Rabu, 01 Juli 2015

HUKUM I'TIKAF





SEPUTAR IKTIKAF RAMADHAN ?


وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Janganlah kalian menggauli mereka (para istri), sedangkan kamu beri’tikaf di masjid (QS al-Baqarah [02]: 187)
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ الله تَعَالَى، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِه
Sesungguhnya Nabi saw. telah melakukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah SWT mewafatkan beliau, kemudian istri-istri beliau pun melakukan i’tikaf sepeninggal beliau (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ahmad)

Muqaddimah
I'tikaf merupakan ibadah sunnah yang dilakukan di masjid. Tetapi bagaimana bila i'tikaf dilakukan selain di masjid, apakah i'tikaf tersebut sah atau tidak?.

Dalam hal ini, ulama telah memberikan keterangan bahwa i'tikaf selain di masjid adalah tidak sah, meskipun tempat itu digunakan untuk melaksanakan shalat. Misalnya seperti mushalla/langgar/surau, pondokdan sebagainya.

Dalam kitab Fath al-Bari, Ibn Hajar menyatakan, “Para ulama sepakat tentang masjid dijadikan sebagai syarat untuk melakukan i’tikaf, kecuali Muhammad bin Lubabah, pengikut mazhab Maliki. Dia membolehkan i’tikaf di mana saja. Mazhab Hanafi membolehkan perempuan untuk i’tikaf di masjid rumahnya, yaitu tempat yang digunakan untuk shalat di rumah.
Hal yang sama juga dinyatakan dalam Qawl Qadim Imam Syafii. Dalam satu pendapat pengikut mazhab Syafii dan Maliki, pria dan wanita dibolehkan untuk melakukan i’tikaf di rumah, karena ibadah sunnah lebih baik dilakukan di rumah. Adapun Abu Hanifah dan Ahmad menegaskan, bahwa i’tikaf secara khusus harus dilakukan di masjid yang digunakan shalat. Abu Yusuf menyatakan, bahwa itu hanya khusus untuk i’tikaf wajib, sedangkan i’tikaf sunnah bisa di masjid mana saja. Jumhur ulama secara umum menyatakan, i’tikaf bisa dilakukan di setiap masjid, kecuali orang yang wajib melaksanakan shalat Jumat. Imam Syafii menyatakan, bahwa lebih disukai dikerjakan di masjid Jami’. Imam Malik, bahkan menjadikan ini sebagai syarat i’tikaf. Sebab, keduanya menyatakan, bahwa i’tikaf ini dianggap terputus dengan mengerjakan shalat Jumat.”
Makna Iktikaf ?
Secara harfiah, i’tikaf adalah lazima (terikat) dan habasa an-nafsa ‘alayh (menahan diri pada).
Adapun secara syar’i, i’tikaf adalah berdiam diri di masjid dalam waktu tertentu dengan ciri-ciri tertentu disertai dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kata i’tikaf, jiwar (diam) atau mujawarah (mendiami) masjid mempunyai konotasi yang sama.
Secara etimologis i'tikaf (bahasa Arab, الاعتكاف) menurut kitab Al-Fanni adalah menetap dan tinggal di suatu tempat. Ia berasal dari akar kata masdar (verbal noun) عكف a-k-f.

Dalam terminologi syariah i'tikaf adalah tinggal di dalam masjid dengan niat ibadah dengan syarat-syarat tertentu (
إقامة في المسجد على نيَّة العبادة بشروط معيَّنة ).
- See more at: http://www.alkhoirot.net/2012/08/itikaf.html#sthash.roLJydfl.dpuf
Hukum Iktikaf ?
1. QS Al Baqaran 2:187

ولا تباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد
Artinya: Dan janganlah kamu campuri mereka (istri-istri kalian) itu, sedang kalian beri’tikaf di dalam masjid-masjid.

2. Hadits sahih riwayat Bukhari

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
Artinya: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.

3. Hadits sahih Bukhari dan Muslim

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ، فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَه
Siapa saja di antara kalian yang ingin melakukan i’tikaf, beri’tikaflah. Lalu orang-orang pun melakukan i’tikaf bersama beliau (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i, Malik dan Ahmad).
Dari sini jelas, bahwa hukum i’tikaf di masjid adalah sunnah. Mengenai pendapat yang dinisbatkan kepada mazhab Maliki, bahwa hukumnya hanya mubah saja, maka pendapat ini ditentang oleh pengikut mazhab Maliki yang lain, bahkan oleh Imam Malik sendiri. Ibn al-‘Arabi menyatakan, bahwa i’tikaf hukumnya sunnah mu’akkadah. Dalam kitab Al-Muwatha’, Imam Malik juga menyatakan, bahwa hukum i’tikaf adalah sunnah. Karena itu, Ibn Hajar menukil pernyataan Imam Ahmad, bahwa “Saya tidak tahu ada seorang ulama yang berbeda mengenai hukum i’tikaf tersebut sunnah.”
Waktu Beriktikaf ?
Lalu kapan i’tikaf dilakukan? Jawabannya, bisa dilakukan kapan saja. Mengenai i’tikaf Rasulullah saw. yang dilakukan pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan tak lain hanya menunjukkan kesunnahan (nadb) atau keutamaan (afdhaliyyah) saja, tidak lebih. Pasalnya, tidak ada satu dalil pun yang bisa digunakan untuk menunjukkan, bahwa i’tikaf harus dilakukan pada waktu tersebut.
Mengenai kapan i’tikaf dimulai? Imam al-Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, al-Laits dan Ahmad berpendapat, bahwa kalau seseorang hendak melakukan i’tikaf, maka dia shalat subuh, kemudian masuk ke tempat i’tikaf-nya. Yyang lain, yaitu Imam Ahmad, menyatakan, jika seseorang ingin melakukan i’tikaf, maka dia harus memasuki tempat i’tikaf-nya sebelum matahari tenggelam. Dari kedua pendapat tersebut yang paling tepat adalah pendapat pertama, karena Nabi saw. melakukan i’tikaf-nya dimulai dengan shalat subuh, lalu memasuki tempat i’tikaf beliau.
Lama Beriktikaf ?
Mengenai berapa lama i’tikaf ini layak disebut i’tikaf? Mazhab Hanafi menyatakan, i’tikaf minimal sehari. Mazhab Maliki menyatakan, minimal sehari semalam. Imam Syafii, Ahmad dan Ishaq bin Rahawih menyatakan, bahwa ukuran minimalnya adalah apa saja yang layak disebut berdiam diri (lubts), dan tidak disyaratkan harus duduk. Pendapat yang terakhir inilah yang paling tepat, sedangkan yang lain adalah batasan yang tidak disertai dalil. Dengan demikian, batasan i’tikaf tersebut tetap bersifat mutlak.
Hukum Wanita Beriktikaf ?
Tentang i’tikaf kaum perempuan, maka hukumnya sama dengan i’tikaf kaum pria. ‘Aisyah ra. menuturkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأَوَاخرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ تَعَالَى، ثُمَّ اعْتَكِفُ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِه
Sesungguhnya Nabi saw. telah melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir ulan Ramadhan hingga Allah SWT mewafatkan beliau, kemudian isteri-isteri beliau pun melakukan i’tikaf sepeninggal beliau (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ahmad).
Ini membuktikan, bahwa wanita boleh i’tikaf, tentu dengan tempat yang terpisah dari kaum pria; jika perempuan tersebut melakukan i’tikaf bersama-sama suaminya. Jika tidak, maka dia harus meminta izin suaminya. Suami juga boleh mengizinkan, boleh juga tidak. Karena i’tikaf ini hukumnya sunnah. Kalau saja hukumnya wajib bagi wanita tersebut, maka suaminya tidak boleh melarang dia.
Tujuan Iktikaf ?

I'tikaf bertujuan untuk menetapkan hati dan keimanan pada Allah, berkhalwat (berduaan) dengan-Nya, berkumpul dengan-Nya, memutuskan diri dari kesibukan duniawi, menyibukkan diri hanya pada Allah, menghadapkan hati padaNya.

Diharapkan setelah i'tikaf, keimanan akan semakin meningkat apabila demikian maka kondisi mental akan semakin stabil dan tenteram.

Syarat Beriktikaf ?

Dalam kitab Fathul Qorib disebutkan bahwa syarat i'tiqaf ada 2 (dua) yaitu:

1. Niat yaitu "Saya niat iktikaf karena Allah" (
نويت الاعتكاف لله تعالي). Sedangkan untuk i'tikaf nadzar maka niatnya harus ditambah sebagai berikut: "Saya nit i'tikaf nadzar/fardu karena Allah"
2. Tinggal dalam masjid. Adapun masa tinggalnya tidak boleh terlalu sebentar, misalnya sedetik dua detik. Tapi harus tinggal menurut pengertian umum orang tinggal.

I'tikaf dianggap tidak sah apabila tidak memnuhi syarat di atas.

Faedah Beriktikaf ?
I’tikaf memiliki hikmah yg sangat besar yakni menghidupkan sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam & menghidupkan hati dgn selalu melaksanakan ketaatan & ibadah kpd Allah Ta’ala.
Sedangkan manfaat i’tikaf di antaranya:
  1. Untuk merenungi masa lalu & memikirkan hal-hal yg akan dilakukan di hari esok.
  2. Mendatangkan ketenangan, ketentraman & cahaya yg menerangi hati yg penuh dosa.
  3. Mendatangkan berbagai macam kebaikan dari Allah subhanahu wata’ala. Amalan-amalan kita akan diangkat dgn rahmat & kasih sayang-Nya
  4. Orang yg beri’tikaf pd sepuluh hari terkahir akhir bulan Ramadhan akan terbebas dari dosa-dosa karena pd hari-hari itu salah satunya bertepatan dgn lailatul qadar.
Sumber:1.http://www.alkhoirot.net
2.http://hizbut-tahrir.or.id
Jakarta 1/7/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman