Selasa, 15 Maret 2016

WAJIBNYA KEPEMIMPINAN




KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

Allah berfirman :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’ân dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.
(TQS. al-Mâ’idah [05]: 48)
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (TQS. al-Mâ’idah [05]: 49)
Allah berfirman dalam QS. Asy Syuroo’ (42) ayat 13:
Artinya:
“DIA (ALLOOH) TELAH MENSYARI’ATKAN BAGI KAMU tentang dien apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrohim, Musa dan Isa yaitu: TEGAKKANLAH DIEN dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allooh menarik kepada dien itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (dien)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”
Ayat diatas dan beberapa ayat lain dalam Al Qur’an mensyari’atkan wajibnya diterapkan bahkan di tegakkannya al qur’an dan sunnah ( atau syariat Islam) di muka bumi ini dalam kehidupan sehari-2. Jadi kaum muslimin tidak boleh hanya membiarkan aturan-aturan/perintah/larangan dalam al qur’an dan sunnah hanya menjadi tulisan-tulisan diatas kertas yang hanya dibaca tetapi tidak ada upaya untuk melaksanakannya.
Artikel ini tidak membahas tentang bagaimana penerapan dan penegakkan al qur’an dan sunnah di muka bumi, karena pembahasannya cukup panjang dan perlu ke-hati-2an dalam memahami dalil-dalilnya sehingga tidak terjatuh pada dua titik ekstrim pemikiran yang sesat yaitu pemikiran yang membolehkan cara apa saja (tanpa mengikuti sunnah) dalam menerapkan dan menegakkan syari’at Islam, atau sebaliknya jatuh pada pemikiran ekstrim yang meremehkan dan menunda-nunda penerapan dan penegakkan syari’ah.
Atikel ini secara ringkas hanya akan menyajikan 2 (dua) hal berikut :
1.Menyajikan untaian pemikiran/pemahaman para ulama dalam hal wajibnya mengangkat pemimpin
2.Menyajikan untaian pernyataan ulama yang menggambarkan bagaimana para ulama menyatakan sebuah Negara disebut sebagai Negara yang sesuai dengan tuntunan Islam (juga ditujukan untuk meng-kritik pendapat yang salah tentang pemahaman Negara sesuai tuntunan Islam yang bisa berakibat fatal yaitu jatuh pada salah satu titik esktrim yang sesat)
Dua hal tersebut (Kepemimpinan dan Negara) adalah termasuk unsur utama yang perlu ada dalam menjalankan kewajiban untuk menerapkan dan menegakkan Al Qur’an dan Sunnah dalam kehidupan se-hari-2 di muka bumi ini, sehingga kaum muslimin harus memahaminya dengan benar dan terbebas dari pemahaman yang salah.

WAJIB ADANYA KEPEMIMPINAN PADA KAUM MUSLIMIN
Rasulullah SAW bersabda: “Bahawasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung.” [HR. Muslim]
Dari Nukman bin Basyir, katanya…
Suatu ketika kami sedang duduk2 di Masjid Nabawi dan Basyir itu seorang yg tidak banyak bercakap.
Datanglah Abu Saklabah lalu berkata
” Wahai Basyir bin Saad, adakah kamu hafaz hadis Rasulullah tentang para pemerintah?’
Huzaifah RA lalu segera menjawab.
” Aku hafaz akan khutbah Rasulullah SAW itu.”
Maka duduklah Abu Saklabah Al Khusyna untuk mendengar hadis berkenaan.
Maka kata Huzaifah RA, Rasulullah SAW telah bersabda.
“Telah berlaku Zaman Kenabian ke atas kamu, maka berlakulah Zaman Kenabian sebagaimana yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkat zaman itu seperti
yg Dia kehendaki.”
Kemudian belakulah zaman Kekhalifahan (Khulafaur Rasyidin) yang berjalan sepertimana Zaman Kenabian. Maka berlakulah zaman itu sebagaimana yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya.
Lalu berlakulah zaman pemerintahan yang mengigit (Zaman Fitnah -keamiran/beraja /zaman kesultanan ) Berlakulah zaman itu seperti yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya pula.
Kemudian berlakulah zaman penindasan dan zaman penzaliman(Zaman pemerintahan diktator dan demokrasi) dan berlakulah zaman itu seperti mana yang Allah kehendaki.
Kemudian berlakulah pula zaman kekhalifahan yang berjalan di atas cara hidup Zaman Kenabian.” (Admin : ini salah satu dalil bahwa khilafah ‘ala minhajil nubuwwah akan tegak)
Kemudian Rasulullah SAW pun diam….
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal di dalam
kitabnya Musnad Al Imam Ahmad bin Hanbal, Juzuk 4, halaman 273.
Juga terdapat dalam kitab As-Silsilatus Sahihah, Jilid 1,
hadis nomor 5.]
Imam An-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii mengatakan:
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ نَصْبُ خَلِيفَةٍ وَوُجُوبُهُ بِالشَّرْعِ لاَ بِالْعَقْلِ،
وَعَنْ غَيْرِهِ أَنَّهُ يَجِبُ بِالْعَقْلِ لاَ بِالشَّرْعِ فَبَاطِلاَنِ وَأَمَّا مَا حُكِيَ عَنْ اْلأَصَمّ أَنَّهُ قَالَ: لاَ يَجِبُ،
Para ulama sepakat bahwa sesungguhnya wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah. Kewajiban ini (mengangkat seorang khalifah) ditetapkan berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal. Adapun apa yang diriwayatkan dari al-Asham bahwa ia berkata, “(Khilafah) tidak wajib”, dan selain Asham yang menyatakan bahwa mengangkat seorang khalifah wajib namun berdasarkan akal, bukan berdasarkan syariah, maka dua pendapat ini batil (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, VI/291).
Di dalam kitab Rawdhah at-Thalibin wa ’Umdah al-Muftin disebutkan:
Tentu umat wajib memiliki seorang imam yang menegakkan agama, menolong sunnah, menolong orang-orang yang dizalimi, memenuhi hak-hak dan menempatkan hak-hak pada tempatnya. Saya berpendapat bahwa menegakkan Imamah adalah fardlu kifayah. Jika tidak ada lagi orang yang layak (menjadi seorang imam) kecuali hanya satu orang, maka ia dipilih menjadi imam dan wajib atas orang tersebut menuntut jabatan Imamah jika orang-orang tidak meminta dirinya terlebih dulu. Wallahu a’lam (An-Nawawi, Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, III/433).
Imam Ibnu Hazm berkata, “Seluruh golongan Ahlus Sunnah, Murji’ah, Syi’ah dan Khawarij, telah sepakat mengenai kewajiban Imamah dan bahwa ummat wajib menta’ati imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah, dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syari’at yang dibawa Rasulullah SAW”.(Ibnu Hazm, al-Fashlu fil Milal wa al-Ahwa wa an-Nihal, juz 4, hal 87 ).
Imam al-Qurthubi berpendapat, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya perkara itu (yakni kewajiban Khilafah) baik diantara ummat maupun diantara para imam, kecuali pendapat al-Asham dan siapa saja yang mengambil dan mengikuti pendapatnya” (Mu’tazilah semuanya sepakat kewajiban adanya Khilafah dan hukum menegakkannya, kecuali al-Asham dan Hisyam al-Ghauthi, sedangkan Khawarij semuanya juga sepakat kecuali madzhab Najdad.Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, juz 1, hal. 264)
Ibnu Khaldun menulis, “Sesungguhnya pengangkatan Imam adalah wajib, hal ini telah diketahui secara syar’i berdasarkan ijma’ shahabat dan tabi’in dan para shahabat Rasulullah Saw ketika beliau wafat mereka bergegas membai’at Abu Bakar r.a. dan menerima pandangannya dalam setiap urusan mereka dan yang demikian ini terjadi setiap masa. Tidak pernah dibiarkan kekacauan di tengah-tengah manusia pada setiap masa dan penetapan hal tersebut berdasarkan ijma’ menunjukkan wajibnya pengangkatan Imam” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah halaman 127 ), dan beliau berkata : “Khilafah membawa semua urusan kepada apa yang dikehendaki oleh pandangan dan pendapat syar‘i tentang berbagai kemaslahatan akhirat dan dunia yang âjih bagi kaum Muslim. Sebab, seluruh keadaan dunia, penilaiannya harus merujuk kepada Asy-sayaâ’i (Allah SWT) agar dapat dipandang sebagai kemaslahatan akhirat. Jadi, Khilafah, pada hakikatnya adalah Khilafah dari Shâhib asy-Syar’i (Allah), yang digunakan untuk memelihara agama dan mengatur urusan dunia.” (Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 190).
Al-Mawardi mengatakan, “Pengangkatan Imam (Khalifah) yang ditegakkan di tengah-tengah umat berdasarkan ijma adalah wajib.” (Imam Al-Mawardi, Ahkâm as-Sulthâniyah halaman 5 ). Kemudian beliau berkata “Imamah (Khilafah) itu ditetapkan sebagai penggganti kenabian, yang digunakan untuk memelihara agama dan mengatur dunia.” (Al-Mawardi, Al-Ahkâm ash-Shulthâniyah, hlm. 5).
Menurut Imam al-Juwaini, “Imamah (Khilafah) adalah kepemimpinan menyeluruh serta kepemimpinan yang berhubungan dengan urusan khusus dan umum dalam kaitannya dengan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia.” (Al-Juwaini, Ghiyâts al-Umam, hlm. 5).
menurut Imam Ahmad bin Hanbal, “akan ada fitnah yang sangat besar jika tidak ada Imam (Khalifah) yang mengurusi urusan masyarakat.” (An-Nabhani, Ibid, II/19).
menurut Ibn Taimiyah, “Amar makruf dan nahi munkar hanya boleh berjalan dengan sempurna dengan adanya hukum syariah (‘uqubat syar’iyyah). Sebab, melalui kekuasaan (imamah/khilafah) Allah akan menghilangkan apa yang tidak boleh dilenyapkan dengan al-Qur’an. [lit] Menegakkan hudud adalah wajib bagi para penguasa. [/lit]” Beliau juga menegaskan, “Harus diketahui, bahwa adanya kepemimpinan untuk mengurusi urusan orang merupakan kewajiban agama (Islam) yang paling besar. Bahkan, tanpanya, agama dan dunia ini tidak akan tegak.” (Ibn Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, hanya XXVIII, hal. 107 dan 390), beliau menambahkan, “Wajib diketahui manusia bahwa adanya wilayatul amr (pemerintah) bagi manusia adalah kewajiban yang paling agung dalam agama. Bahkan tidak tegak agama dan juga persoalan dunia tanpanya (pemerintahan).”(Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, halaman 390 )
Muhammad bin al-Mubarrak berpendapat: “Al-Quran mengandung hukum-hukum yang mustahil dapat diterapkan tanpa adanya pemerintahan dan negara (Islam) yang mengambil dan menerapkan hukum-hukum itu. Maka sesungguhnya mendirikan negara dan menjalankan tugas pemerintahan dan kekuasaan adalah bagian dari ajaran Islam. Islam tidak akan tegak sempurna tanpa negara dan bahkan keIslaman kaum muslim pun tidak akan sempurna tanpa negara”. (Muhammad bin Al-Mubarrak, al-Hukmu wa ad-Daulah, )
Syaikh Abdurrahman al-Jazairi menyatakan, “Para Imam (yaitu Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad)—Rahimahullah – telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardlu, dan bahwa kaum muslimin wajib mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan menegakkan syi’ar-syi’ar agama, dan menolong orang-orang yang dizalimi” (halaman 112 Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ Ala al-Madzahib al- Arba’ah, Juz V halaman 614 )
Demikian beberapa pemikiran dari ulama ahlussunnah yang sangat berguna dalam mendalami pemahaman wajib adanya kepemimpinan atau khilafah untuk menerapkan Al Qur’an dan Sunnah dalam kehidupan kita, dan sebenarnya untuk lebih mendalami tentang kewajiban tersebut sudah banyak kitab ulama Ahlussunnah yang membahas tentang wajibnya khilafah, diantaranya :
Imam Al Mawardi, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal. 5,
Abu Ya’la Al Farraa’, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal.19,
Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyah, hal.161,
Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, jilid 28 hal. 62,
Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil I’tiqad,hal. 97,
Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah, hal.167,
Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hal.264,
Ibnu Hajar Al Haitsami, Ash Shawa’iqul Muhriqah, hal.17,
Ibnu Hajar A1 Asqallany, Fathul Bari, juz 13 hal. 176,
Imam An Nawawi, Syarah Muslim, juz 12 hal. 205
Salah satu kitab ulama masa kini yang membicarakan tentang kepemimpinan atau khilafah dan menarik untuk dibaca adalah Kitab Al-Imamah al-‘Uzhma ‘Inda Ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah, setebal 718 halaman yang ditulis oleh Abdullah bin Umar Sulaiman Ad-Dumaiji (terbit 1987) sebagai tesis untuk meraih gelas magister di Universitas Ummul Quro Mekah tahun 1983. Setelah diadakan ujian (munaqasyah) oleh Dewan Penguji, Ad-Dumaiji pun dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude (mumtaz) (di antara Dewan Penguji itu adalah Syaikh Sayyid Sabiq, seorang ulama yang terkenal dengan kitabnya Fiqih Sunnah) secara garis besar ingin membahas isu-isu terpenting dalam Khilafah, seperti definisi Khilafah dan wajibnya Khilafah, walaupun tidak semua aspek dalam Khilafah terbahas, misalnya lembaga-lembaga negara dalam Khilafah secara lengkap. Uraian dalam kitab ini disajikan sebagai hasil olahan dari 260 kitab rujukan. Dan sebagaimana lazimnya penulisan ilmiah, kitab Ad-Dumaiji ini penuh dengan catatan kaki yang memudahkan pembacanya memeriksa dan meneliti rujukan aslinya.
Latar belakang penulisan buku ini dijelaskan dalam Mukadimah (hal. 7-10), bahwa yang mendorongnya adalah adanya upaya-upaya jahat berupa tasywih (pencitra-burukan) dan tadnis (pencemaran) terhadap ajaran Khilafah yang telah ada sejak masa awal Islam hingga masa modern kini. Ad-Dumaiji memberikan beberapa contohnya (hal. 8-9). Misalnya pendapat Abdul Hamid Mutawalli dalam Mabadi` Nizham Al-Hukm hal. 162, yang menyatakan bahwa berdirinya Khilafah seperti yang digambarkan para fukaha, adalah mustahil untuk masa sekarang. Contoh lain adalah pendapat Syaikh al-Maraghi (penulis Tafsir Al-Maraghi) yang berkata,”Dimungkinkan sebuah pemerintahan Islam keluar dari agama Islam lalu menjadi sebuah pemerintahan sekuler. Tidak ada larangan untuk itu…seperti halnya negara Turki yang baru.” (Musthofa Shabri, Mauqif Al-‘Aql wa Al-‘Ilm wa Ad-Din, Juz 4/285).
Latar belakang inilah yang membuat Ad-Dumaiji sangat prihatin dan sekaligus menentukan tujuan penulisan tesisnya. Ad-Dumaiji menyatakan bahwa kitabnya bertujuan untuk membersihkan konsep Imamah dari segala macam debu dan kotoran yang menempel sehingga konsep Imamah menjadi jelas bagi siapa saja yang hendak mencari kebenaran (thalibul haq) (hal. 10).
Dalam menghadapi masalah khilafiyah, Ad-Dumaiji senantiasa memaparkan hujjah (dalil) masing-masing pendapat, lalu melakukan tarjih untuk memilih pendapat yang terkuat. Jadi tidak sepihak langsung menyatakan pendapat yang dipilih. Sebagai contoh, ada khilafiyah mengenai hukum wajibnya Khilafah, apakah wajibnya itu berdasarkan syara’ (pendapat Ahlus Sunnah) atau berdasarkan akal (pendapat Mu’tazilah). Ad-Dumaiji pun memaparkan dalil masing-masing lalu mentarjih yang terkuat, yaitu wajibnya Khilafah itu adalah berdasarkan syara’ bukan akal (hal. 65-71).
Dalam menghadapi pendapat asing pun Ad-Dumaiji juga bersikap adil. Terhadap sebagian intelektual yang menolak wajibnya Khilafah, seperti Ali Abdur Raziq (dalam kitabnya Al-Islam wa Ushul al-Hukm), Abdul Hamid Mutawalli (dalam kitabnya Mabadi` Nizham Al-Hukm fi Al-Islam), dan Khalid Muhammad Khalid (dalam kitabnya Min Huna Nabda`), Ad-Dumaiji tetap berusaha menelusuri dan menampilkan hujjah mereka, lalu membantahnya dengan telak. Yang menarik, Ad-Dumaiji juga secara jujur menyebutkan “pertobatan intelektual” di antara penentang Khilafah itu. Tentang Khalid Muhammad Khalid, Ad-Dumaiji menulis secara objektif bahwa semula Khalid menolak wajibnya Khilafah. Lalu Khalid “bertobat” dan menarik pendapatnya serta menulis sebuah kitab Ad-Daulah fi al-Islam untuk menasakh kitab sebelumnya yakni Min Huna Nabda` (hal. 74-75).
Buku ini insyaallaah akan juga memperkaya pengetahuan dari pembaca seperti misalnya ketika membicarakan dalil-dalil wajibnya Khilafah, Ad-Dumaiji ternyata mengemukakan enam macam dalil.
Dalil pertama, Al-Qur`an : yaitu QS An-Nisaa` : 59, QS Al-Ma`idah : 48-49, QS Al Hadid : 25, dan ayat-ayat hudud qishash, zakat, dan lain-lain yang pelaksanaannya dibebankan kepada khalifah.
Dalil kedua, As-Sunnah, baik sunnah qauliyah maupun sunnah fi’liyah.
Dalil ketiga, Ijma’ Shahabat setelah wafatnya Rasul dan menjelang wafatnya Umar.
Dalil keempat, kaidah syar’iyah berbunyi maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib (suatu kewajiban yang tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya). Menegakkan syariah secara total (sebagai suatu kewajiban) tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya Khilafah, maka Khilafah wajib hukumnya.
Dalil kelima, kaidah dharar, yaitu hadits laa dharara wa laa dhiraara (tidak boleh menimbulkan kemudharatan pada diri sendiri maupun orang lain). Bahwa tanpa Khilafah, umat berada dalam kemudharatan, maka Khilafah wajib ada untuk menghilangkan kemudharatan.
Dalil keenam, bahwa khilafah termasuk perkara yang dituntut oleh fitrah dan adat manusia (Lihat Ad-Dumaiji, al-Imamah Al-‘Uzhma, hal. 49-64).
Insyaallaah penjelasan hampir 20 halaman untuk dalil-dalil wajibnya Khilafah ini sudah barang tentu akan memperluas cakrawala wawasan keilmuan muslim.

KRITIK ATAS KESALAHAN MEMBEDAKAN NEGARA ISLAM DGN NON ISLAM
Pada hari ini berkembang sebuah pemahaman kurang benar yang menyebutkan bahwa pembagian negara menjadi negara Islam dan negara kufur hanya berdasarkan kepada ada atau tidak adanya kebebasan mengumandangkan adzan dan melaksanakan shalat secara berjama’ah. Pemahaman yang kurang benar ini didukung dengan dalil-dalil yang berasal dari hadis, tetapi cara memahaminya tampak tidak akurat. Hadis yang menjadi dasar adalah larangan Rasulullah menyerang suatu wilayah jika terdengar adzan dikumandangkan. Untuk menuju kesimpulan sebagai negara Islam, mereka mengutip beberapa pendapat ulama’ di antaranya pendapat an-Nawawi bahwa adanya larangan menyerang menunjukkan bahwa mereka islam.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُغِيرُ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ وَكَانَ يَسْتَمِعُ الْأَذَانَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ وَإِلَّا أَغَارَ – مسلم.
Dari Anas bin Malik v Berkata : Bahwasanya rasulullah saw jika akan menyerang pada saat fajar, beliau mendengarkan adzan. Jika mendengar adzan beliau menahan (serangan) dan jika tidak mendengarnya beliau menyerang. (HR. Muslim).
Tentu kita tidak menolak bahwa mereka yang shalat dan adzan adalah islam. Memang keduanya adalah syi’ar Islam yang penting, sehingga ketika kita melihat orang melakukan shalat atau adzan kita bisa berkesimpulan bahwa mereka adalah Islam. Tetapi ketika setelah itu kita melihat mereka memuja berhala, mengeluarkan sesaji, salahkah kalau kita mengatakan bahwa ternyata ia masih syirik?
Ini baru dari aspek individunya. Padahal untuk menentukan status negara bukan sekedar dari individu saja. Sebut saja Turki, di sana bebas mengumandangkan adzan, bebas shalat berjama’ah, secara personal orangnya pun beragama Islam, tetapi mereka memproklamirkan negara sekuler. Akankah turki dimasukkan ke dalam negara Islam, sementara pemerintah Turki pun menolak klaim sebagai Negara Islam?
Jelas, bahwa ada kekurangan pas-an dalam menimbang pembagian Negara menjadi Negara islam atau Negara kufur dengan hal tersebut. Persoalannya menjadi lebih berbahaya ketika fatwa itu diterima secara taken of granted oleh kaum awam. Apalagi yang mengemukakan adalah para ustad atau ulama’ yang terkenal, sehingga mereka memandang sebagai sebuah kebenaran mutlak. Dan yang lebih besar lagi akibat dari kesalahan pemahaman ini adalah muslim yang berseberangan dengan pemahaman tentang Negara atau berseberangan dengan Negara yang seperti ini akan di anggap sebagai pemberontak terhadap Islam.
Standar penilaian
Sebenarnya dalam menilai sebuah negeri, apakah itu negeri islam atau negeri kafir harus melihat pada ‘illahnya (alasanya). Dan setiap hukum halal dan haram atau hukum lainnya pasti ada alasannya. Sehingga para ulama’ membuat kaidah al hukmu yaduudru ma’a ‘ilatihi wujudan wa ‘adaman) {ada tidaknya sebuah hukum bergantung kepada ada tidaknya ‘ilah).
Demikian pula dalam menentukan apakah daulah tersebut daulah islamiyah atau bukan harus melihat alasan atau syarat-syaratnya. Jika syarat tersebut terpenuhi, maka negeri tersebut menjadi negeri islam, jika tidak maka negeri tersebut bukan negeri islam.
Sebagian pihak telah salah ketika mereka mengira bahwa menetapnya banyak umat Islam di beberapa negara dengan aman dan mampu melaksanakan beberapa syiar agama mereka, seperti adzan, sholat, shaum dan lain-lain, sudah cukup untuk menganggap negara tersebut sebagai negara Islam. Atau ada yang menyamakan antara pemimpin muslim dengan pemerintahan muslim. Jika pemimpinnya seorang muslim, maka pemerintahannya adalah pemerintahan islam. Bahkan sebagian pihak menyatakan, bagaimana kalian mengatakan negara fulan adalah negara kafir, padahal di ibukotanya ada lebih dari seribu masjid ? Ini semua jelas bukan standar dalam menilai status sebuah negara. Dan faktor yang paling dominan dalam menentukan sebuah negeri adalah hukum yang berjalan.
Sebagai kiasan yang mudah, sebuah Bank ribawi masih dikatakan Bank
Ribawi selama Bank ini tidak mengubah sistem ribawi kepada sistem
syar’i. Mungkin pengarahnya adalah orang Islam, mayoritas perkerja sektor
perbankan ribawi ini adalah orang Islam dan bukan orang kafir,
akan tetapi selama bank tersebut terus memberlakukan sistem ribawai maka Bank itu tetap Bank ribawi, tanpa melihat mayoritas pekerja atau pelanggannya beragama
Islam. Sama halnya pemerintahan. Jika yang berlaku adalah hukum selain hukum islam, walaupun para pelaksananya muslim, belum mengubah status negeri tersebut menjadi negeri islam. Yang diperbincangkan di sini adalah sistem yang digunakan oleh institusi tersebut dan bukan pekerja, pelanggan atau pemiliknya.
Gambaran tentang bank ribawi dan bank islam tersebut hanya gambaran yang bermaksud untuk memudahkan kita memahami dengan cara membandingkan (qiyas) kasus pendefinisian bank dengan kasus pendefinisian Negara. Adapun untuk lebih menggelitik atau memotivasi kita memahami penyandaran dalil-dalil tentang perbedaan Negara islam dan Negara kufur (sebagian dibahas dalam kitab-kitab tersebut di atas yang membahas tentang khilafah), mari kita perhatikan penjelasan singkat dari para ulama ahlussunnah tentang bagaimana mereka membedakan Negara islam dan Negara kufur. Diantara penjelasan para ulama’ tentang hal tersebut diantaranya adalah ulama-2 ahlussunnah berikut:
1,Al-Imam Abu Hanifah.
قال الإمام السرخسي الحنفي رحمه الله
عند أبي حنيفة رحمه الله تعالى إنما يصير دارهم دارالحرب بثلاث شرائط أحدها ن تكون متاخمة أرض الترك ليس بينها وبين أرض الحرب دار المسلمين الثاني أن لا يبقي فيها مسلم امن بئيمانه ولا ذمي آمن بإمانه والثالث أن يظهرأحكام الشرك فيها ( المبسوط السرخسي 10/114)
Al-Imam As-Sarkhasy Al-Hanafi rahimahullah berkata
’’Menurut Abu Hanifah rahimahullah, sebuah negara menjadi darul harbi dengan terpenuhinya tiga syarat. Pertama, negara tersebut berbatasan langsung dengan negara kafir yang diantara kedua negera itu tidak diselingi oleh negeri kaum muslimin. Kedua, tidak ada lagi di Negara itu seorang muslim yang hidup aman dengan keimanannya dan ahlu dzimmah pun tidak hidup aman dengan dzimmahnya.ketiga, penampakan hukum syirik di dalamnya (Al-Mabsuth karya As-Sarkhsy 10/114)
Penjelasan
Perhatikanlah syarat sebuah Negara disebut sebagai Negara harbi (kafir) menurut Abu Hanifah yaitu:
1. Berbatasan langsung dengan negara kafir.
2. Orang Islam tidak hidup aman dengan keislamannya dan begitu pula ahlu dzimmah.
3. Penampakan hukum syirik di dalamnya.
2. Al-Imam Al-Qodhi Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan As-Saibani (beliau berdua adalah dua murid Imam Abu Hanifah).
2/
قالان إذا يظهروا أحكام الشرك فيها فقد صارت دارهم دارالحرب لأن البقعة إنما تنسب إلينا أو إليهم باعتبار القوة والغلبة فكل موضع ظهر فيه حكم الشرك فالقوة فيه للمشركين فكانت دار الحرب و كل موضع كان الظاهر فيه حكم الإسلام فالقوة فيه للمسلمين ( المبسوط السرخسي 10/114) طبعة دار المعرفة
’’jika Nampak hukum syirik dalam suatu negara maka negara itu berubah menjadi negara harbi (kafir) karena sebuah wilayah itu dinisbatkan kepada kita kaum muslimin atau kepada mereka orang-orang kafir berdasarkan kekuatan dan dominasi kekuasan. Maka, setiap wilayah yang tampak dominan di dalamnya hukum syirik maka hakikatnya kekuasan milik orang-orang musyrik sehingga negaranya menjadi negara kafir sedangkan setiap tempat yang dominan di dalamnya hukum Islam berarti kekuasaan milik kaum muslimin (Al-Mabsuth karya As-Sarkhasy 10 /114 cetakan Darul Ma’rifah).
3. Al-Imam ’Alaudin Al-Kasani.
قال الإمام علاءالدين الكا سا ني
إن كل مضافة إما إلى الإسلام و إما إلى الكفر إنما تضاف الدار إلى الإسلام إذا طبقت فيها أحكام الإسلام وتضاف إلى الكفر إذا طبقت فيها أحكامه كما نقول الجنة دارالسلام والنار دار البوار لوجود السلامة فى الجنة والبوار فى النار ولأن ظهورالاسلام والكفر بظهور أحكامهما ( بدائع صنا ئع للكاساني 9 / 4378) طبعة زكريا علي يسف
’’Sesunggunya kecenderungan sebuah negara entah kepada Islam atau kepada kekafiran. Jika yang diberlakukan di dalamnya adalah hukum Islam maka negara itu adalah negara Islam dan sebaliknya jika yang diberlakukan adalah hukum kafir maka negara itu adalah negara kafir sebagaimana kita katakan bahwa jannah itu adalah negeri keselamatan karena adanya keselamatan di sana dan neraka adalah negeri kesengsaraan karena adanya kesengsaraan di sana, dan penampakan suatu negara Islam atau kafir adalah dengan penampakan hukum yang berlaku pada keduanya (Badai’ Ash-Shanai’ karya Al-Kasani 9/4375) cet. Zakariya ’Ali Yusuf lihat di Al-Jami` Syaikh Abdul Qodir buku ke 9 hal 92-93.
4.Al-Imam As-Sarkhosi.
قاالإمام السرخسي:والدارتصير دار المسلمين بإ جراءأحكا م الإسلام (االسير الكبير5\2197)
Sebuah negara berubah menjadi negara kaum muslimin dengan di berlakukannya hukum-hukum Islam di dalamnya (Assiyaru Al-Kabiru 5/2197)
5. Al-Qodhi Abu Ya`la Al-Hanbali
قال القاضي أبو يعلي الحنبلي:
كل داركانت الغلبة فيها لأحكام الكفردون أحكام الإسلام فهي دارالكفر(المعتمدفي اصول الدين لابي يعلي ص 276) طبعة دارالمشورك بيروت 1974
Setiap negara apabila yang mendominasi di dalamnya adalah hukum kafir, bukan hukum Islam maka negara itu adalah negara kafir (Al-Mu`tamadu fi Ushuliddien karya Abi Ya`la,hal.1276.cet Daarul Masyruk Bairut 1974)
6.Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Hambali.
Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Hambali.
إلي أن قال ومتي ارتد أهل بلد وجرت فيه أحكامهم صاروا دار حرب : قال الإمام ابن قدامة الحنبلي
ولنا أنها دار كفار فيها أحكامهم فكانت دارحرب
(
المغني مع الشرح الكبير 10\95)
Manakala penduduk sebuah negeri murtad, kemudian memberlakukan hukum-hukum mereka (hukum kafir) maka jadilah negeri itu negeri kafir -sampai ucapan beliau- dasar pendapat kami adalah karena negeri itu dikuasai oleh orang kafir dan di berlakukan hukum kafir di dalamnya sehingga negeri itu menjadi negeri harbi (Al-Mughni Ma’a Syarhi Al-Kabir.10/95)
7. Al-Imam Abdul Qodir Al-Baghdadi.
Beliau juga mengatakan persis seperti yang dikatakan oleh Al-Imam Abu Ya`la Al-Hambali yaitu ”Sebuah Negara kalau hukum yang berlaku di dalamnya didominasi oleh hukum-hukum kafir, maka negara itu adalah negara kafir”. Silahkan lihat Ushulud dien hal.270 cet.Darul kutub Al Ilmiyah Beirut,cetakan ke-2.
8.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Beliau berkata ketika menjawab pertanyaan tentang status negeri Maridin. Apakah Maridin termasuk negara Islam ataukah kafir dan apakah umat islam yang tinggal di dalamnya harus hijrah atau tidak. Negeri Maridin sekarang adalah sebuah wilayah di bagian tenggara Turki. Pada masa khilafah bani Abasiyyah, di negeri ini berdiri daulah Urtuqiyah. Mereka adalah bagian besar dari bangsa Turki Saljuk yang mengakui kekhilafahan Abasiyyah. Pada masa serangan bangsa Mongol yang dipimpin Jengis Khan dan keturunannya, negeri Maridin termasuk yang jatuh ke dalam kekuasaan Mongol sehingga hukum kafir Ilyasik diterapkan oleh bangsa Mongol terhadap rakyat Maridin.Kala itu, pada masa kekuasaan daulah kedua Khaniyah yang berpusat di Baghdad yang didirikan oleh Hulagukhan, hukum dan kekuasan sepenuhnya ada di tangan bangsa musyrik, sekalipun sebagian besar penduduknya adalah muslimin, sementara orang kafir hanya minoritas.(lihat Mizanul Muslim 2/385.penerbit Kordova Mediatama cet.1 mei 2010).
Diantara ucapan beliau:
وأما كونها دارحرب أو سلم فهي مركبة فيها المعنيا ن
ليست بمنزلة دارالسلم التي تجري عليها أحكام الإسلام لكنون جندها مسلمين ولابمنزلة دارالحرب التي أهلها كفار(مجموع الفتاوى241\28)
”Adapun statusnya apakah negara Islam atau negara kafir (harbi) maka jawabannya adalah negeri Maridin itu murokkabah (tumpang tindih /double) tidak berstatus negara silmi (Islam yang aman) yang di dalamnya berlaku hukum islam, di karenakan tentaranya muslimin dan tidak berstatus negara harbi (kafir) yang penduduknya kafir (Majmu` Al-Fatawa 28/241).
9.Al-Qodhi Ibnu muflih Al-Hambali (salah satu murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berbeda dengan beliau dlm hal tidak ada jenis Negara ke-3)
قال: وكل دار غلب عليها أحكا م المسلمين فدارالاسلام وإن غلب عليهاأحكام الكفر فدارالكفر ولا دار غيرهما
(
الآداب الشرعية 1\212 \الدررالسنية فى الاجوبة النجدية.كتاب الجهاد.ج 7 ص 353.جمع ابن قاسم)
Setiap negara yang dikuasai oleh hukum-hukum kaum muslimin maka statusnya adalah negara islam sedangkan jika yang menguasainya adalah hukum-hukum kafir maka statusnya adalah negara kafir.Tidak ada jenis negara ketiga”.(Al-Adab As-Syar`iyah 1/212/Ad-Durar As-Saniyah fil Ajwibah An-Najdiyah kitab jihad juz 7 hal 353 yang dihimpun oleh Ibnu Qosim).
10.Al-Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah.
قال ابن القيم :
قال الجمهور: دار الإسلام هي التى نزلها المسلمون وجرت عليها أحكام لإسلام وما لم تجرعليه أحكام الإسلام لم يكن دارالاسلام (أحكام أهل الذمة لإبن قيم 1\366 ط دار العلم للمليين 1983)
Ibnul Qoyyim berkata: jumhur ulama mengatakan bahwa negara Islam adalah negara yang dikuasai kaum muslimin dan diberlakukan di dalamnya hukum-hukum Islam. Apabila sebuah negara tidak berlaku di dalamnya hukum-hukum Islam maka negara itu bukanlah negara Islam.”(Ahkamu Ahli Dzimmah karya Ibnul Qoyyim 1/366.cet Darul Ilmi Lil Malayin, tahun 1983 M).
11.Al-Imam As-Syaukani Al-Yamani.
قال الإمام الشوكانى:
الإعتبار بظهورالكلمة فإن كانت الأوامروالنواهى فى الدارلاهل الإسلام بحيث لايستطيع من فيها من الكفارأن يتظاهربكفره إلا لكونه مأ دونا له بذالك من أهل الإسلام فهداه دارالإسلام – الى ان قال- وإذا الأمربالعكس فالداربالعكس (السيل الجرار4/575)
Yang dijadikan standar penilaian adalah supermasi hukum, apabila perintah-perintah serta larangan-larangan di dalam negara itu milik kaum muslimin sehingga orang-orang kafir tidak bisa menampakkan kekafirannya kecuali atas izin orang Islam maka negara model ini adalah negara Islam -sampai ucapan beliau– dan apabila kondisinya berbalikan dari kondisi pertama maka status negara pun menjadi kebalikannya’’(As-Sailu Al-Jirar 4/575)
Ketika Al-Imam Al-Mawardi mengatakan:
إذاقد رعلى إظهاراالدين فى بلد من بلادالكفر فقد صارت البلد به دارالإسلا م فالإقامة فيها أفضل من الرحلة منها لما يترجى من دخول غيره فى الإسلام
“Jika Dinul Islam mampu ditampakkan secara terang-terangan di salah satu negara kafir, berubahlah negara kafir itu menjadi negara Islam, sehingga tinggal di dalamnya adalah lebih baik daripada hijrah darinya karena diharapkan penduduk yang lainnya akan masuk Islam”.
Setelah mengutip ucapan Al-Mawardi tadi, Al-Imam Syaukani Al-Yamani mengkritiknya dengan mengucapkan:
ولايخفى مافى هذاالرأي من المصادة لأحاديث الباب القاضية بتحريم الإقامة فى دارالكفر(نيل الأوطار8\178)
“ Jelas bahwa pendapat ini bertentangan dengan hadits-hadits yang berbicara tentang haramnya tinggal di negara kafir (Nailu Al-AuthAr 8/178).
12. Asy-Syaikh Al-Manshur Al-Bahuti Al-Hanbali.
قال الشيخ منصور البهوتي
و هي ما يغلب فيها أحكام الكفر على من يعجز عن إظهار دينه بدارالحرب و تجب الهجرة
(
كشاف القناع للشيخ منصور البهوتي3 /43
Dan ada kewajiban hijrah bagi seorang muslim yang tidak bisa menampakkan agamanya di negeri harbi (kafir) yaitu negara yang supermasi hukumnya didominasi olah hukum kafir (Kasysyaful Qona’ 3 /43).
13.Syaikhul Islam Muhammad bin Abdulwahhab (di cuplik oleh Syaikh Hamd bin “atiq)
:
قال شيخ الإسلام محمد بن عبد الوهاب
قداطلع على أن البلد اذا ظهر فيها الشرك وأعلنت فيها المحرمات وعطلت فيهامعالم الدين أنها تكون 257/بلاد كفر(الدرر10
Syaikhul islam Muhammad bin Abdilwahhab berkata:
Telah menjadi maklum status sebuah negeri apabila nampak kesyirikan di dalamnya dan berbagai macam keharaman dipromosikan dalamnya berbarengan dengan diabaikannya para dai maka jadilah negeri itu negeri kafir.(Ad-Durar 10/257 cetakan lama, cetakan ini dihimpun oleh Ibnu Qosim).
14.Asy-Syaikh Hamd bin `Atiq.
قال الشيخ حمد بن عتيق:
إنه إذا ظهرفى بلد دعاء غير الله و توابع ذاك و استمر أهلها و قاتلوا عليه تقررت عندهم عداوة أهل التوحيد و أبوا عن الانقياد للدين فكيف لا يحكم عليها بأنها بلد كفر ( الدرر 10/263)
Asy-Syaikh Hamd bin ’Atiq berkata :
’’Sesugguhnya apabila nampak pada suatu negeri ritual doa kepada selain Allah (syirik) dan hal itu dijadikan tuntunan hidup. Apabila Penduduknya terus-menerus melakukan kesyirikan itu, berperang untuk membelanya, menyatakan permusuhan kepada ahli tauhid. dan menolak untuk tunduk kepada Islam, bagaimana mungkin negeri semacam ini tidak bisa dihukumi sebagai negeri kafir??”(Ad-Durar 10/263).
15.Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh.
Ketika beliau ditanya tentang kewajiban hijrah dari negeri yang diberlakukan di dalamnya qanun wad’iyyah, beliau menjawab
، البلد التي يحكم فيها بالقانون ليست بلد إسلام تجب الهجرة منها
و كذلك إذا ظهرت الوثنية من غير نكير ولا غيرت فتجب الهجرة فالكفر بفشق الكفر و ظهوره، هذا بلد كفر
(
فتا وى ورسائل الشيخ محمد بن إبراهيم آل الشيخ 6/92) جمع محمد بن عبد الرحمن بن قاسم ط بمكة المكرمة ه 1399
’’Negara yang diberlakukan di dalamnya qanun wad’iyyah bukanlah negara Islam sehingga wajib hijrah darinya. Demikian pula apabila nampak paganisme tanpa ada pengingkaran dan usaha untuk merubahnya maka juga wajib hijrah. Suatu Negara dikatakan negara Kafir apabila kekufuran mendominasi dan merajalela’’( Fatawa dan Rosail Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh 6/188 ) dihimpun oleh Muhammad bin Abdurrahman bin Qosim cet 1399 H Makkah Al-Mukarromah
Dan beliau juga berkata:
أَمَّا الَّذِيْ جُعِلَ قَوَانِيْنَ بِتَرْتِيْبٍ وَ تَخْضِيْعٍ فَهُوَ كُفْرٌ وَإِنْ قَالُوْا أَخْطَأْنَا وَحُكْمُ الشَّرْعِ أَعْدَلُ
Adapun hukum yang dijadikan undang-undang dengan begitu tertib dan rapi, maka itu adalah kekufuran, meskipun mereka mengatakan: “Kami mengaku salah dan hukum syari’at itu lebih adil.”( Majmu Fatawa 12/280 dan 6/189)
16. Al-Imam Abu Qosim Ar-Rafi`I As-Syafi`i berkata:
كونهافى يدالإمام وإسلامه (فتح العزيزشرح الجيزللرافعى8\14) وليس من شرط دارالإسلام أن يكون فيها مسلمون بل يكتفى

Bukanlah merupakan syarat sebuah negara Islam itu bahwa yang tinggal di dalamnya adalah kaum muslimin akan tetapi cukup dengan statusnya yang berada dibawah kekuasaan imam dan keislamannya (dibawah pemerintahan muslim)” (Fathul `Aziz Syarhu Al-Wajiz 8/14).
17. Syekh Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsari
Dalam bukunya “Al Wajiz Fi Aqidati as Salaf as Shalih (Ahli Sunnaah Wal Jama’ah, hal 169 ) . Beliau berkata: “Adapun jika (para penguasa) menihilkan syariat Allah, tidak berhukum dengannya dan berhukum dengan yang lain maka mereka telah keluar dari ketaatan kaum muslim dan manusia tidak wajib mentaatinya. Karena mereka telah menyia-nyiakan tujuan imamah (kepemimpinan) yang dengan keberadaannya ia diangkat, berhak didengar, ditaati dan tidak boleh keluar darinya. Ulil Amri berhak mendapatkan itu semua dikarenakan mereka melaksanakan kepentingan (urusan) kaum muslim, menjaga dan menyebarkan agama, melaksanakan hukum-hukum, menjaga perbatasan, memerangi orang-orang yang menolak Islam setelah mendakwahinya, mencintai kaum muslimin dan memusuhi orang-orang kafir.
Jika dia tidak menjaga agama atau tidak melaksanakan urusan kaum muslim maka telah hilang darinya hak kepemimpinan. Dan wajib bagi umat (dalam hal ini diwakili oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, karena kepada merekalah kembalinya kendali permasalahan) untuk mencopotnya dan menggantinya dengan yang lain yang punya kapabilitas untuk merealisasikan tujuan kepemimpinan.
18. Syaikh Abdurrahman Nashir ASa’diy
Bila suatu negara menegakkan hukum Islam secara keseluruhan tanpa kecuali dan diperintah oleh orang-orang muslim serta kebijakan ada di tangan mereka, maka negara tersebut adalah negara Islam, meskipunmayoritas penduduknya kafir (Al Fatawa As Sa’diyyah karya Syaikh Abdurrahman Nashir ASa’diy 1/92, cetakan II tahun 1402, Maktabul Ma’arif Riyad)
19. Syaikh Abdul Aziz Ibnu Baz
Beliau berkata:
وَكُلُّ دَوْلَةٍ لاَ تَحْكُمُ بِشَرْعِ اللهِ وَلاَ تَنْصَاعُ لِحُكْمِ اللهِ وَلاَ تَرْضَاهُ فَهِيَ دَوْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ كَافِرَةٌ ظَالِمَةٌ فَاسِقَةٌ بِنَصِّ هَذِهِ الآيَاتِ الْمُحْكَمَاتِ . يَجِبُ عَلَى أَهْلِ الإِسْلاَمِ بُغْضُهَا وَمُعَادَاتُهَا فِي اللهِ وَتَحْرُمُ عَلَيْهِمْ مَوَدَّتُهَا وَمُوَالاَتُهَا حَتَّى تُؤْمِنَ بِاللهِ وَحْدَهُ وَتُحَكِّمَ شَرِيْعَتَهُ وَتَرْضَى لَهَا وَعَلَيْهَا
Setiap negara yang tidak berhukum dengan syari’at Allah dan tidak tunduk kepada hukum Allah, serta tidak ridla dengannya, maka itu adalah negara jahiliyah, kafirah, dhalimah, fasiqah dengan penegasan ayat-ayat muhkamat ini. Wajib atas pemeluk Islam untuk membenci dan memusuhinya karena Allah dan haram atas mereka mencintainya dan loyal kepadanya sampai beriman kepada Allah saja dan menjadikan syari’atnya sebagai rujukan hukum dan ridla dengannya.”( Naqdul Qaumiyyah Al Arabiyyah yang dicetak dengan Majmu fatawa wa Maqaalaat Mutanawi’ah 1/309-310.)
20. Syaikh Shalih Al Fauzan
Beliau berkata:
اَلْمُرَادُ بِالْبِلاَدِ الإِسْلاَمِيَّةِ هِيَ الَّتِيْ تَتَوَلاَّهَا حُكُوْمَةٌ تَحْكُمُ بِالشَّرِيْعَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ..لاَ الْبِلاَدُ الَّتِيْ فِيْهَا مُسْلِمُوْنَ وَتَتَوَلاَّهَا حُكُوْمَةٌ تَحْكُمُ بِغَيْرِ الشَّرِيْعَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ فَهَذِهِ لَيْسَتْ إِسْلاَمِيَّةً
Yang dimaksud dengan negeri-negeri Islam adalah negeri yang dipimpin oleh pemerintahan yang menerapkan syari’at Islamiyah…bukan negeri yang di dalamnya banyak kaum muslimin dan dipimpin oleh pemerintahan yang menerapkan bukan syari’at Islamiyah, negeri seperti ini bukanlah negeri Islam.”( Al Muntaqaa Min fatawa fadlilatusy Syaikh Shalih Al Fauzan 2/254 no: 222.)
Perhatikan bahwa Ibnul Qoyyim mengatakan bahwa jumhur ulama menyatakan berikut ini :” Mayoritas ulama mengatakan bahwa Daarul Islam adalah negara yang dikuasai oleh umat Islam dan hukum-hukum Islam diberlakukan di negeri tersebut. Bila hukum-hukum Islam tidak diberlakukan, negara tersebut bukanlah Daarul Islam, sekalipun negara tersebut berdampingan dengan sebuah Daarul Islam. Contohnya adalah Thaif, sekalipun letaknya sangat dekat dengan Makkah, namun dengan terjadinya fathu Makkah ; Thaif tidak berubah menjadi Daarul Islam.” [Ahkamu Ahli Dzimmah 1/366, Ibnu Qayyim, cet. Daarul Ilmi lil malayiin, 1983 M].
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa banyaknya umat islam, masih banyaknya syi’ar-syi’ar, penguasanya adalah orang islam dan lain sebagainya, tidak mengubah status sebuah negeri selama masih menerapkan syari’at selain syari’at islam.
Seseorang yang terkena pemahaman yang kurang benar ini (yaitu yang hanya berdasar kumandang adzan dan syiar sholat saja dlm membedakan Negara Islam dg yg lain) lebih sulit untuk diberikan pemahaman dibandingkan seseorang yang belum mengetahui. Sebagaimana ahli bid’ah yang lebih dicintai setan dibandingkan ahli kabair. Karena ahli bid’ah berkeyakinan bahwa apa yang dilaksanakan dan diyakini adalah suatu kebenaran. Sedangkan pelaku dosa besar para pelakunya masih berkeyakinan bahwa yang mereka lakukan adalah kesalahan. Sehingga masih ada harapan untuk kembali pada kebenaran.
Oleh karena itu mari kita terus menggali ilmu syar’i untuk lebih mengetahui lagi dalil-2 syar’i yang shahih tentang hal ini sehingga kita bisa memahami pemikiran/pernyataan-pernyataan ulama ahlussunnah tersebut tentang Negara Islam dan tidak terjerumus pada pemahaman yang kurang benar tentang hal ini.
Orang yang berakal adalah orang yang biasa membedakan antara yang paling baik diantara yang baik. Mengetahui yang paling mendekati kebenaran diantara orang-orang yang ingin mendekati kebenaran. Dan sifat tholibul ‘ilmi adalah seorang yang senantiasa memahami dalil dan tidak taqlid buta kepada seseorang. Semoga Allah Ta’ala perlihatkan kepada kita kebenaran sebagai sesuatu yang benar, dan memberi kekuatan pada kita untuk mengikuti-nya, dan menunjukkan kita kebatilan sebagai sesuatu yang batil, dan memberi kekuatan untuk menjauhinya.”
JAKARTA 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman