وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi
makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184)
هُوَ
الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ
يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
“(Yang
dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk orang yang sudah sangat tua dan
nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan
setiap hari kepada orang miskin”.
Muqaddimah
Membayar
fidyah memang ditetapkan berdasarkan jumlah hari yang ditinggalkan untuk
berpuasa. Setiap satu hari seseorang meninggalkan puasa, maka dia wajib
membayar fidyah kepada satu orang fakir miskin.
Sedangkan
teknis pelaksanaannya, apakah mau perhari atau mau sekaligus sebulan, kembali
kepada keluasan masing-masing orang. Kalau seseorang nyaman memberi fidyah tiap
hari, silahkan dilakukan. Sebaliknya, bila lebih nyaman untuk diberikan
sekaligus untuk puasa satu bulan, silah saja.
Yang
penting jumlah takarannya tidak kurang dari yang telah ditetapkan.
Orang yang wajib membayar fidyah ?
Orang yang
sakit dan secara umum ditetapkan sulit untuk sembuh lagi.
- Orang tua atau lemah yang sudah tidak kuat lagi berpuasa.
- Wanita yang hamil dan menyusui apabila ketika tidak puasa mengakhawatirkan anak yang dikandung atau disusuinya itu. Mereka itu wajib membayar fidyah saja menurut sebagian ulama, namun menurut Imam Syafi’i selain wajib membayar fidyah juga wajib mengqadha’ puasanya. Sedangkan menurut pendapat lain, tidak membayar fidyah tetapi cukup mengqadha’.
- Orang yang menunda kewajiban mengqadha’ puasa Ramadhan tanpa uzur syar’i hingga Ramadhan tahun berikutnya telah menjelang. Mereka wajib mengqadha’nya sekaligus membayar fidyah, menurut sebagian ulama.
Berapakah
besar fidyah?
Sebagian
ulama seperti Imam As-Syafi’i dan Imam Malik menetapkan bahwa ukuran fidyah
yang harus dibayarkan kepada setiap satu orang fakir miskin adalah satu mud
gandum sesuai dengan ukuran mud Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
Yang dimaksud dengan mud adalah telapak tangan yang ditengadahkan ke
atas untuk menampung makanan, kira-kira mirip orang berdoa.
Sebagian
lagi seperti Abu Hanifah mengatakan dua mud gandum dengan ukuran mud Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam atau setara dengan setengah sha‘
kurma atau tepung. Atau juga bisa disetarakan dengan memberi makan siang dan
makan malam hingga kenyang kepada satu orang miskin.
Dalam
kitab Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili jilid 1
halaman 143 disebutkan bahwa bila diukur dengan ukuran zaman sekarang ini, satu
mud itu setara dengan 675 gram atau 0,688 liter. Sedangkan 1 sha‘
setara dengan 4 mud . Bila ditimbang, 1 sha‘ itu beratnya
kira-kira 2.176 gram. Bila diukur volumenya, 1 sha‘ setara dengan 2,75
liter.
Orang Hamil atau menyusui ?
Para
ulama Maliki mengatakan bahwa
orang yang sedang hamil dan menyusui apabila dengan dengan berpuasa dia
mengkhawatiri dirinya akan sakit atau bertambah sakitnya—baik dia kahwatir
terhadap dirinya atau anaknya atau dirinya saja atau anaknya saja—maka
dibolehkan baginya untuk berbuka dan hendaklah dia mengqadhanya dan
tidak wajib bagi seorang wanita yang hamil untuk mengeluarkan fidyah berbeda
dengan seorang yang sedang menyusui maka wajib baginya fidyah. Adapun
apabila keduanya khawatir dengan puasanya akan mencelakakan dirinya atau
anaknya maka wajib baginya untuk berbuka.
Para
ulama Hanafi mengatakan bahwa
apabila seorang yang hamil atau menyusui khawatir puasanya akan membawa calaka
maka dibolehkan bagi keduanya untuk berbuka baik dirinya khawatir terhadap diri
dan anaknya atau terhadap dirinya saja atau anaknya saja dan diwajibkan baginya
qadha ketika dirinya memiliki kesanggupan tanpa ada kewajiban fidyah.
Para
ulama Hambali mengatakan bahwa
dibolehkan bagi seorang yang hamil dan menyusui untuk berbuka apabila mereka
berdua khawatir puasanya dapat mencelakakan diri dan anaknya atau terhadap
dirinya saja maka diwajibkan bagi keduanya dalam kedua keadaan tersebut untuk
mengqadha tanpa perlu membayar fidyah. Adapun apabila keduanya khawatir
terhadap anaknya saja maka wajib baginya untuk mengqadha dan membayar fidyah.
Para
ulama Syafi’i mengatakan bahwa
seorang yang hamil dan menyusui apabila khawatir dengan puasanya akan membawa
celaka dan dia dalam keadaan tidak menyanggupinya baik kekhawatiran terhadap
diri dan anaknya sekaligus atau terhadap dirinya saja atau terhadap anaknya maka
wajib baginya untuk berbuka dan mengqadha dalam tiga keadaan itu dan diwajibkan
baginya membayar fidyah dan qadha dalam keadaan terakhir, yaitu apabila dia
khawatir terhadap anaknya saja. (Fatawa Al Azhar juz IX hal 291)
Cara membayat fidyah ?
Inti
pembayaran fidyah adalah mengganti satu hari puasa yang ditinggalkan dengan
memberi makan satu orang miskin. Namun, model pembayarannya dapat diterapkan
dengan dua cara,
- Memasak atau membuat makanan, kemudian mengundang orang miskin sejumlah hari-hari yang ditinggalkan selama bulan Ramadhan. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Anas bin Malik ketika beliau sudah menginjak usia senja (dan tidak sanggup berpuasa)
- Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Alangkah lebih sempurna lagi jika juga diberikan sesuatu untuk dijadikan lauk.
Pemberian
ini dapat dilakukan sekaligus, misalnya membayar fidyah untuk 20 hari
disalurkan kepada 20 orang miskin. Atau dapat pula diberikan hanya kepada 1
orang miskin saja sebanyak 20 hari. Al Mawardi mengatakan, “Boleh saja
mengeluarkan fidyah pada satu orang miskin sekaligus. Hal ini tidak ada
perselisihan di antara para ulama.”
Waktu membayar Fidyah ?
Seseorang
dapat membayar fidyah, pada hari itu juga ketika dia tidak melaksanakan puasa.
Atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan oleh
sahabat Anas bin Malik ketika beliau telah tua.
Yang
tidak boleh dilaksanakan adalah pembayaran fidyah yang dilakukan sebelum
Ramadhan. Misalnya: Ada orang yang sakit yang tidak dapat diharapkan lagi
kesembuhannya, kemudian ketika bulan Sya’ban telah datang, dia sudah lebih
dahulu membayar fidyah. Maka yang seperti ini tidak diperbolehkan. Ia harus
menunggu sampai bulan Ramadhan benar-benar telah masuk, barulah ia boleh
membayarkan fidyah ketika hari itu juga atau bisa ditumpuk di akhir Ramadhan.
Hukum membayar fidyah dengan uang ?
Banyak
sekali yang menyatakan bahwa membayar fidyah harus dilakukan dengan memberi
makan atau bahan makanan pada seorang fakir miskin, disebabkan adanya dalil
sebagai berikut:
“Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (Q.s. Al-Baqarah:184)
Sehingga
disimpulkan bahwa fidyah tidak boleh dibayarkan berupa uang tunai.
Bahkan meskipun kita membayarkan fidyah berupa uang tunai sebanyak 10 x lipat
dari jumlah yang seharusnya, fidyah tersebut dianggap tidak sah karena
seharusnya berbentuk bahan makanan.
Akan
tetapi, ada juga ulama yang menyatakan bolehnya membayar fidyah dengan uang
tunai yang setakar dengan harga bahan makanan tersebut. Hal ini dinyatakan oleh
ulama madzhab hanafi.
Ulama'-ulama'
madzhab Hanafi beralasan, memang
benar nash yang ada menjelaskan bahwa pembayaran fidyah dirupakan makanan
pokok, namun perlu dimengerti bahwa tujuan utama dari pembayaran fidyah adalah
untuk mencukupi kebutuhan fakir miskin, sebagaimana dijelaskan dalam satu
hadits, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Cukupilah
kebutuhan (fakir miskin), agar mereka tidak meminta-minta pada hari seperti
ini."
Sumber:1.http://www.ummi-online.com 2.http://www.arrahmah.com
3.http://rumaysho.com 4.http://www.eramuslim.com
Jakarta 14/7/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar