Kamis, 02 Juli 2015

WALI ALA SUFI




WALI MENURUT KAUM SUFI ?


اَلآ اِنّ اَوْلِيَآ ءَ اللهِ لاَخَوءفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُونْ
Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kehawatiran terhadap mereka dan tidak (pula ) mereka bersedih hati Yunus 62

قَالَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ : اِنَّ مِنْ عِبَادِ اللهِ عِبَادًا يُغْبِطُهُمُ اْلاَنْبِيَاءُ وَالشُّهَدَاءُ. قِيْلَ مَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ، لَعَلَّنَا نُحِبُّهُمْ. هُمْ قَوْمٌ تَحَابُّوْا بِنُوْرِ اللهِ مِنْ غَيْرِ اَمْوَالِ وَاَنْسَابِ، وُجُوْهُهُمْ نُوْرٌ. وَهُمْ عَلَى مَنَابِرَمِنْ نُوْرِ لاَيَخَافُوْنَ اِذَا خَافَ النَّاسُ، وَلاَ يَخْزَنُوْنَ اِذَا حَزِنَ النَاسُ. ثُمَّ تَلاَ. اَلاَ اِنَّ اَوْلِياَءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ.
Sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah Swt seorang dari shahabatnya berkata, siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Dan apa amal perbuatan mereka? Semoga kita dapat mencintai mereka? Nabi Saw menjawab dengan sabdanya: Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda yang dengannya mereka saling memberi. Demi Allah, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)

Muqaddimah
Dalam dunia tasawwuf – juga dalam cabang-cabang ilmu lain – dalam kenyataannya memang terdapat cendekiawan palsu yang membelokkan jalan dari aturan syariah. Dalam bidang tasawwuf ini menurut Syeikh Hasyim juga terdapat orang yang merusak konsep tasawwuf. Peringatan adanya jahlatul mutashawwifah (orang-orang bodoh yang mengaku bertasawwuf) disebutkan oleh Syeikh Hasyim dalam Risalah Ahlis Sunnah wal Jama’ah. Ciri-ciri mereka disebutkan menganut paham ibahiyyah (aliran menggugurkan kewajiban syariat untuk maqom tertentu), reinkarnasi, manunggaling kawulo (Syeikh Hasyim Asy’ari,Risalah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 12).
Kewajiban syari’at bagai penganut tariqah sufi dan para sufi tetaplah wajib dijalankan, dimanapun, kapapun dan dalam keadaan apapun. Syeikh Hasyim menolak jika kewajiban syariat Nabi Muhammad itu terpakai untuk orang tertentu dan terbatas pada waktu tertentu. Orang yang meymakini gugurnya syariat pada orang dan waktu tertentu dikatakan sebagai orang yang mendustakan dan merendahkan al-Qur’an yang agung (istihza anil Qur’anil ‘adzim).
Corak yang menonjol dari pemikiran tassawuf Syeikh Hasyim adalah membangun citra positif tentang sufi dalam menghadapi aliran-aliran sesat di luar Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Secara geneologis, tasawwuf Syeikh Hasyim berasal dari ajaran Syeikh Nawawi al-Bantani dan Syeikh Khatib Sambas ketika belajar di Makkah al-Mukarramah. Syeikh al-Bantani dan Syeikh Khatib Sambas adalah dua ulama’ dari Indonesia yang mengajar di Makkah. Keduanya mewarisi tasawwuf Imam al-Ghazali.
Corak pemikiran tersebut diadopsi oleh Syeikh Hasyim Asy’ari. Orang yang mengaku dirinya wali tetapi dalam kesaksiannya tidak mengikuti syariat Nabi Muhammad saw, maka orang tersebut adalah pendusta. Beliau mengatakan:
فمن الدعى الولاية بدون شاهد المتابعة فدعواه زور وبهتان
“Barangsiapa yang mengaku dirinya wali tanpa kesaksian bahwa dia mengikuti syariat Nabi Muhammad saw, maka pengakuan tersebut dusta bohong.” (Hasyim Asy’ari, Al-Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 4).
Syeikh Hasyim berpendapat, wali tidak akan memamerkan dirinya sebagai wali. Justru seorang sufi tidak menyukai popularitas. Ia mengatakan: “Jenis fitnah itu banyak sekali. Di antara yang banyak merusak seorang hamba adalah pengakuan seseorang menjadi guru tarekat dan wali. Bahkan sampai mengaku dirinya wali quthb, dan imam mahdi. Padahal mmereka bukan ahli syariat.” (Al-Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 1).
Dikatakan bahwa karakter seorang wali justru menyembunyikan kewalian dan mengedepankan tawadhu’. Ia mengatakan: “Wali itu tidak membuka jalan popularitas dan juga tidak melakukan pengakuan akan kewaliannya. Bahkan kalau bisa ia akan menyembunyikannnya. Karena itu orang yang ingin terkenal dalam hal tersebut, bukanlah ia seorang ahli tariqah” (Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 9).
Tanda-Tanda Kewalian ?
Menurut Ibnu Arobi seseorang bisa disebut wali apabila ia sudah mencapai tingkatan makrifat (dalam literatur barat disebut gnosis), tingkatan tertingi dalam kalangan tasauf akhlaqi. Kaum sufi yakin bahwa makrifat (gnosis) bukan hasil pe mikiran manusia, tetapi tergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan; makrifat merupakan pemberian Tuhan kepada seorang sufi yang dipandang sanggup meneri manya . Menurut al Qusyairi ada tiga alat untuk mencapai makrifat, yakni qolb atau kalbu (sering diterjemahkan dengan hati) untuk mengetahui sifat sifat Tuhan, roh (rohani) untuk mencintai Tuhan, dan sirr (sering diartikan dengan rahasia) yaitu alat paling halus yang ada pada manusia untuk melihat Tuhan.

Imam al Gozali mendefinisi kan makrifat dengan penglihatan terhadap rahasia rahasia ketuhanan ,pengetahuan terhadap susunan tata aturan ketuhanan yang mencakup seluruh yang wujud Penertian wali dalam dunia sufi sering menekankan dimensi mistiknya ,Ma kom- makom (tingkatan) awal seperti tobat, waro’,fakir, sabar, tawakal, dan rido perlu diperhatikan dalam memahami pengertian wali dalam dunia sufi.
Abu Yazid al Busthami mengatakan: Para wali Allah merupakan pengantin-pengantin di bumi-Nya dan takkan dapat melihat para pengantin itu melainkan ahlinya. Mereka itu terkurung pada sisi-Nya di dalam hijab (dinding penutup) kegembiraan dan takkan dapat melihat kepada mereka seorangpun di dunia ini maupun diakhirat, yakni tiada dapat mengetahui rahasia mereka.
Tanda (alamat) bagi seorang wali itu ada tiga: yakni agar menjadikan kemauan kerasnya demi untuk Allah, pelariannya kepada Allah dan kemasygulannya dengan Allah. Pendapat lain menyatakan, bahwa tanda seorang wali adalah memandang diri dengan kerendahan dan merasa takut akan kejatuhan dirinya dari martabat yang ia berada di atasnya, sambil tidak percaya dengan sesuatu kekeramatan yang nyata bagi dirinya, tiada pula ia tertipu dengannya. Tiada ia memohonkan kekeramatan itu untuk dirinya dan tiada pula ia mengakui (kekeramatan itu).
Al Khaffaz telah berkata: Apabila Allah berkehendak untuk menjadikan hamba-Nya seorang wali, niscaya dibukakan baginya pintu dzikir. Apabila ia telah merasa lezat dengan dzikir itu, maka dibukakan pula atasnya pintu pendekatan. Kemudian ditinggikan martabat-Nya kepada majelis-majelis kegembiraan. Lalu ia didudukkan di atas kursi keimanan untuk disingkapkan (dibukakan) daripadanya hijab (tabir penutup) dan dimasukkannya ia ke pintu gerbang ke-Esaan serta diungkapkan baginya garis-garis ke-Maha Agungan Allah. Pada saat penglihatannya tertuju kepada ke-Maha Agungan serta kebesaran-Nya, niscaya ia akan tinggal tanpa dirinya dan akan menjadi fana (lenyap) untuk tiba menuju pemeliharaan (penjagaan) Allah, agar terlepas dari segala pengakuan dirinya. Baru kemudian ia pun menjadi seorang wali.
Mungkin seorang wali menjadi batal kewaliannya dalam sebagian hal ihwal. Akan tetapi, yang umum atas diri wali di dalam perjalanannya dari tkebatalan kepada ketetapannya adalah kesungguhan menunaikan hak-hak Allah Swt berbelas kasih kepada para makhluk-Nya dalam segala hal ihwal dengan hati yang sabar, sambil memohon kepada Allah segala kebaikan untuk para makhluk. (Mahmud Abul Faidi al Manufi al Husain, dalam kitabnya Jamharotul Aulia’ Terjemah Abu Bakar Basymeleh, th.1996, Mutiara Ilmu, Surabaya, hlm. 179).
Al Quthub Abdul Abbas al Mursi, menegaskan dalam kitab yang ditulis oleh muridnya, Lathaiful Minan, karya Ibnu Athaillah as Sakandari, “Waliyullah itu diliput ilmu dan makrifat-makrifat, sedangkan wilayah hakekat senantiasa disaksikan oleh mata hatinya, sehingga ketika ia memberikan nasehat seakan-akan apa yang dikatakan seperti identik dengan idzin Allah. Dan harus dipahami, bagi siapa yang diidzinkan Allah untuk meraih ibarat yang diucapkan, pasti akan memberikan kebaikan kepada semua makhluk, sementara isyarat-isyaratnya menjadi riasan indah bagi jiwa-jiwa makhluk itu.”
Dasar utama perkara wali itu, kata Abul Abbas, “Adalah merasa cukup bersama Allah, menerima ilmu-Nya dan mendapatkan pertolongan melalui musyahadah kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman: “Barang siapa bertawakkal kepada Allah, maka Dia-lah yang mencukupinya.” (QS. ath Thalaq : 3). “Bukankah Allah telah mencukupi hambanya?” (az Zumar : 36). “Bukankah ia tahu, bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Tahu?” (QS. al Alaq : 14). “Apakah kamu tidak cukup dengan Tuhanmu, bahwa sesungguhnya Dia itu menyaksikan segala sesuatu ? (QS. Fushshilat : 53)”
Mereka itulah yang telah mendapatkan cahaya Ilahiyat dengan nur ar Rahman, sehingga dapat memandang keindahan maut dan memandang akhirat dengan mata keridlaan. Membeli yang kekal dengan yang fana. Alangkah nikmatnya apa yang mereka jual-belikan dengan menghimpun dua kebaikan dan menyempurnakan dua kelebihan. Nabi bersabda :
اَحَبُّ الْعِبَادِ إِلىَ اللهِ اْلاَتْقِيَاءُ اْلاَخْفِيَاءُ الَّذِيْنَ اِذَا غَابُوْا لَمْ يَفْتَقِدُوْا وَاِذَا شَهِدُوْا لَمْ يَعْرِفُوْا اُولَئِكَ هُمْ أَئِمَّةُ الْهُدَى وَمَصَابِيْحُ الْعِلْمِ
Hamba yang paling cinta kepada Allah adalah yang tersembunyi. Apabila mereka gaib (tidak hadir), sekali-kali tiada orang yang dapat mengenalnya. Mereka itu adalah para imam hidayat dan lampu-lampu ilmu pengetahuan.
Sabda Beliau Saw yang lain :
اِنَّ مِنْ خِيَارِ اُمَّتِى قَوْمٌ يَضْحَكُوْنَ جَهْراً مِنْ سَعَةِ رَحْمَةِ رَبِّهِمْ وَيَبْكُوْنَ سِرًّا مِنْ خَوْفِ شِدَّةِ عَذَابِ رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ يَذْكُرُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ وَيَدْعُوْنَهُ بِأَلْسِنَتِهِمْ رَغَبًا وَرَهَباً وَيَشْتَاقُوْنَ اِلَيْهِ بِقُلُوْبِهِمْ عَوْدًا وَبَدَأَ مُؤْنَتُهُمْ عَلىَ النَّاسِ خَفِيْفَةً وَعَلىَ اَنْفُسِهِمْ ثَقِيْلَةً عَلَيْهِمْ مِنَ اللهِ تَعَالىَ شُهُوْدٌ حَاضِرَةٌ وَاَعْيُنٌ حَافِظَةٌ وَنِعَمٌ ظَاهِرَةٌ يَتَوَسَّمُوْنَ الْعِبَادَ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِى الْبِلاَدِ اَجْسَادُهُمْ فِى اْلاَرْضِ وَقُلُوْبُهُمْ فِى السَّمَاءِِ
Orang yang terbaik di antara umatku adalah suatu kaum yang tersenyum karena luasnya rahmat dan kasih sayang Allah. Di samping itu, mereka manangis tersedu-sedu sambil mencucurkan air mata karena takut akan kerasnya adzab (siksa) Allah. Mereka senantiasa berdzikir dan berdoa sambil menaruh penuh harapan dan rasa takut. Mereka merindukan Rabb-Nya dengan hati yang tulus. Beban mereka atas manusia sangat ringan tapi atas diri mereka sendiri berat sekali. Penyaksian atas mereka dari Allah Swt dengan penglihatan yang memelihara dan aneka nikmat yang nyata. Mereka melihat tanda-tanda seorang hamba dan memikirkan negerinya. Jasad mereka berada di permukaan bumi, sedang hati sanubari mereka menjulang tinggi di langit.
Ibnu Mas’ud meriwayatkan, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw tentang siapa sebenarnya yang dimaksud dengan wali Allah swt, Rasululla saw menjawab Wali Allah adalah orang orang yang diingatkan Allah melalui mimpi mereka HR Ahmad bin Hanbal. Hadits yang teksnya hampirserupa banyak diri wayatkan orang, misalnya dari Abi Duha (Muslim bin Hamadani Subaih w100H)dari Sa’id bin Juber (624-692), Wali /aulia Allah adalah orang orang yang apabila mimpi diingatkan Allah. Hadits-hadits yang diriwayatkan melalui beberapa sanad ini meru pakan jawaban Rasulullah saw atas pertanyaan sahabat berkaitan dengan surat Yunus ayat 62 itu .

Pembagian waliyullah. Ustadz Haji Ali Haji Muhammad dalam bukunya Mengenal Tasuf dan Tarekat me nyebutkan bahwa tingkatan wali ada 36 tingkat . 1.Wali Qutub 2 Wali al Immah,3 Wali Autad,4 Wali Abdal, 5 Wali Nuqba, 6 Wali Nujba, 7Wali Hawari,8 Wali Rajbi, 9 Wali Khatami, 10 Rijalul Gaib,11 Rijalu Quwati Al Ilahiyaj,12 Rilau Hanani wal ‘Atfil Ilahy,13 Rijalu Haibah wal Jalal, 14 Rijalu al Fathi, 15 Rijalu Ma’arij Al Ula, 16 Rijalu Tahtil Asfal, 17 Rijalu Imdadil Ilahi wal Kaon, 18 Ilahiyun Rah maniyun, 19 Rijalul Istitoolah, 20 Rijaalul Gina Billah, 21Rijalu ‘Ainut Tahkim waz Zawa id, 22 Rijalul Istiqoq, 23 Al Mulamatiyah, 24 Al Fuqoro, 25 Als Shufiyah, 26 Al ‘Ibaad, 27. Al Zuhaad, 28 Rijalul Maai, 29Al Afrood, 30 Al Umana, 31 Al Qurro, 32 Al Ahbab, 33 Al Muhaddatsun, 34 Al Akhilla, 35 Al Samro u, 36 Al Wirotsah.

Sumber:1.http://dakwah-programming-technology.blogspot.com
2.http://sufiroad.blogspot.com 3.http://www.hidayatullah.com
Jakarta 2/7/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman