Jumat, 31 Juli 2015

MAKNA IKHLAS




HUKUM IKHLAS beramal ?



ؤما امر الا ليعبد الله مخلصين له الدين حنفاء
Artinya :“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan kethaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”.(al-Bayyinah:5)
اِنَّ اللهَ لَايُقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ اِلَّا مَاكَانَ لَهُ خَالِصاً وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
Artinya :
"sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal kecuali yang mengerjakannya secara ikhlas, dan mencari hanya ridhanya" (HR. An-Nasai dari Abu Umamah al-bahili).
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوي . فمن كانت هجرته الي الله ورسوله فهجرته الي الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلي ما هاجر إليه
“Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.” (HR. Bukhari [Kitab Bad’i al-Wahyi, hadits no. 1, Kitab al-Aiman wa an-Nudzur, hadits no. 6689] dan Muslim [Kitab al-Imarah, hadits no. 1907])


Muqaddimah
Berkenaan dengan niat,sebagian ulama mendefinisikan niat menurut syara sebagai berikut :
النية هي قصد فعل شيئ مقتر نا بفعله
Artinya : Niat adalah menyengajakan untuk berbuat sesuatu disertai dengan perbuatan-perbuatannya.
عن ابي هريرةعبدالرحمن بن صخر رضي الله عنه قال : قا ل رسول الله صلي الله عليه وسلم : ان الله تعالي لا ينظر الي اجسا مكم ولا الي صوركم ولكن  ينظرالى قلوبكم (رواه مسلم)
Artinya : Dari Abu Hurairah, Abdurrahman bin sakhr r.a,berkata bahwasanya Rasullullah saw. telah bersabda : Sesungguhnya Allah SWT. tidak melihat bentuk badan dan rupamu, tetapi melihat (memperhatikan niat dan keikhlasan) hatimu. (H.R Muslim)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tahun ibarat sebatang pohon sedangkan bulan-bulan adalah cabang-cabangnya, jam-jam adalah daun-daunnya dan hembusan nafas adalah buah-buahannya. Barang siapa yang pohonnya tumbuh di atas kemaksiatan maka buah yang dihasilkannya adalah hanzhal (buah yang pahit dan tidak enak dipandang, pent) sedangkan masa untuk memanen itu semua adalah ketika datangnya Yaumul Ma’aad (kari kiamat). Ketika dipanen barulah akan tampak dengan jelas buah yang manis dengan buah yang pahit. Ikhlas dan tauhid adalah ‘sebatang pohon’ di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-amal sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akherat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan akan habis dan tidak terlarang untuk dipetik maka buah dari tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun syirik, kedustaan, dan riya’ adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia adalah berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya hati, dan buahnya di akherat nanti adalah berupa buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus. Allah telah menceritakan kedua macam pohon ini di dalam surat Ibrahim.” (Al Fawa’id, hal. 158).
Pentingnya Niat ?
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah di antara kalian orang yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2)
al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan makna ‘yang terbaik amalnya’ yaitu ‘yang paling ikhlas dan paling benar’. Apabila amal itu ikhlas namun tidak benar, maka tidak akan diterima. Begitu pula apabila benar tapi tidak ikhlas, maka juga tidak diterima. Ikhlas yaitu apabila dikerjakan karena Allah. Benar yaitu apabila di atas sunnah/tuntunan (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyat al-Auliya’ [8/95] sebagaimana dinukil dalam Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 50. Lihat pula Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Mutharrif bin Abdullah rahimahullah mengatakan, “Baiknya hati dengan baiknya amalan, sedangkan baiknya amalan dengan baiknya niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 19). Ibnu al-Mubarak rahimahullah mengatakan, “Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak pula amal besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Seorang ulama yang mulia dan sangat wara’ (berhati-hati) Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata, “Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih sulit daripada niatku.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 19)
Pada suatu ketika sampai berita kepada Imam Ahmad bahwa orang-orang mendoakan kebaikan untuknya, maka beliau berkata, “Semoga saja, ini bukanlah bentuk istidraj (yang membuatku lupa diri).” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)
Sahnya Amal benarnya Niat ?
Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa niat merupakan timbangan penentu kesahihan amal. Apabila niatnya baik, maka amal menjadi baik. Apabila niatnya jelek, amalnya pun menjadi jelek (Syarh Arba’in li an-Nawawi, sebagaimana tercantum dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 26).
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “Bukhari mengawali kitab Sahihnya [Sahih Bukhari] dengan hadits ini dan dia menempatkannya laiknya sebuah khutbah [pembuka] untuk kitab itu. Dengan hal itu seolah-olah dia ingin menyatakan bahwa segala amal yang dilakukan tidak ikhlas karena ingin mencari wajah Allah maka amal itu akan sia-sia, tidak ada hasilnya baik di dunia maupun di akhirat.” (Jami’ al-‘Ulum, hal. 13)
Ibnu as-Sam’ani rahimahullah mengatakan, “Hadits tersebut memberikan faedah bahwa amal-amal non ibadat tidak akan bisa membuahkan pahala kecuali apabila pelakunya meniatkan hal itu dalam rangka mendekatkan diri [kepada Allah]. Seperti contohnya; makan -bisa mendatangkan pahala- apabila diniatkan untuk memperkuat tubuh dalam melaksanakan ketaatan.” (Sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fath al-Bari [1/17]. Lihat penjelasan serupa dalam al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyah, hal. 129, ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 39-40)
Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, hadits ini juga merupakan dalil yang menunjukkan tidak bolehnya melakukan suatu amalan sebelum mengetahui hukumnya. Sebab di dalamnya ditegaskan bahwa amalan tidak akan dinilai jika tidak disertai niat [yang benar]. Sementara niat [yang benar] untuk melakukan sesuatu tidak akan benar kecuali setelah mengetahui hukumnya (Fath al-Bari [1/22]).
Menurut Sayyidina Ali r.a tanda-tanda orang riya ada tiga, yaitu
1.  Malas beramal kalau sendirian;
2.  Semangat beramal kalau dilihat banyak manusia;
3.  Amalnya bertambah banyak jika dipuji oleh manusia dan berkurang jika dicela manusia.
Syaqiq bin ibrahim yang diikuti oleh Abu Laits Samarqandi, berpendapat bahwa ada 3 perkara yang menjadi benteng amal, yaitu :
1.  Hendaknya mengakui bahwa amal ibadahnya adalah pertolongan dari Allah SWT. agar penyakit ujub dalam hatinya hilang.
2.  Semata-mata hanya mencari ridho Allah SWT. agar hawa nafsunya teratur
3.  Senantiasa hanya mengharapkan ridho Allah SWT. agar timbul rasa tamak dan iri.
Ikhtitam
عن محمودابن لبيد قال : قا ل رسول الله صلي الله عليه وسلم : ان اخوف ما اخا ف عليكم الشرك الاصغر : (اخرجه احمد با لسنا حسن))
Artinya : “ Dari Mahmud bin Lubaid ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda : sesuatu yang paling aku khawatirkan diantara kamu adalah syirik kecil,yaitu riya.” (H.R Ahmad dengan sanad Hasan).
Sumber:1.http://nisaareal.blogspot.com
2.http://muslim.or.id
Jakarta 30/7/2015
READ MORE - MAKNA IKHLAS

Kamis, 30 Juli 2015

KHILAFIYAH BPJS




PENDAPAT HUKUM BPJS ?

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror.” (HR. Muslim no. 1513)

Muqaddimah
Jakarta, NU Online
Forum bahtsul masail pra muktamar ke-33 NU yang diselenggarakan PBNU di pesantren Krapyak Yogyakarta pada 28 Maret 2015 lalu, sepakat mendukung program jaminan kesehatan nasional yang ditangani BPJS Kesehatan.
Mereka menyimpulkan bahwa konsep jaminan kesehatan nasional yang ditangani BPJS Kesehatan tidak bermasalah menurut syariah Islam.

Forum yang diikuti para kiai dari pelbagai daerah di Indonesia ini menetapkan bahwa BPJS sudah sesuai dengan syariat Islam. Mereka memandang akad yang digunakan BPJS Kesehatan sebagai akad ta’awun. Ketika disodorkan pertanyaan apakah mengandung riba, mereka menjawab bahwa akad BPJS tidak mengandung riba.
Hukum BPJS Khilaf Pendapat ?
Ala MUI ?
Pertama, Peserta bayar premi bulanan, namun tidak jelas berapa jumlah yang akan diterima. Bisa lebih besar, bisa kurang. Di situlah  unsur gharar (ketidak jelasan) dan untung-untungan.
Ketika gharar itu sangat kecil, mungkin tidak menjadi masalah. Karena hampir dalam setiap jual beli, ada unsur gharar, meskipun sangat kecil.
Dalam asuransi kesehatan BPJS, tingkatannya nasional. Artinya, perputaran uang di sana besar. Anda bisa bayangkan ketika sebagian besar WNI menjadi peserta BPJS, dana ini bisa mencapai angka triliyun. Jika dibandingkan untuk biaya pemeliharaan kesehatan warga, akan sangat jauh selisihnya. Artinya, unsur ghararnya sangat besar.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli gharar.” (HR. Muslim 1513).
Kedua, secara perhitungan keuangan bisa jadi untung, bisa jadi rugi. Kita tidak menyebut peserta BPJS yang sakit berarti untung, sebaliknya ketika sehat berarti rugi. Namun dalam perhitungan keuangan, yang diperoleh peserta ada 2 kemungkinan, bisa jadi untung, bisa jadi rugi. Sementara kesehatan peserta yang menjadi taruhannya.
Jika dia sakit, dia bisa mendapatkan klaim dengan nilai yang lebih besar dari pada premi yang dia bayarkan.
Karena pertimbangan ini, MUI menyebutnya, ada unsur maisir (judi).
Ketiga, ketika klaim yang diterima peserta BPJS lebih besar dari premi yg dibayarkan, berarti dia mendapat riba Fadhl. Demikian pula, ketika terjadi keterlambatan peserta dalam membayar premi, BPJS menetapkan ada denda. Dan itu juga riba.
Menimbang 3 hal di atas, MUI dan beberapa pakar fikih di Indonesia, menilai BPJS belum memenuhi kriteria sesuai syariah.
Diantaranya pernyataan Dr. Muhammad Arifin Badri – pembina pengusahamuslim.com – ketika memberikan kesimpulan tentang BPJS,
”BPJS Kesehatan termasuk dalam katagori Asuransi Komersial, jadi hukumnya haram.”
Kemudian juga keterangan DR. Erwandi Tarmizi,
Pada kajian di al-Azhar 18 Mei 2014, beliau manyatakan
Bahwa sebagian besar dengan adanya BPJS ini sangat baik dan bagus dari pemerintah terhadap rakyatnya. Hanya saja, karena ada satu akad yang mengandung unsur ribawi,  yakni bila terjadinya keterlambatan pembayaran maka pada bulan berikutnya akan dikenakan denda Rp 10 ribu, unsur inilah yang pada akhirnya dipermasalahkan dan menjadikan BPJS haram. (SalamDakwah.com)
Ala NU ?
TEMPO.CO, Semarang - Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah mendapat pertanyaan dari warga tentang polemik status hukum program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS).

"Masyarakat bertanya, apakah BPJS itu termasuk riba dan judi atau tidak? Apakah BPJS itu sama dengan asuransi?" kata Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jawa Tengah Hudallah Ridwan kepada Tempo, Rabu, 7 Januari 2015. (Baca: Jokowi Luncurkan Kartu Keluarga Sejahtera)

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, NU Jawa Tengah telah membahas hal itu di Boyolali pada Senin, 29 Desember 2014. NU Jawa Tengah kemudian mengeluarkan fatwa bahwa hukum menjadi peserta BPJS halal karena tidak mengandung unsur riba dan judi. (Baca: Warga Lereng Kelud Kesulitan Akses BPJS)

Alasannya, program BPJS tidak seperti asuransi lantaran BPJS berlandaskan pada prinsip saling membantu dan tidak mengandung unsur mengambil keuntungan. "Baik penyelenggara maupun peserta BPJS sama-sama tidak ambil keuntungan," kata Hudallah. "BPJS justru berprinsip gotong royong." (Baca: Daftar BPJS Kesehatan, Warga Antre Sejak Subuh)

Semangat BPJS, kata Hudallah, adalah membantu orang yang terkena musibah, bukan mengambil keuntungan. Hudallah menambahkan, prinsip gotong royong BPJS berbeda dengan praktek asuransi. Peserta dan penyelenggara asuransi biasanya hanya ingin mengambil keuntungan. "Maka ada sebagian ulama yang mengharamkan asuransi karena ada yang mengandung riba dan judi," kata Hudallah. (Baca: BPJS: Ada 5 Potensi Korupsi di Dana JKN)

PWNU mengakui bahwa banyak laporan tentang masih buruknya pelayanan terhadap orang sakit yang mengikuti program BPJS. Tapi, buruknya pelayanan itu tidak menghapuskan hukum halal BPJS. "Kami harus membedakan hukum dasar dengan praktek pelaksanaannya," kata Hudallah. (Baca: Dana BPJS Kesehatan Minta Ditambah)
EMARANG, KOMPAS.com — Fatwa haram yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) soal Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan merupakan tindakan yang tidak bijaksana. Seharusnya MUI duduk bersama pemerintah sebelum mengeluarkan fatwa tersebut agar tidak muncul kegaduhan.

Pandangan itu dilontarkan Wakil Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah, Muhammad Adnan, di Semarang, Kamis (30/7/2015). Adnan menganalogikan tindakan MUI tersebut seperti melempar petasan di tengah keramaian.

"BPJS ini kan sangat dibutuhkan orang miskin. Ada dasar hukum dan undang-undangnya. Menurut saya, ini seperti melempar mercon di tengah kerumunan. Artinya, tidak bijaksana. Bisa saja kan ini secara terstruktur dibahas dulu," kata Adnan.
Ikhtitam
BPJS Kesehatan dianggap bermuatan unsur gharar (penipuan), maisir (perjudian), dan riba (tambahan nilai/bunga bank) merujuk pada Q.S Al Baqarah 177, 275-280; Ali Imran 130; An Nissa 36-39); Al Maidah ayat 2. Sementara itu, 10 hadits juga menjadi dalil penetapan fatwa tersebut.
Oleh karena konsep BPJS adalah barang baru di Indonesia, maka upaya sosialisasi yang lebih intens perlu dilakukan. Sosialisasi itu terutama mengenai bentuk pelayanan dari BPJS Kesehatan dan juga termasuk koordinasi manfaat antara asuransi swasta dan BPJS Kesehatan. Banyak stakeholders dan masyarakat yang menilai bahwa sosialisasi BPJS masih kurang. Pejabat dan manajemen BPJS harus melakukan pekerjaan rumah ini agar pelaksanaan jaminan sosial ini bisa dirasakan manfaatnya secara optimal oleh masyarakat yang benar-benar membutuhkan pelayanan social ini. (mes/sbb/dakwatuna)

Sumber:1.http://regional.kompas.com 2.http://nasional.tempo.co
3.http://www.dakwatuna.com 4.http://www.konsultasisyariah.com
JAKARTA 30/7/2015
READ MORE - KHILAFIYAH BPJS

Rabu, 29 Juli 2015

MUSIBAH




MENYIKAPI MUSIBAH ?

QS. Al-Baqarah [2] : 155
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
QS. Al-Baqarah [2] : 156
ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوٓا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".
QS. Al-Baqarah [2] : 157
أُو۟لَٰٓئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَٰتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُهْتَدُونَ
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Muqaddimah

Dari berbagai rangkaian musibah, ujian dan bala bencana yang menimpa manusia, khususnya negeri ini, adalah karena perbuatan maksiat dan dosa mereka kepada Allah Swt dan RasulNya dalam merespon dakwah para Nabi dan Rasul-rasul Allah Swt. Selain itu mereka juga mendustakan ayat-ayat Allah, mengkufuri nikmat-nikmatNya dan menukarkan kenikmatan itu dengan kekafiran, serta para penguasa dan pembesar-pembesarnya menukar hukum Allah dengan hukum jahiliyah dan kecenderungan masyarakat memilih serta mengikuti tradisi nenek moyang dengan ajaran sesatnya yang bertolak belakang dari hidayah dan Sunnah Rasulullah Saw.
Musibah dunia salah satunya ialah ketakutan, kelaparan, kematian, dan sebagainya sebagaimana Allah SWT jelaskan dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 155. ''Dan pasti akan kami uji kalian dengan sesuatu dari ketakutan, dan kelaparan, dan kekurangan harta dan jiwa dan buah-buahan, dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.''

Adapun musibah akhirat adalah orang yang tidak punya amal saleh dalam hidupnya, sehingga jauh dari pahala. Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Orang yang terkena musibah, bukanlah seperti yang kalian ketahui, tetapi orang yang terkena musibah yaitu yang tidak memperoleh kebajikan (pahala) dalam hidupnya.''

Orang yang terkena musibah berupa kesusahan di dunia, jika ia hadapi dengan kesabaran, ikhtiar, dan tawakal kepada Allah SWT, hakikatnya ia tidak terkena musibah. Justru yang ia dapatkan adalah pahala.

Sebaliknya, musibah kesenangan selama hidupnya, jika ia tidak pandai mensyukurinya, maka itulah musibah yang sesungguhnya. karena, bukan pahala yang ia peroleh, melainkan dosa dan siksa.

Berkenaan dengan hal tersebut, dalam hadis Qudsi Allah SWT berfirman, ''Demi keagungan dan kemuliaan-Ku, Aku tiada mengeluarkan hamba-Ku yang Aku inginkan kebaikan baginya dari kehidupan dunia, sehingga Aku tebus perbuatan-perbuatan dosanya dengan penyakit pada tubuhnya, kerugian pada hartanya, kehilangan anaknya, apabila masih ada dosa yang tersisa dijadikan ia merasa berat di saat sakaratul maut, sehingga ia menjumpai Aku seperti bayi yang baru dilahirkan.

Hancurnya suatu Negeri ?
"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya". QS. Al-Isra' (17) ayat 16.

"Dan Kami tidak membinasakan sesuatu negeri pun, melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi peringatan". Asy-Syuara (26) : 208
"Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kelaliman." QS. Al-Qashash 28 ayat 59.

"Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitarmu dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang supaya mereka kembali (bertobat)." Al-Ahqaaf (46) ayat 27.


"Tak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya) , melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras.
Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lohmahfuz)" . QS.Al-Isyra' (17) ayat 58.

Tiga Golongan Manusia Menghadapi Musibah ?

Dan didalam Al-Qur'an juga dijelaskan bahwa ada tiga golongan manusia dalam menghadapi musibah.

"Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman". QS. Al-Aníam (6) : 125

"(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun". Qs. Al-Baqarah (2) ayat 156.

Pertama, orang yang menganggap bahwa musibah adalh sebagai hukuman dan azab kepadanya, sehingga, dia selalu merasa sempit dada dan selalu mengeluh.

Kedua, orang yang menilai bahwa musibah adalah sebagai penghapus dosa, Ia tidak pernah menyerahkan apa - apa yang menimpanya kecuali kepada Allah SWT.

Ketiga, orang yang meyakini bahwa musibah adalah ladang peningkatan iman dan takwanya, Orang yang seperti ini selalu tenang serta percaya bahwa dengan musibah itu Allah SWT menghendaki kebaikan bagi dirinya.

Ikhtitam
QS. Al-Baqarah [2] : 156
ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوٓا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".
Kesimpulan musibah demi musibah yang kita hadapi selama ini, masih lebih baik apabila kita mau bertobat, dan musibah demi musibah yang kita lihat , kita rasakan dan kita alami, bila kita hadapi dengan sabar, ikhlas dan tetap istikomah serta taubat sebenar benarnya taubat dan juga kembali kepada baik hukum Allah yang telah Allah SWT gariskan dan telah Allah tetapkan dalam Al-Qur'an serta bimbingan yang telah Nabi Muhammad SAW contohkan untuk kita semua sesuai yang tertera dalam hadits yang tidak bertentangan dengan Al-Qur'an, pastilah kita akan mendapat pahala serta petunjuk dan Insya Allah kita semua selamat baik dunia sampai akhirat.
Sumber:1.http://alquranalhadi.com
2.http://cahayamukmin.blogspot.com
Jakarta 29/7/2015
READ MORE - MUSIBAH
 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman