Rabu, 18 Mei 2016

SOAL DAN JAWAB (9)




NIAT PUASA ?

Seperti yang kita ketahui bahwa tempatnya niat adalah di dalam hati. Meniatkan shaum hukumnya memang wajib. Seperti yang dikatakan oleh Rasulullah dalam haditsnya,  “Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. Abu Dawud).
Lalu, bagaimana jika seseorang makan sahur lalu lupa melafalkan niat untuk berpuasa? Ini tidak mengapa karena jika seseorang makan sahur, maka sesungguhnya ia telah melakukan niat shaum. Ia mempersiapkan makanan sahur dan melakukannya itu berarti ia ada keinginan untuk melaksanakan shaum. Dan tempat niat adalah di dalam hati. Jadi , tidak mengapa jika tidak dilafalkan karena hukum melafalkan niat itu adalah sunnah. Puasanya tetap sah. Wallahu a’lam.
Hadits no. 657 dari kitab Bulughul Marom karya Ibnu Hajar disebutkan hadits,
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ
Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuiku pada suatu hari lantas beliau berkata, “Apakah kalian memiliki sesuatu untuk dimakan?” Kami pun menjawab, “Tidak ada.” Beliau pun berkata, “Kalau begitu saya puasa saja sejak sekarang.” Kemudian di hari lain beliau menemui kami, lalu kami katakan pada beliau, “Kami baru saja dihadiahkan hays (jenis makanan berisi campuran kurman, samin dan tepung).” Lantas beliau bersabda, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat puasa.” Lalu beliau menyantapnya. (HR. Muslim no. 1154).
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Madzhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwasanya tabyit niat itu bukan merupakan syarat sahnya niat. Namun batas maksimal berniat dalam puasa Ramadhan adalah sebelum matahari berada di tengah :

As-Sarakhsi (w. 483 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Al-Mabsuth menuliskan sebagai berikut :
وأما الكلام في وقت النية فلا خلاف في أن أوله من وقت غروب الشمس
“Adapun mengenai permasalahan waktu minimal memulai niat (puasa) adalah di awal waktu tenggelamnya matahari berdasarkan kesepakatan para ulama dan tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.”
2. Mazhab Al-Malikiyah
Adapun ulama madzhab Malikiyah sebagaimana disebutkan di atas berpendapat bahwa dalam puasa yang ditentukan harus secara beruntun waktu pelaksanaannya seperti puasa Ramadhan dan puasa Kaffarat maka cukup berniat di malam hari pertama puasa. Sehingga tidak wajib dilakukan setiap hari.
3. Mazhab Asy-Syafi’iyah
Di dalam madzhab As-Syafi’iyah hukum tabyit niat itu wajib dan merupakan syarat sahnya puasa, jika puasa yang dilakukan adalah puasa wajib seperti Ramadhan, Kaffarat dan jenis puasa lainnya.

An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menuliskan sebagai berikut :
تبييت النية شرط في صوم رمضان وغيره من الصوم الواجب فلا يصح صوم رمضان ولا القضاء ولا الكفارة ولا صوم فدية الحج غيرها من الصوم الواجب بنية من النهار بلا خلاف
“..Memulai niat di malam hari (tabyit) adalah syarat dalam puasa Ramadhan dan puasa wajib yang lain. Maka puasa-puasa wajib seperti puasa Ramadhan, Qadla’, Kaffarat atau puasa fidyah haji tidak sah hukumnya jika niatnya dimulai dari siang hari. Tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini....”
4. Mazhab Al-Hanabilah
Pendapat madzhab Al-Hanabilah dalam masalah ini senada dengan madzhab As-Syafi’iyah, yaitu wajib tabyit niat bagi puasa wajib dan tidak wajib bagi puasa sunnah.

Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni berpendapat sebagai berikut :
فصل: وإن نوى من النهار صوم الغد، لم تجزئه تلك النية، إلا أن يستصحبها إلى جزء من الليل.
“..Jika seseorang berniat di siang hari untuk puasa yang dilakukan besok, maka niat tersebut tidak sah. Kecuali dia melakukannya di sebagian malam...”



http://www.kampussyariah.com
BERMESRAAN WAKTU PUASA ?
Tidak mengapa suami bermesraan dengan isterinya, atau isteri mengucapkan kata-kata mesra kepada sang suami saat puasa, dengan syarat keduanya merasa aman tidak keluar mani (akibat perbuatan tersebut). Jika keduanya tidak merasa aman dari keluarnya mani, seperti orang yang hasrat seksualnya tinggi dan dia khawatir apabila bermesraan dengan isterinya akan batal puasanya akibat keluar mani, maka tidak boleh baginya perbuatan itu, karena akan menyebabkan rusaknya puasa. Demikian pula halnya jika dia khawatir keluar mazi.
(Asy-Syarhul Mumti, 6/390)
Dalil dibolehkannya mencium dan bermesraan bagi orang yang merasa aman tidak keluar mani, adalah riwayat Bukhai (1927) dan Muslim (1106) dari Aisyah radhialahu anha, dia berkata, "Nabi shallallahu alaihi wa sallam mencium dan bercumbu (dengan isterinya) saat beliau berpuasa. Dan beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan syahwatnya di antara kalian."
Dalam shahih Muslim (1108) dari Amr bin Salamah, dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, "Apakah orang berpuasa boleh mencium?" Maka Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam bersabda, "Tanyalah kepada dia (maksudnya Ummu Salamah)". Lalu Ummu Salamah memberitahukannya, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam berbuat seperti itu (mencium saat berpuasa)."
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Selain mencium, semua bentuk muqadimah jimak, seperti memeluk dan semacamnya, hukumnya disamakan dengan mencium, tidak ada bedanya."
(Asy-Syarhul Mumti', 6/434)
PUASA DAPAT HAUS DAN LAPAR ?
Hadits Tentang Lima Hal Yang Membatalkan Puasa
خَمْسٌ يُفْـطِرْنَ الصَّائِمَ وَيُنْقِـضْنَ الْوُضُوْءَ: الْكَـذِبُ، وَالْغِيْبَةُ، وَالنَّمِيْمَةُ، وَالنَّظْرُ بِشَهْوَةٍ، وَالْيَمِيْنُ الْفاجِرَةُ .
Artinya: “Ada lima hal yang dapat membatalkan puasa dan wudhu’ seseorang, (yaitu): berkata dusta, ghibah (bergunjing), namimah (mengadu domba), melihat dengan nafsu, dan bersumpah palsu.”
Derahat: Maudhu’/Palsu. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Jauraqaniy dalam Abathil wal Manakir (I/351, no. 338), Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at (II/560, no. 1131), dan Al-‘Iraqiy dalam Takhrijul Ihya’ (I/738).
jakarta 18/5/2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman