Selasa, 07 Juli 2015

HUKUM SHALAT MALAM




SHALAT MALAM BERJAMAAH ?


{
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا (79)}
Artinya: “Dan pada sebagian malam hari, hendaklah engkau shalat Tahajud sebagai tambahan bagi engkau. Mudah-mudahan Tuhan mengangkat engkau ketempat yang terpuji.”. (QS : Al-Isro’ : 79).
عَنْ أَبِى وَائِلٍ عَنْ عَبْدِاللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: (( صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ j لَيْلَةً فَلَمْ يَزَلْ قَائِمًاحَتَّى هَمَمْتُ بِأَمْرٍ سُوْءٍ.))
قُلْنَا: وَمَا هَمَمْتَ ؟ قَالَ :” هَمَمْتُ أَنْ أَقْعُدَ وَأَذَرَ النَّبِيَّ j.”( رواه البخاري )
Artinya :”Dari Abi Wail dari Abdillah d, berkata,”Aku shalat bersama Nabi j pada suatu malam , dan aku masih ikut berdiri sampai aku berkeinginan yang jelek, kami bertanya apa keinginanmu ? ia berkata : “ Aku hendak duduk dan meninggalkan Nabi j .“( HR Al Bukhori )

Muqaddimah
Kita tahu, bahwa kaidah ibadah dalam Islam adalah ‘Setiap ibadah adalah terlarang kecuali yang ada contoh atau perintahnya dalam syariat.’ Sesuai hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Barangsiapa yang beramal dengan suatu perbuatan yang kami tidak pernah memerintahkannya maka ia tertolak.” (HR. Muslim) artinya ibadah yang mengada-ada yang tidak pernah dilakukan dan diperintahkan agama, walau dilakukan oleh orang shalih dan ulama berwibawa, tetaplah tertolak oleh menurut syariat Islam. Itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah neraka tempatnya. Maka seorang muslim harus menjaga dirinya agar tidak terjerumus ke dalamnya.
Namun sikap mudah membid’ahkan juga tidak dibenarkan oleh syariat. Seharusnya kita hati-hati dan jangan terburu-buru dalam menghindari bid’ah, atau dalam menuduh sesuatu itu bid’ah. Sebab sikap gampang menuduh adalah sikap gegabah dan bukanlah perilaku ulama yang mendalam ilmunya. Di antaranya sikap sebagian orang yang membid’ahkan qiyamullail berjamaah. Jangan sampai kita menilai ‘salah’ terhadap sesuatu lantaran semata-mata kita belum menemukan dalilnya. Tidak menemukan, bukan berarti tidak ada, sebab hal tersebut tergantung ketelitian, kecermatan, dan kesabaran masing-masing orang dalam menelusurinya.
عن عتبان ابن مالك الأ نصاري d قال : كنت أصلى ببنى سالم وكان يحول بينه وبينهم واد إذا جاءت الأمطار فيشق إلي إجتيازه قبل مسجدهم, فجئت رسول الله j, فقلت له أني أنكرت بصري , وإن الوادي الذي بيني وبين قومي يسيل إذا جاء ت الأمطار فيشق علي إجتيا زه, فوددت أنك تأتي فتصلى من بيتي مكانا إتخذه مصلى . فقال رسول الله j( سأ فعل ) فغدا علي رسول الله وأبو بكر d بعد ما اشتد النهار , فا ستأذن رسول الله j فأذنت له , فلم يجلس حتى قال : ( أين تحب أن أصلى من بيتك ؟ ) فأشرت إلى مكان الذى أحب أن أصلى فيه , فقام رسوا الله عليه وسلم فكبر. وصففنا وراءه فصلى ركعتين ثم سلم وسلمنا حين سلم .( رواه البخا ري )
Artinya :”Dari ‘Utban bin Malik Al Anshori d,ia berkata ; aku biasa shalat di tempat Bani Salim dan di antara ia dan Bani Salim di pisahkan oleh sebuah lembah yang apabila datang hujan maka dia merasa berat sebelum masjid mereka, maka aku mendatangi Rasulullah j dan aku katakan padanya bahwasannya mengingkari pandanganku, dan sesungguhnya lembah yang membatasi diantaraku dan kaumku mengalir jika datang waktu hujan, maka terasa berata bagiku untuk mendatanginya, maka aku berharap Anda mau datang ke rumahku dan sholat di tempat yang aku jadikan mushola, Rasulullah j bersabda ;” akan kulakukan “ maka padi esok harinya Rasululllah j dan Abu Bakar d datang kepadaku setelah panasnya matahari berlalu di siang hari, kemuian beliau meminta ijin kepadaku maka aku mengijinkanya dan tidaklah beliau duduk hingga beliau bersabda : “di bagian manakah yang kau suaka dari rumahmu untuk aku pakai shalat di dalamnya ?” kemudian saya memberi isyarat kepada tempat yang aku skai untuk kugunakan shalat di dalamnya, maka Rosulullah berdiri dan bertakbir dan kami membuat shaf di belakangnya , belaiau shalat dua rakaat kemudian salam dan kamipun salam setelah beliau salam”. ( HR AL Bukhari)
Hukum Qiyamul Lail berjamaah ?
Ada beberapa adillatul syar’iyyah (dalil-dalil syar’i) tentang ini. Di antaranya:
1. Dari Abu Hurairah, dari Abu Said, bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa bangun malam dan membangunkan isterinya, lalu keduanya shalat dua rakaat dengan berjamaah (Shalla rak’ataini jami’an), ditetapkan pada malam itu termasuk orang-orang yang banyak berzikir kepada Allah” (HR. Abu Daud dan Al Hakim. Di shahihkan oleh Syaikh al Albany dalam Shahihul Jami’ no. 5906)
Hadits ini adalah petunjuk yang amat sharih (jelas) tentang masyru’(disyariatkan)-nya qiyamullail berjamaah. Wallahu A’lam
2. Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu pernah Qiyamullail berjamaah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata, “Aku pernah shalat bersama Rasulullah, beliau memanjangkan shalatnya sehingga aku menyangka yang tidak-tidak.” Ibnu Mas’ud ditanya, “Apa yang engkau pikirkan?” Aku jawab, “Aku berpikir untuk duduk dan meninggalkan baginda.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Hudzaifah bin Yaman radhiallahu ‘anhu pernah Qiyamullail berjamaah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dari Hudzaifah bin Yaman, ia berkata, “Pada suatu malam aku shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau memulai shalat dengan membaca surat Al Baqarah. Aku katakan, ‘Beliau ruku’ setelah membaca seratus ayat pertama, kemudian meneruskan hingga selesai.’ Aku katakan, ‘Beliau shalat dengan (membaca semua ayat itu) dalam satu rakaat, lalu melanjutkan!’ Aku katakan, ‘Setelah itu beliau ruku’ dengannya, kemudian shalat lagi membaca surat An Nisa, lalu Ali Imran. Dia membaca pelan-pelan, jika membaca ayat tasbih ia bertasbih, jika melewati ayat permohonan ia memohon, jika membaca ayat perlindungan ia berta’awudz. Kemudian ruku’ seraya berkata, ‘Subhana rabbiyal ‘azhim’, ruku’nya sama panjangnya dengan berdirinya, kemudian berkata, ‘Sami’ Allahu liman hamidah’, kemudian berdiri lama seperti lamanya ruku’. Kemudian bersujud seraya berkata, ‘Subhana rabbiyal a’la’ dan lamanya waktu sujud mendekati lamanya waktu berdiri.” (HR. Muslim)
4. Auf bin Malik al Asyja’i radhiallahu ‘anhu pernah qiyamullail bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Dari Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Pada suatu malam aku bangun (shalat malam) bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu beliau membaca Al Baqarah. Setiap kali melewati ayat-ayat rahmat beliau berhenti dan memohon, ketika membaca ayat-ayat azab beliau berhenti dan membaca ta’awudz”. Auf berkata, “Kemudian beliau ruku’ sepanjang waktu berdirinya. Di dalam ruku’nya beliau berkata, ‘Maha Suci Allah yang memiliki kekuasaan, kerajaan, kebesaran , dan keagungan.’ Kemudian ia bersujud sepanjang waktu dirinya, seraya berkata dalam sujudnya seperti itu. Kemudian beliau membaca surat Ali Imran, kemudian membaca surat demi surat.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh al Albany menghasankan dalam Misykat al Mashabih no. 882)
5. Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu pernah berjamaah Qiyamullail bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah shalat malam.” Ibnu Abbas berkata lagi, “Saya bangun dan berwudhu kemudian datang dan berdiri di sebelah kirinya. Lalu beliau menarikku dan meletakkanku di sebelah kanannya, lalu shalat 13 rakaat.” (HR. Ahmad. Syaikh Ahmad Syakir menshahihkannya, no. 2276)
Pandangan Para Ulama Terkemuka ?
Di bawah ini adalah pendapat para ulama tentang Shalat nafilah secara berjama’ah termasuk di dalamnya adalah shalat tahajjud karena dalil yang mereka gunakan adalah dalil tentang shalat mutlaq dan shalat tahajjud .
  1. Pendapat Malikiyah,”Adapun shalat nawafil maka pelaksanaannya secara berjamaah kadang – kadang makruh dan kadang-kadang dibolehkan: makruh jika dilaksanakan di masjid atau dilaksanakan dengan jamaah yang banyak atau dilaksanakan di tempat yang banyak dihadiri manusia dan dibolehkan apabila di laksanakan dengan jama’ah yang sedikit dan dilaksanakan di rumah atau di mana saja di tempat yang tidak banyak dikunjungi manusia.
  2. Pendapat Hanafiyah : Jama’ah menjadi makruh dalam shalat mutlaq dan witir di luar ramadhan, dan hannyasannya dimakruhkan secara berjama’ah jika yang ikut dalam jama’ah tersebut lebih dari tiga orang.
  3. Pendapat Hanafiyah : Disunahkan shalat tarawih berjama’ah adapun pelaksanaannya di luar bulan ramadhan yaitu tidak disunnahkan secara berjama’ah.
  4. Pendapat Hanabilah : Shalat nawafil ada yang di sunahkan seperti shalat istisqo, shalat tarawih, shalat ‘iddain dan ada yang dibolehkan secara jama’ah seperti : shalat tahajjud dan shalat-shalat yang mengiringi shalat mafrudhah.
Kalau kita membolak-balik kitab-kitab fiqih dari setiap mazhab, maka kita mendapati bahwa ternyata para ulama memang berbeda pendapat tentang masalah shalat tahajuud berjamaah ini. Sebagian mereka memakruhkannya dan sebagian lagi membolehkannya.
1. Makruh
Diantara pendapat yang memakruhkan shalat tahajjud dengan berjamaah adalah para ulama dari kalangan Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi'iyah.
Mereka berpendapat bahwa ijtima' (berkumpulnya) manusia untuk menghidupkan malam hanya dibenarkan untuk shalat tarawih di bulan Ramadhan.
Di luar itu menurut mereka disunnahkan untuk melakukannya dengan secara sendiri sendiri.
2. Tidak Makruh
Namun sebaliknya, para ulama dari kalangan Al-Hanabilah membolehkan untuk melakukan shalat tahajjud dengan cara berjamaah yang terdiri dari banyak orang. Meski demikian, mereka tetap membolehkan untuk melakukannya dengan sendiri-sendiri.
Hal itu karena Rasulullah SAW pernah melakukannya dengan berjamaah dan juga pernah melakukannya dengan sendiri.
Namun bila dihitug-hitung, memang benar bahwa frekuensi dimana Rasulullah SAW shalat tahajjud sendirian lebih banyak dibadingkan dengan berjamaah. Rasulullah SAW pernah melakukannya sekali dengan Huzaifah, sekali dengan Ibnu Abbas, dan sekali dengan Anas dan ibunya.
Sehingga Al-Malikiyah memberikan kesimpulan bahwa bila jamaah shalat tahajjud itu tidak terlalu banyak dan bukan di tempat yang masyhur, hukumnya boleh tanpa karahah.
6. Pendapat Ibnu Hazm adh-Dhahiry : Shalat mutlaq nawafil dengan berjama’ah adalah sunnah.
7.Pendapat Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlan: yang benar (sebagaimana yang telah kami kemukakan) bahwa shalat nawafil boleh dilaksanakan dengan berjama’ah, baik itu sunnah rawatib, sunnah mustahabbah, ataupun tathawu’ mutlaq akan tetapi dengan syarat:tidak dijadikan kebiasaan, karena permintaan, merupakan kesepakatan dalam menunaikan suatu sunnah dari sunnah-sunnah seperti seorang tamu (ketika bertamu) bahkan meskipun mereka shalat witir secara berjama’ah dan juga dengan syarat tidak adanya hal-hal yang berbau bid’ah (sesuatu yang tidak disyariatkan) maka jika hal-hal ini terjadi shalat jama’ah baginya tidak disyariatkan.
Berkata al Hafizh Ibnu Hajar, “Wahab meriwayatkan dari Malik bahwa dibolehkan seseorang bermakmum dalam shalat sunah. Adapun jika dia ingin menjadi terkenal, lalu manusia dikumpulkan di sekitarnya, maka tidak boleh.” (Ibnu Hajar, Shahihul Jami’, 5/590)
Hisyam bin Urwah berkata, “Saya pernah melihat Abdullah bin Zubeir menjadi imam shalat sunah di Masjidil Haram, di belakangnya terdapat pembesar fuqaha dan kemaslahatan. Mereka berpandangan bahwa hal itu baik.” (As Samarqandi, Mukhtashar Qiyamullail)
Muhammad bin Nashr al Marwazi berkata, “Ditetapkan dari Rasulullah bahwa dia shalat sunah berjamaah diselesai bulan Ramadhan, baik siang ataupun malam. Hal itu juga dilakukan oleh sekelompok jamaah dari sahabat-sahabat sesudahnya.” (Ibid)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak dilarang mengerjakan shalat sunah dengan berjamaah seperti yang dilakukan oleh Rasulullah, tetapi tidak menjadikannya sebagai sunah rawatib, seperti seorang yang berdiam di mesjid untuk menjadi imam shalat sunah rawatib dengan manusia antara maghrib dan isya atau di tengah malam seperti shalat mereka pada shalat lima waktu.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, 13/112)
Dia juga berkata, “Shalat sunah berjamaah ada dua macam: Pertama. Shalat sunah yang memang disunahkan secara berjamaah seperti shalat kusuf, istisqa, dan qiyamuramadhan. Semua itu dikerjakan secara berjamaah sebagaimana yang tertera dalam nash. Kedua. Shalat sunah yang tidak disunahkan untuk dikerjakan secara berjamaah, seperti qiyamullail, sunah rawatib, dhuha, tahiyyatul masjid, dan sebagainya. Tetapi bila kadang-kadang dikerjakan secara berjamaah maka itu diperbolehkan. Ada pun bila dilakukan selalu dengan berjamaah, maka hal itu tidak disyariatkan.” (Ibid, 3/412) Demikian pandangan para ulama kita.
Ikhtitam
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم: أي الصلاة أفضل بعد المكتوبة؟ قال: (الصلاة في جوف الليل))
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya: “Sholat apakah yang paling utama setelah sholat fardhu (yang lima waktu, pent) ?” beliau  menjawab: “Shalat yang paling utama  setelah shalat fardhu adalah shalat (sunnah) di tengah malam (sholat tahajjud).”. (Diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dan Muslim).
  1. Shalat Qiyamullail berjamaah adalah masyru’ (disyariatkan) sebagaimana nash-nash yang ada.
  2. Tetapi Qiyamullail berjamaah dilakukan kadang-kadang saja, bila selalu dengan berjamaah, maka itu tidak dibenarkan syariat (bid’ah).
  3. Qiyamullail berjamaah tidak ditentukan waktunya secara khusus, misal mengkhususkannya pada malam jum’at saja, atau pada malam tahun baru saja, jika dikhususkan waktunya seperti itu maka ia jatuh pada bid’ah idhafiyah. Medio tahun 90-an Lembaga Kajian Fiqih Al Khairat yang diketuai oleh Ustadz Dr. Salim Seggaf al Jufri –hafizhahullah– pernah mengeluarkan keputusan tentang bid’ahnya Qiyamullail pada malam tahun baru -jika hanya dikhususkan-
Sumber:1.https://ikapd165.wordpress.com
2.https://errozzelharb.wordpress.com
3.http://www.dakwatuna.com
4.http://www.rumahfiqih.com
Jakarta 8/7/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman