Kamis, 31 Maret 2016

BERJAMA'AH DI RUMAH




HUKUM BERJAMA’AH DI RUMAH

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (سورة التحريم: 6)
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. At-Tahrim: 6)
Rasulullah saw bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ : الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا (رواه البخاري، رقن  853 ومسلم، رقم 1829)
"Semua kalian adalah pemimpin dan kalian akan ditanya tentang orang-orang yang kalian pimpin. Kepala negara adalah pemimpin, dan akan ditanya tentang kepemimpinannya, seorang bapak pemimpin dalam keluarganya, dan dia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang ibu pemimpin di rumah suaminya." (HR. Bukhari, no. 853, Muslim, 1829)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ما من عبد يسترعيه الله رعية يموت يوم يموت وهو غاش لرعيته إلا حرم الله عليه الجنة (رواه البخاري، رقم 6731 ومسلم، رقم 142).
"Tidaklah seorang hamba Allah berikan kepadanya wewengan untuk mengurus orang yang dipimpinnya, namun ketika mati dia berada dalam keadaan menipu rakyatnya, niscaya Allah akan haramkan surga untuknya." (HR. Bukhari, no. 6731, dan Muslim, no. 142)
صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Shalat jama’ah lebih utama dari shalat sendirian sebanyak 27 derajat” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berjama’ah di SELAIN Masjid
Para ulama berbeda pendapat dalam hukum shalat berjamaah di tempat selain masjid dalam tiga pendapat:
Pendapat pertama: Boleh dilakukan di tempat selain masjid.
Ini pendapat Malik, Syafi’i dan riwayat dari Imam Ahmad, ia juga madzhab Hanifiyyah.
Ibnul Qasim berkata, “Aku bertanya kepada Malik tentang orang yang shalat fardhu dengan istrinya di rumahnya?” ia menjawab, “Tidak apa-apa hal itu”[1]
Imam Syafi’i –rahimahullah– berkata, “Setiap jamaah yang padanya shalat seseorang di rumahnya atau di masjid, kecil atau besar, sedikit atau banyak, maka ia sah. Dan masjid yang terbesar serta banyak jamaahnya lebih aku sukai.”[2]
Al-Rafi’i dari kalangan Syafi’iyyah berkata, “Berjamaah di rumah lebih baik dari pada sendirian di masjid.”
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni[3] berkata, “Dan boleh melakukannya (shalat berjamaah) di rumah atau di padang pasir”
Dalil-dalilnya
Mereka berdalil dengan hadis-hadis berikut:
1. Hadis Jabir Radhiyallahu ‘anhu secara marfu, “Dan aku diberi lima perkara … “ lalu disebutkan, “Dan dijadikan bagiku bumi/tanah sebagai masjid dan tempat yang suci. Siapapun yang dari umatku yang mendapati waktu shalat maka shalatlah.”[4]
2. Dari Anas, ia berkata, “Rasulullah adalah orang yang paling baik akhlaknya. Terkadang saat waktu shalat datang beliau sedang berada di rumah kami. Kemudian beliau memerintahkan untuk hamparan di bawahnya, lalu beliau menyapunya dan memercikan air, dan Rasulullah shalat bersama kami menjadi imam sementara kami berdiri di belakang beliau.”[5]
3. Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Rasulullah shalat di rumahnya dalam keadaan sakit. Beliau shalat dengan duduk sementara sekelompok orang shalat dengan berdiri di belakangnya, lalu beliau memberi isyarat agar mereka duduk.”[6]
Mereka juga berdalil dengan hadis-hadis lain, yang tidak cukup untuk disebutkan dalam kesempatan ini.
Pendapat kedua: Tidak boleh dilakukan oleh seorang laki-laki kecuali di masjid.
Pendapat ini merupakan riwayat lain dari Imam Ahmad dan Ibnul Qayyim merajihkan pendapat ini, ia berkata dalam “Kitab Shalat”, “Siapapun yang memperhatikan sunnah dengan baik, akan jelas baginya bahwa mengerjakannya di masjid hukumnya fardhu ain. Kecuali jika ada halangan yang membolehkannya untuk meninggalkan shalat jumat dan shalat berjamaah. Maka tidak datang ke masjid tanpa uzur, sama dengan meninggalkan shalat berjamaah tanpa uzur. Dengan demikian saling bersepakatlah hadis-hadis dan ayat-ayat.”[7]
Beliau juga berkata, “Dan yang kami yakin adalah tidak boleh bagi seorang pun meninggalkan jamaah di masjid kecuali karena uzur, wallahu a’lam bish shawab.”[8]
Sebagian mereka membatalkan shalat orang yang berjamaah di rumahnya. Abul Barakat (dari kalangan madzhab hambali) berkata, “Jika ia menyelisihi kemudian shalat berjamah di rumahnya, maka tidak sah, kecuali ada uzur, sesuai dengan pendapat yang dipilih bahwa meninggalkan jamaah berarti melakukan larangan.”[9]
Dalam Syarh Fathul Qadir, “Dan al-Hulwani ditanya tentang orang yang mengumpulkan anggota keluarganya kadang-kadang, apakah mendapatkan pahala berjamaah?” ia menjawab, “Tidak, ia menjadi bid’ah dan dibenci tanpa uzur.”
Dalil-dalilnya
Ulama yang berpendapat dengan pendapat ini berdalil dengan hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya berjamaah dan bahwa ia hukumnya fardhu ain. Kemudian ulama madzhab Syafi’i berselisih pendapat dalam masalah mendirikan shalat berjamaah di selain masjid, apakah menggugurkan fardhu kifayahnya atau tidak? Mereka berbeda pendapat ke dalam dua pendapat: Pertama, tidak cukup mendirikannya di selain masjid untuk menegakkan perbuatan yang fardhu. Kedua, cukup jika tempatnya ramai, seperti shalat berjamah di pasar misalnya.
Ibnu Daqiq al-Ied –rahimahullah– berkata, “Yang pertama menurutku adalah yang lebih shahih. Karena asal pensyariatannya adalah shalat berjamaah di masjid. Ia adalah pensifatan yang muktabar yang tidak bisa dihilangkan.”
Pendapat ketiga: dibedakan antara yang mendengar azan, maka ia tidak sah kecuali di masjid. Dan orang yang tidak mendengar azan, maka tidak sah shalatnya kecuali dengan berjamaah.
Ini pendapat Ibnu Hazm Adz-Dzahiri. Ia berkata dalam “Al-Muhalla”, “Dan tidak sah salah fardhu seseorang ketika mendengar azan untuk mengerjakannya kecuali di masjid bersama imam. Jika ia sengaja meninggalkan tanpa uzur, maka shalatnya batal. Jika ia tidak mendengar azan, maka wajib baginya shalat berjamaah dengan satu orang atau lebih. Jika ia tidak mengerjakannya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali jika ia tidak menemukan seorang pun untuk shalat bersamanya, maka ia sah, kecuali bagi yang memiliki uzur, maka juga sah jika ia meninggalkan jamaah.”[10]
Ibnu Taimiyyah berkata dalam “Al-Fatawa Al-Mishriyyah”, “Apakah orang yang shalat berjamaah di rumahnya, gugur darinya kewajiban datang ke masjid? Dalam masalah ini terdapat perselisihan, dan hendaknya tidak meniggalkan jamaah di masjid kecuali ada uzur.”[11]
Footnote
[1] Al-Mudawwanah al-Kubra (1/86)
[2] Al-Umm (1/136)
[3] (3/8)
[4] Al-Lu`lu wal Marjan fiimat tafaqa ‘alaihi As-Syaikhan (1/104)
[5] As-Sunan al-Kubra vol, 3, hal. 66
[6] Shahih Al-Bukhari (1/169), Bab 51 kitab al-adzan.
[7] Kitab as-Shalah, Ibnul Qayyim, hal. 461 dan yang setelahnya.
[8] Idem
[9] Al-Insaf, al-Wardawi (2/123, 214)
[10] Al-Muhalla (4/265)
[11] Mukhatashar al-Fatawa al-Mishriyyah, Ibnu Taimiyyah, hal. 52
jakarta 31/3/2016
READ MORE - BERJAMA'AH DI RUMAH

SHALAT BERJAMA'AH





HUKUM-HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN SHALAT BERJAMA’AH

Shalat berjama’ah memiliki adab dan hukum-hukum yang terkait. Semua ini karena kedudukannya memiliki arti penting dalam Islam. Sementara itu, banyak kaum muslimin yang belum mengetahui hal ini. Banyak dijumpai dalam shalat berjama’ah, mereka kurang memperhatikan adab dan hukum yang terkait. Menyebabkan mereka terjerumus ke dalam kesalahan dan dosa, bahkan kebid’ahan.
BATASAN MINIMAL PESERTA SHALAT BERJAMA’AH
Batasan minimal untuk shalat jama’ah ialah dua orang. Seorang imam dan seorang makmum. Jumlah ini telah disepakati para ulama.
Ibnu Qudamah menyatakan,“Shalat jama’ah dapat dilakukan oleh dua orang atau lebih. Kami belum menemukan perbedaan pendapat dalam masalah ini.”[1]
Demikian juga Ibnu Hubairoh menyatakan,“Para ulama bersepakat, batasan minimal shalat jama’ah ialah dua orang. Yaitu imam dan seorang makmum yang berdiri di sebelah kanannya.” [2]
Shalat jama’ah dianggap sah, walaupun makmumnya seorang anak kecil atau wanita. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ فَقُمْتُ أُصَلِّي مَعَهُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَأَخَذَ بِرَأْسِي فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ
Aku tidur di rumah bibiku, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun mengerjakan shalat malam. Lalu aku turut shalat bersamanya dan berdiri disamping kirinya. Kemudian beliau meraih kepalaku dan memindahkanku ke samping kanannya. [3]
Demikian juga hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِ وَبِأُمِّهِ قَالَ فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ وَأَقَامَ الْمَرْأَةَ خَلْفَنَا
Sesungguhnya Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat mengimami dia dan ibunya. Anas berkata, “Beliau menempatkanku di sebelah kanannya dan wanita (ibunya) di belakang kami.” [4]
Semakin banyak jumlah makmum, maka semakin besar pahalanya dan semakin disukai Allah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ وَمَا كَانُوا أَكْثَرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Shalat bersama orang lain lebih baik daripada shalat sendirian. Shalat bersama dua orang lebih baik daripada shalat bersama seorang. Semakin banyak (yang shalat) semakim disukai Allah Azza wa Jalla. [5]
Demikian juga seorang anak kecil yang telah mumayiz, boleh menjadi imam menurut pendapat yang rajih. Hal ini berdasarkan hadits Amru bin Salamah Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ جِئْتُكُمْ وَاللَّهِ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقًّا فَقَالَ صَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا وَصَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا فَنَظَرُوا فَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَكْثَرَ قُرْآنًا مِنِّي فَقَدَّمُونِي بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَأَنَا ابْنُ سِتٍّ أَوْ سَبْعِ سِنِينَ
Ketika terjadi penaklukan kota Makkah, setiap kaum datang menyatakan keislaman mereka. Bapakku datang menyatakan keislaman kaumku. Ketika pulang beliau berkata,“Demi Allah, aku membawakan kepada kalian kebenaran dari sisi Rasulullah,” lalu berkata,“Shalatlah kalian, shalat ini pada waktu ini dan shalatlah ini pada waktu ini. Jika telah masuk waktu shalat, hendaklah salah seorang kalian beradzan dan orang yang paling banyak hafalan Qur’annya yang menjadi imam.” Lalu mereka mencari (imam). Ternyata tidak ada seorangpun yang lebih banyak dariku hafalan Al Qur’annya. Lalu mereka menunjukku sebagai imam dan aku pada waktu itu berusia enam atau tujuh tahun.[6]
KAPAN DIKATAKAN MENDAPATI SHALAT BERJAMA’AH?
Dalam permasalahan ini, para ulama terbagi dalam tiga pendapat yang berbeda.
Pertama : Shalat Jama’ah Didapatkan Dengan Takbir Sebelum Imam Salam.
Ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Syafi’iyah. Berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ عَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
Jika shalat telah iqamat, maka janganlah mendatanginya dengan berlari. Datangilah dengan berjalan. Kalian harus tenang. Apa yang kalian dapati, maka shalatlah dan yang terlewatkan sempurnakanlah.[7]
Dalam hadits ini dinyatakan, orang yang mendapatkan imam dalam keadaan sujud atau duduk tasyahud akhir sebagai orang yang mendapatkan shalat jama’ah, lalu menyempurnakan yang terlewatkan. Sehingga orang yang bertakbir ihram sebelum imam salam, dikatakan mendapatkan shalat jama’ah.
Kedua : Membedakan Antara Jum’at Dan jama’ah. Jika Shalat Jum’at, Melihat Kepada Raka’at Dan Jama’ah Melihat Kepada Takbir.
Bermakna, dalam shalat Jum’at, seseorang dikatakan mendapatkan shalat Jum’at bersama imam, bila mendapatkan satu raka’at bersama imam. Dikatakan mendapatkan jama’ah, bila bertakbir sebelum imam mengucapkan salam. Ini pendapat yang masyhur dari madzhab Syafi’i.[8]
Ketiga : Dikatakan Mendapatkan Shalat Berjama’ah, Bila Mendapatkan Satu Raka’at Bersama Imam.
Demikian ini pendapat madzhab Malikiyah, Imam Ghazali dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Muhammad bin Abdil Wahab dan Abdurrahman bin Nashir Assa’di telah merajihkannya.[9]
Berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata.
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلَاةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
Siapa yang mendapatkan raka’at dari shalat, maka telah mendapatkan shalat.[10]
Dan hadits Ibnu Umar yang berbunyi:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ أَوْ غَيْرِهَا فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
Rasulullah bersabda,“Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat Jum’at atau selainnya, maka telah mendapatkan shalat.” [11]
Sedangkan raka’at dilihat dari ruku’nya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah yang marfu’ :
إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ وَنَحْنُ سُجُودٌ فَاسْجُدُوا وَلَا تَعُدُّوهَا شَيْئًا وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
Jika kalian berangkat shalat dan menemukan kami sedang sujud, maka bersujudlah dan jangan dihitung sebagai rakaat. Barangsiapa yang mendapatkan raka’at, maka telah mendapatkan shalat.[12]
Mereka menyatakan, “Orang yang mendapatkan satu raka’at dari shalat Jum’at atau selainnya, maka (dianggap) mendapatkan shalat. Demikian juga shalat jama’ah, tidak dianggap mendapatkannya, kecuali dengan mendapat satu raka’at.” [13]
HUKUM BERJAMA’AH DALAM SHALAT NAFILAH[15]
Shalat nafilah (shalat tathawu’) sangat penting bagi seorang muslim. Bahkan merupakan pelengkap dan penyempurna shalat fardhu. Melihat pentingnya permasalahan ini, maka perlu diketahui secara jelas hukum seputar berjama’ah dalam shalat nafilah.
Ditinjau dari pensyari’atan berjama’ah pada shalat nafilah, maka terbagi menjadi dua.
Pertama. Shalat nafilah yang disyari’atkan mengamalkannya dengan berjama’ah. Terdiri dari:
1. Shalat Kusuf (shalat gerhana matahari). Shalat ini disunnahkan berjama’ah berdasarkan kesepakatan para fuqaha’. Sedangkan shalat gerhana bulan, terdapat perselisihan para ulama tentangnya. Imam Abu Hanifah dan Malik menyatakan, tidak disunnahkan. Sedangkan Imam Syafi’i dan Ahmad menyatakan, sunnahnya.
2. Shalat Istisqa’(shalat minta hujan), disunnahkan berjama’ah. Demikian menurut madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, Hambaliyah dan dua murid Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhamamd bin Hasan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat tidak disunnahkan berjama’ah.
3. Shalat Ied, disunnahkan berjama’ah secara ijma’ kaum muslimin.
4. Shalat Tarawih
Kedua : Shalat nafilah yang tidak disyari’atkan berjama’ah.
Shalat yang disyari’atkan melakukannya secara sendirian (tidak berjama’ah) sangat banyak sekali. Diantaranya ialah: shalat rawatib, shalat sunnah mutlaqah dan yang disunnahkan pada setiap malam dan siang.
Tentang hukum melakukan shalat-shalat tersebut secara berjama’ah, terdapat peselisihan diantara para ulama. Madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah memperbolehkan berjama’ah. Madzhab Hanafiyah memakruhkannya; dan madzhab Malikiyah membolehkan berjama’ah, kecuali sunnah rawatib sebelum subuh. Mereka menyatakan hal itu, menyelisihi yang lebih utama, selebihnya boleh dengan syarat jama’ahnya tidak banyak dan tidak di tempat yang terkenal, karena takut terjadi riya’ dan munculnya anggapan bahwa hak itu wajib.
Akan tetapi, yang benar ialah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pernah melakukan kedua-duanya. Pernah melakukan shalat sunnah tersebut dengan berjama’ah dan sendirian. Sebagaimana riwayat berikut ini:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ جَدَّتَهُ مُلَيْكَةَ دَعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ فَأَكَلَ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ قُومُوا فَأُصَلِّيَ لَكُمْ قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ فَقُمْتُ إِلَى حَصِيرٍ لَنَا قَدْ اسْوَدَّ مِنْ طُولِ مَا لُبِسَ فَقَامَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْتُ أَنَا وَالْيَتِيمُ وَرَاءَهُ وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا فَصَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفَ
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, beliau menyatakan, bahwa neneknya yang bernama Mualikah mengundang Rasulullah makan-makan yang dibuatnya. Lalu Rasulullah memakannya dan berkata, “Bangkitlah kalian, aku akan shalat berjama’ah bersama kalian.” Anas berkata,”Aku mengambil tikar kami yang telah berwarna hitam karena lamanya pemakaian, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit. Aku dan seorang anak yatim membuat shaf di belakang beliau, sedangkan orang-orang tua wanita berdiri di belakang kami. Rasulullah shalat dua raka’at kemudian pergi.”[16]
عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ فِي مَنْزِلِهِ فَقَالَ أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ لَكَ مِنْ بَيْتِكَ قَالَ فَأَشَرْتُ لَهُ إِلَى مَكَانٍ فَكَبَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْنَا خَلْفَهُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ
Dari ‘Utban bin Malik, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya di rumahnya, lalu berkata,“Dimana dari rumahmu ini yang engkau suka aku shalat untukmu?” Lalu aku tunjukkan satu tempat. Kemudian beliau bertakbir dan kami membuat shaf di belakangnya. Beliau shalat dua raka’at.[17]
UDZUR YANG MEMPERBOLEHKAN TIDAK MENGHADIRI SHALAT BERJAMA’AH
Diperbolehkan tidak menghadiri shalat berjama’ah dengan sebab-sebab tertentu. Diantara sebab-sebab tersebut ialah sebagai berikut:
1. Dingin dan hujan.
Berdasarkan hadits dari Nafi’, beliau berkata.
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَذَّنَ بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ ثُمَّ قَالَ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ ذَاتُ بَرْدٍ وَمَطَرٍ يَقُولُ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ
Sesungguhnya Ibnu Umar beradzan untuk shalat pada malam yang dingin dan berangin kencang, kemudian berkata, “Ala shallu fi rihalikum (Shalatlah kalian di rumah kalian).” Lalu beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah memerintahkan muadzin, jika malam dingin dan berhujan mengatakan, ‘Ala shallu fi rihal’.” [Mutafaqun ‘alaihi].
2. Sakit yang memberatkan penderitanya menghadiri jama’ah.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَمَاجَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِن قَبْلُ
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu. [Al Hajj:78].
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sakit dan tidak bisa mengimami shalat beberapa hari:
مُرُوْا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ لِلنَّاسِ
Perintahkanlah Abu Bakr agar mengimami manusia. [19]
Ibnu Hazm berkata,“Ini tidak diperselisihkan.” [20]
3. Kondisi tidak aman yang dapat membahayakan diri, harta dan kehormatannya.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [Al Baqarah:286].
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
Barangsiapa yang mendengar adzan lalu tidak datang, maka tidak ada shalat baginya, kecuali karena udzur [21]. Dalam riwayat Al Baihaqi ada tambahan tafsir udzur disini, dengan sakit atau rasa takut (situasi tidak aman).[22]
4. Saat makanan telah dihidangkan dan menahan hajat kecil atau besar.
Berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
Tidak boleh shalat saat makanan dihidangkan dan tidak pula ketika menahan buang hajat kecil dan besar. [23]
5. Ketiduran.
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلَاةِ الْأُخْرَى فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حِينَ يَنْتَبِهُ لَهَا
Bukanlah ketiduran tafrith (tercela), akan tetapi tafrith hanya pada orang yang tidak shalat sampai datang waktu shalat yang lainnya. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka hendaklah shalat ketika sadar.[24]
Demikianlah sebagian perkara penting yang berkaitan dengan shalat jama’ah. Semoga bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VII/1420H/1999M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Al Mughni 3/7.
[2]. Al Ifshah An Ma’anish Shihah, 1/155. Dinukil dari Shalatul Jama’ah, karya Prof. Dr. Shalih bin Ghanim As Sadlan, hal. 47. Lihat juga pernyataan kesepakatan ini dalam Raudhatun Nadiyah, karya Shidiq Hasan Khan, 1/308.
[3]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Jum’ah, Bab: Ma Ja’a Fil Witri, no. 937.
[4]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi’ Shalat, Bab: Jawazu Al Jama’ah Fin Nafilah Wash Shalat Ala Hashir Wa Khamrah, no. 1056.
[5]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat, Bab: Fi Fadhli Shalatul Jama’ah, no.467, An Nasa’i dalam Sunan-nya, kitab Al Imamah, Bab: Al Jama’ah Idza Kana Itsnaini, no.834, Ahmad dalam Musnad-nya no.20312 dan Al Hakim dalam Mustadrak-nya, 3/269. Hadits ini dishahihkan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, 2/366-367 no. 1477.
[6]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Maghazi, no. 3963.
[7]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya.
[8]. Lihat Majmu’ Fatawa 23/331.
[9]. Lihat Shalatul Jama’ah, hal. 50. Tentang tarjih mereka ini dapat dilihat dalam kitab Adab Al Masyi Ila Shalat, hal. 29 dan Al Mukhtarat Al Jaliyah Fil Masail Al Fiqhiyah (dalam Al Majmu’ah Al Kamilah Li Mualafat, Syaikh Abdurrahman bin Nashir Assa’di, 2/109.
[10]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Mawaqitus Shalat, Bab: Man Adraka Minas Shalat Raka’at, no. 546 dan Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi’ Shalat, Bab: Man Adraka Minas Shalat Raka’at Faqad Adraka Shalat, no. 954.
[11]. Diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Sunan-nya, kitab Al Mawaqit, Bab: Man Adraka Rak’atan Minas Shalat, no. 554; Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Iqamatush Shalat Was Sunnah Fiha, Bab: Ma Ja’a Fiman Adraka Minal Jum’at Rak’atan, no.1113 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya 3/173.
[12]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat, Bab: Fi Rajuli Yudrikul Imam Sajidan Kaifa Yasna’, no. 759.
[13]. Lihat Shalatul Jama’ah, hal. 51.
[14]. Majmu’ Fatawa 23/331-332 dengan sedikit pemotongan.
[15]. Diringkas dari Shalatul Jama’ah, karya Syaikh Shalih As Sadlan, hal. 74-78 dengan beberapa perubahan
[16]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi’ Shalat, Bab: Jawazu Al Jama’ah Fin Nafilah Was Shalat Ala Hashir Wa Khamrah, no. 1053.
[17].Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Ash Shalat, Bab: Idza Dahala Baitan Haitsu Sya, no. 406.
[19]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya.
[20] Muhalla, 4/351.
[21]Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Al Masajid Wal Jama’ah, Bab: At Taghlidz Fi At Takhalluf ‘Anil Jama’ah, no. 785. Hadits ini dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 631.
[22]. Dibawakan oleh penulis kitab Shalat Jama’ah, hal. 199 dan dinisbatkan kepada Sunan Kubra Baihaqi 1/185.
[23]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi Shalat, Bab: Karahatus Shalat Bi Hadhratith Tha’am, no. 869.
[24]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi Shalat, Bab: Qadha’ Shalat Fawait, no. 1099.
jakarta 31/2016
READ MORE - SHALAT BERJAMA'AH

DARAH HAID





HUKUM WANITA MENSTRUASI BERDIAM DI MASJID

أمرنا تعني النبي صل الله عليه و سلم أن نخرج في العيدين  العواتق  ذوات الخدورو و أمر الخيض أن يعتزلن مصلى المسلمين
“Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada kami untuk keluar rumah pada dua hari raya, termasuk remaja putri dan gadis pingitan, dan beliau memerintahkan wanita yang haid untuk menjauhi tempat shalat”.(HR Bukhari-Muslim)
Muqaddimah

Seorang perempuan mendapatkan tamu bulanannya untuk pertama kali (menarche) adalah 12 atau 13 tahun. Menstruasi itu sendiri nantinya akan berhenti disaat perempuan sudah berusia sekitar 40-50 tahun yang lebih dikenal dengan istilah menopause. Siklus haid/menstruasi normalnya terjadi setiap 21-35 hari sekali, dengan lama haid berkisar 4-7 hari. Jumlah darah haid normal berkisar 30-40 ml. Dan menurut hitungan perempuan akan mengalami 500 kali haid selama hidupnya. jika sekali waktu haid lamanya 7 hari, bayangkan perempuan minimal akan mengalami 3500 (7x500) hari haid dalam hidupnya. Dan akan mengeluarkan perdarahan haid mencapai 140.000 ml atau 140 liter. Sebegitu besar pengorbanan (jadi) wanita.
Gangguan tersering yang dialami oleh wanita yang menginjak usia diatas 35 tahun, adalah gangguan dalam menstruasi. Secara periodik fungsi seksual wanita dikontrol oleh hormon yang akan mengatur siklus haid kita. Siklus haid yang normal adalah sekitar 28 hari (21 sd 35 hari) sekali dengan lamanya sekitar 3 sampai dengan 6 hari, jumlahnya sekitar 2 sampai dengan 6 pembalut perhari, serta tidak disertai rasa nyeri yang hebat (dismenorhea). Selain haid yang normal, sering kita mengeluhkan keluarnya darah dari rahim diluar siklus haid. Dalam hukum Islam pada dasarnya darah yang keluar dari rahim seorang wanita dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama: darah haid - adalah darah yang keluar pada saat siklus haid yang normal (seperti diatas). Pada saat haid ini wanita dilarang melakukan kegiatan seperti thawaf, sholat, berpuasa, bersenggama, berdiam diri di masjid, memegang dan membaca Al Quran.
Kesucian Masjid
SETIAP muslim sepakat bahwa masjid adalah salah satu tempat yang suci. Tentu orang-orang di dalamnya pun harus berada dalam keadaan suci. Begitu pun dengan Masjid Nabawi yang sering dikunjungi oleh para jamaah Haji. Tapi, bagaimana nasib seorang perempuan yang ingin masuk Masjid Nabawi dalam keadaan haid? Apakah boleh masuk ke dalamnya?
لا أحل المسجد لحائض ولا جنب
Tidaklah halal masjid untuk orang yang haid dan junub”.  Hadist ini didhaifkan oleh syekh Albani dalam kitab Dhaif Abi Daud (232).
ولا جنبا الا عابري سبيل حتى تغتسلوا
”Dan (jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja, sampai kamu mandi” (Qs An Nisa’:43)
Masjid Nabawi atau Lainnya

Hukum Masjid Nabawi sam dengan hukum masjid-masjid pada umumnya. Ulama-ulama fiqih berbeda pendapat tentang kebolehan orang junub, orang haid dan nifas masuk ke masjid, dan mereka terbagi kepada tiga golongan:
1. Golongan yang melarang secara mutlak (tanpa syarat).
2. Golongan yang melarang dengan mengecualikan perantau yang menyeberang, tetapi pengecualian itu tidak berlaku bagi yang telah muqim.
3. Golongan yang membolehkan bagi semuanya.
Golongan pertama, yakni yang melarang secara mutlak ialah Madzhab Maliki. Mereka mengatakan, “Orang haid dan nifas tidak boleh masuk masjid apalagi untuk tetap di dalam. Tidak boleh lewat dari satu pintu ke pintu lain, sekali pun masjid itu masjid pribadi yang berada di dalam rumah sendiri. Kecuali untuk berlindung karena takut kepada pencuri, binatang buas atau orang jahat, dia harus tayammum memaku masjid dan boleh bermalam.
Dalil bagi mereka ialah firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu shalat sedangkan kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi,” (QS. An-Nisa: 43).
Golongan kedua, imam-imam yang lain membolehkan orang junub, orang haid dan nifas masuk dan lewat masjid dengan beberapa syarat.
Hanafi: Orang haid, junub dan nifas tidak boleh masuk masjid, kecuali karena darurat (terpaksa). Umpamanya karena tidak mungkin mendapatkan air selain hanya dalam masjid, sedangkan dia wajib mandi. Atau karena pintu rumahnya melalui masjid dan tidak mungkin memindahkannya. Untuk pindah ke tempat lain dia tidak sanggup.
Syafi’i: Orang haid atau nifas haram masuk masjid, duduk atau pulang pergi di dalam masjid. Boleh menyeberangi masjid seperti di dalam ayat, apabila dia tidak takut dan tidak ragu akan mengotori masjid. Maruh melewati masjid walau pun aman, ketika hadatsnya sedang banyak, dan apabila dia yakin tidak akan mengotori masjid, disayaratkan masuk dari sebuah pintu dan keluar dari pintu lain. Artinya dia lewat dalam masjid karena hajat.
Hanbali: orang junub, orang haid dan nifas boleh lewat di masjid, tetapi tidak boleh duduk atau diam di dalam, ketika darahnya sedang turun, sekali pun dia percaya tidak akan mengotori masjid. Boleh tinggal atau diam di masjid apabila darahnya sudah berhenti.
Wanita Haid Masuk Masjid
Ada 3 pendapat yang berkenaan dengan hal wanita haid masuk masjid tersebut. Pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pendapat yg melarang wanita haid masuk masjid, hal ini kebanyakan diikuti oleh sebagian ulama bermadzhab Maliki dan Hanafi. Mereka mutlak melarang dalam apapun.
2. Pendapat yang membolehkan dengan syarat. Pendapat ini banyak diikuti dari kalangan ulama bermadzhab Syafi’i dan sebagian ulama dari madzhab Hambali. Pendapatanya adalah melarang jika wanita tersebut menetap/berdiam di masjid, kecuali sekedar lewat atau berjalan atau mengambil sesuatu yang ada di dalm masjid saja. Artinya, membolehkan dengan syarat.
3. Pendapat yang membolehkan secara mutlak bagi wanita haid berada di masjid selama diyakini darahnya tidak akan mengotori masjid. Pendapat ini diikuti oleh sebagian ulama madzhab Hambali (dengan syarat ada wudhu’), sebagian dari ulama madzhab Syafi’i seperti Al Muzanny dan Abu Hamid Asy-Syafi’i yang menyebutkan bahwa ini adalah pendapat Zaid bin Aslam Rahimahumullloh., madzhab Dawud az-zohiri, Ibnu Hazm, Ibnu Mundzir dll.
َوَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( لَمَّا جِئْنَا سَرِفَ حِضْتُ فَقَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اِفْعَلِي مَا يَفْعَلُ اَلْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Lakukanlah apa yang diperbuat oleh seorang yang berhaji kecuali jangan engkau Thawaf di Ka’bah.” (HR. Bukhari nomor 1650)
إِنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَنْجُسُ
Sesungguhnya orang Muslim itu tidak najis.” (HR. Bukhari nomor 283 dan Muslim nomor 116 Kitab Al Haid)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ لِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله و عليه و سلم: نَاوِلِيْنِى الْجُمْرَةَ مِنَ الْمَسْجِدِ. فَقُلْتُ: إِنِّيْ حَائِضٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِى يَدِكِ.
Hadits ‘Aisyah, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berkata kepadanya: “Siapkanlah al-Humrah (semacam sajadah) dari masjid. Lalu ‘Aisyah berkata: Saya sedang haid. Beliau bersabda: Sesungguhnya haid kamu tidak di tanganmu” (HR. Muslim dan at-Turmudzi, no. 134, dan Abu Dawud, no. 261, dan an-Nasa’i, no. 272, dan Ibnu Majah, no. 632).
Sebagian ulama lain berpendapat boleh bagi wanita yang sedang haid untuk memasuki dan berdiam diri dalam masjid. Mereka dari ulama kalangan Mazhab Zhahiri, al-Muzni dan Ibnu al-mundzir dari kalangan ulama Mazhab Syafii, Muhammad bin Musallamah dari kalangan Mazhab Maliki dan juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Sebagian ulama lain berpendapat boleh bagi wanita yang sedang haid untuk memasuki dan berdiam diri dalam masjid. Mereka dari ulama kalangan Mazhab Zhahiri, al-Muzni dan Ibnu al-mundzir dari kalangan ulama Mazhab Syafii, Muhammad bin Musallamah dari kalangan Mazhab Maliki dan juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Sebagian ulama lain menegaskan tidak ada dalil yang tegas dan sahih yang melarang wanita yang sedang haid untuk berdiam diri dalam masjid.
Imam Nawawi dalam kitab Al- Majmu’ menjelaskan bahwa dalil mazhab inilah yang paling baik, karena hukum asalnya tidak ada pengharaman dan mereka yang mengharamkan tidak mempunyai dalil yang sahih dan tegas melarang hal itu.
Darah Haid atau Istihadhah
Beberapa poin pendapat ulama tentang haid :
1. Darah istihadah membatalkan wudlu, tidak wajib mandi tapi wajib wudlu sebelum sholat dan thowaf.
2. Perbedaan antara darah haid dan istihadah, antara lain dilihat dari warna darahnya. Darah haid warnanya kehitam hitaman.
3. Agar wanita yang sedang ibadah haji dapat melaksanakan semua rukun, wajib haji dan sunat haji, maka ia boleh menggunakan obat dalam upaya bebas haid (usaha untuk mencegah haid saat ibadah) sesuai dengan ketentuan medis sepanjang tidak melahirkan bahaya (efek samping yang merugikan) bagi yang bersangkutan. 4. Darah yang keluar pada masa haid atau beberapa hari setelah masa haid untuk wanita yang telah minum obat bebas haid (penjelasan lanjutan dari poin
4) harus diperiksa atau dipastikan tentang kemungkinan haid atau istihadah, menurut penjelasan dokter sesuai dengan teori kedokteran. Kalau menurut dokter darah tersebut darah istihadah maka berlaku ketentuan istihadah.

jakarta 31/3/2016
READ MORE - DARAH HAID
 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman