berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran adalah mengandung bermacam-macam ilmu dan hikmahyang sangat dalam, baik dalam permulaan, tujuan maupun dalam menutup setiap surat.
DAFTAR PUSTAKA
Bucaille, Maurice. Bible, Quran, dan Sains Modern. Terjemahan H.M. Rasyid. Jakarta: Bulan Bintan, 1978.
Daffer, Ahmad Van. Ulumul Quran: an Introduction to the Silences of the Quran, diterjemahkan oleh Ahmad Nasir Budiman dengan Judul Ilmu Al-Quran: Pengantar Dasar. Cet. I; Jakarta: Rajawali, 1998.
Departemen agama RI., Al-Quran dan Terjemahannya. Semarang. CV. Toha Putra, 1989.
Al-Jarimi, Ali dan Mustafa Amin. Al-balaqah, Albalaqah Al-Wadihah. Jakarta: Jaya Murni, 1973.
Al-Munawwar, Agil Husin, S., H. Dr. MA., I’jaz A-Quran dan Metodologi Tafsir. Semarang: Dina Utama, 1994.
Al-Qaththan, Manna Khalil. Mabahits fi Ulumil Quran, diterjemahkan oleh Muzakkir AS. Dengan judul Studi-Studi Ilmu Al-Quran. Cet. Bogor: Pustaka Lentera Antara Nusa, 1996.
Al-Shaleh, Sabhi. Mahahis fi Ulum Al-Quran. Beirut: Dar al-Ilm li al-Malyin, t. th.
Al-Suyuthi, Jalaluddin. Al-Itqan fi Ulum al-Quran, Jilid. II, Beirut: Dar al-Fikr, 1997.
Shihab, M. Quraish. Mukjizat Al-Quran dari Segi Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan yang Ghaib. Cet. IV; Bandung: Mizan 1998.
---------------, dkk. Sejarah dan Ulum Al-Quran dalam Azyumardi Azra (ed). Jakarta Pustaka Firdaus, 2000.
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jilid I, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987.
Al-Zahabi, M. Husain. ‘Altijaht Al-Munharifat fi Tafsir Al-Quran Al-Karim Dawafiuhu Wadafuhu, diterjemahkan oleh Machnun Husain dengan judul Penyimpangan dalam Penafsiran Al-Quran. Cet. IV; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
JAKRTA 29/8/2016
READ MORE - I'JAZUL QUAR'AN
 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman