Rabu, 16 September 2015

HUKUM JUAL QURBAN




MENJUAL KULIT QURBAN ?


فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka dirikan (kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” (TQS Al Kautsar : 2).
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan daripada kamulah yang mencapainya.” (TQS Al Hajj : 37) [ ]
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلا يَقْرَبَنَّ مُصَلا نا
Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, dari Abu Hurairah RA. Menurut Imam Al Hakim, hadits ini shahih. Lihat Subulus Salam IV/91)
Muqaddimah
Kata kurban atau korban, berasal dari bahasa Arab qurban, diambil dari kata : qaruba (fi’il madhi) – yaqrabu (fi’il mudhari’) – qurban wa qurbânan (mashdar). Artinya, mendekati atau menghampiri (Matdawam, 1984).
Menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Ibrahim Anis et.al, 1972). Dalam bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udh-hiyah atau adh-dhahiyah, dengan bentuk jamaknya al-adhâhi. Kata ini diambil dari kata dhuhâ, yaitu waktu matahari mulai tegak yang disyariatkan untuk melakukan penyembelihan kurban, yakni kira-kira pukul 07.00 – 10.00 (Ash Shan’ani, Subulus Salam, IV/89).
Udh-hiyah adalah hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya Qurban dan hari-hari tasyriq sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, XIII/155; Al Ja’bari, 1994).

أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ : نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا
Rasulullah SAW memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”. (HR. Muslim)
Upah Untuk Penyembelih Qurban ?
Karena mengupah jagal itu wajib, tetapi haram hukumnya kalau diambilkan dari tubuh hewan, maka panitia dalam hal ini bisa mencari sumber dana yang lain, misalnya :
1. Dari Pemilik Hewan
Yang paling mudah dan masuk akal, upah jagal diperoleh dari uang biaya penyembelihan yang memang sejak awal dikenakan kepada pemilik hewan qurban.
Dari tiap hewan kambing yang diminta disembelihkan, pemilik hewan dikenakan biaya khusus penyembelihan di luar harga hewan, misalnya sebesar 50 ribu atau 100 ribu rupiah.
2. Dari Keuntungan Jual Hewan
Dan bisa juga dana untuk upah jagal diambilkan dari hasil keuntungan menjual hewan qurban. Sebab panitia yang menyediakan hewan qurban memang dibenarkan mengambil untuk dari tiap hewan.
Bisa ditawarkan kambing dengan harga 2 juta dengan rentang berat sekian kilo hingga sekian kilo. Panitia tentu membeli kambing dari sumbernya tidak dengan harga 2 juta, tetapi di bawah itu, misalnya 1,5 - 1,7 juta. Ada keuntungan 200 hingga 300 per ekor. Keuntungan 'jual' kambing ini adalah keuntungan yang halal dan sah.
Maka dari situlah dana untuk upah jagal diambilkan dan tidak boleh diambilkan dari tubuh hewan.
3. Dari Kas Masjid
Kalau kebetulan pengurus masjid juga menjadi panitia penyembelihan hewan qurban, atas persetujuan dari jamaah masjid itu, boleh saja dana upah buat jagal diambilkan dari uang kas masjid.
Hal itu mengingat kerja panitia penyembelihan hewan qurban dijadikan bagian dari program kerja masjid. Maka wajar kalau sejak awal memang sudah dianggarkan dari uang kas masjid.
Tentu saja penggunaan dana kas masjid untuk mengupah jagal ini harus disepakati dulu sejak awal, agar jelas dasar hukumnya dan tidak dianggap sebagai kebocoran atau pengkhianatan pengurus dalam penggunaan uang kas masjid.
Hukum Menjual kulit/daging Qurban ?
Tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan qurban sedikitpun. Baik daging, kulit, kepala, tengkleng, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu mengatakan,
أن نبي الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يقوم على بدنة وأمره أن يقسم بدنه كلها لحومها وجلودها وجلالها في المساكين ولا يعطي في جزارتها منها شيئا
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan-ku untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bahkan terdapat ancaman keras memperjual-belikan bagian dari hewan qurban, sebagaimana hadis dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من باع جلد أضحيته فلا أضحية له
“Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada nilainya.” (HR. Al Hakim 2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan: Hasan).
Pertama, termasuk memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau kepala dengan daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing atau daging. Karena hakekat jual-beli adalah tukar-menukar meskipun dengan selain uang.
Kedua, transaksi jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak sah. Artinya penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit dan pembeli tidak berhak menerima kulit yang dia beli.
Hal ini sebagaimana perkataan Al Baijuri: “Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban) disamping transaksi ini adalah haram.” Beliau juga mengatakan: “Jual beli kulit hewan qurban juga tidak sah karena hadis yang diriwayatkan Hakim (baca: hadis di atas). (Fiqh Syafi’i 2/311).
Ketiga, jika kulit sudah diberikan kepada orang lain, bagi orang yang menerima kulit, dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan (disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun shohibul qurban.
Menjual kulit hewan adalah haram, demikianlah pendapat jumhur ulama (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid I/352). Dalilnya sabda Nabi SAW:
وَلَا تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْيِ وَالْأَضَاحِيِّ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا وَلَا تَبِيعُوهَا
“Dan janganlah kalian menjual daging hadyu (qurban orang haji) dan daging qurban. Makanlah dan sedekahkanlah dagingnya itu, ambillah manfaat kulitnya, dan jangan kamu menjualnya…”(HR. Ahmad) (Matdawam, 1984).
Sebagian ulama seperti segolongan penganut mazhab Hanafi, Al Hasan, dan Al Auza’i membolehkannya. Tapi pendapat yang lebih kuat, dan berhati-hati (ihtiyath), adalah janganlah orang yang berqurban menjual kulit hewan qurban. Imam Ahmad bin Hambal sampai berkata,”Subhanallah ! Bagaimana harus menjual kulit hewan qurban, padahal ia telah dijadikan sebagai milik Allah ?” (Al Jabari, 1994).
Sumber:1.http://www.rumahfiqih.com
2.http://hizbut-tahrir.or.id
3.http://pengusahamuslim.com
Jakarta 16/9/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman