Sabtu, 30 Mei 2015

PESAN NIlAI-NILAI AL-QUR'AN


AKTUALISASI NILAI-NILAI AL-QUR’AN SEBAGAI AGAMA KASIH SAYANG


1.      Surat Al-a’alq ayat 1-5:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ {1} خَلَقَ الإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ {2} اقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ {3} الَّذِي عَلَّمَ ابِالْقَلَمِ {4} عَلَّمَ اْلإِنسَانَمَالَمْ يَعْلَمْ {5}
Artinya :”Bacalah dengan (menyebut) nama tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan tuhanmu lah yang paling pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahui.
2.      Surat Shod ayat 29:
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا ءَايَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ {29}
Artinya :”ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan keberkahan supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya, dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”
3.      Surat Al-Mujadalah ayat 11:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ............
Artinya :”Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan.”(QS.Al-Mujadalah:11)
Fungsi Al-Qur’an Diturunkan ?
Tujuan utama Al-Quran diturunkan oleh Allah adalah untuk dijadikan petunjuk. Ini sebagaimana dinyatakan oleh Allah di dalam firman-Nya :
(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (Al-Baqarah : 185)
Dr. Ahmad Asrar di dalam kitabnya berkata: Ada lima kewajiban umat Islam terhadap Al-Quran, iaitu :
  1. الإِيْمَانُ بِهِ ) : Beriman kepada Al-Quran
  2. تِلَاوَتُـُهُ ) : Membaca Al-Quran.
  3. الفَهْمُ بِهِ ) : Memahami Al-Quran.
  4. العَمَلُ بِهِ ) : Mengamalkannya.
  5. تَبْلِيْغُهُ إِلَى الآخَرِيْنَ ) : Menyampaikannya kepada orang lain.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran Qalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Al-‘Alaq: 1-5)
Syeikh Al-Maraghiy berkata [5] : Maksud “Iqra'” disini ( اِفْعَلْ مَا أُمِرْتَ بِهِ مِنَ القِرَاءَةِ ) :Lakukanlah apa saja yang kamu diperintahkan dari bacaan itu.
Sebahagian Mufassirin menegaskan bahwa kitab yang mesti dibaca oleh setiap manusia di dalam ayat di atas, ada dua jenis kitab, iaitu :
  1. كِتَابٌ مُنَزَّلٌ ) : Kitab yang diturunkan. Al-Quran kitab yang diturunkan untuk menjadi panduan bagi umat akhir zaman. Membaca kitab jenis ini dengan maksud membacanya, memahami, merenung, mengambil pengajaran dan mengamalkannya.
  2. كِتَابٌ مَخْلُوْقٌ ) : Kitab yang diciptakan Allah. Segala ciptaan Allah, apakah alam binatang, alam tumbuh-tumbuhan, bulan, bintang, dasar laut, perut bumi. Membaca kitab makhluk dengan maksud “research”, membuat kajian, dan penyelidikan.
3.      Dr. Ahmad Asrar menambahkan dalam kitabnya yang sama : Menurut bahasa walaupun makna “Tilawah” sama dengan makna “Qira-ah”, namun sebenarnya makna “Tilawah” lebih mendalam dari makna “Qira-ah”. Maksudnya :Jika kita membaca sesuatu, lalu si pembaca mempunyai pilihan, apakah dia ingin mempercayai atau tidak mempercayai apa yang dibacanya, apakah dia ingin mematuhi suruhan dan larangan apa yang dibacanya, maka itu namanya “Qira-ah”. Contohnya seperti membaca : Surah Kabar (Koran), Majalah dan lain. Tetapi jika seseorang membaca sesuatu, lalu dia tidak mempunyai pilihan terhadap apa yang dibacanya, dia mesti laksanakan jika suruhan, dan dia mesti jauhi terhadap larangannya, maka itu namanya “Tilawah”. Atas sebab itulah maka istilah“Tilawah” hanya khusus untuk Al-Quran. Itulah sebabnya di dalam Al-Quran sungguh banyak suruhan membaca Al-Quran dengan menggunakan ungkapan “Utlu”, iaitu bentuk perintah dari kata dasar “Tilawah”, contohnya:
4.      Dan bacalah apa yang diwahyukan kepadamu, iaitu Kitab Tuhanmu (Al Quran). Tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah Kalimat-Kalimat-Nya. (Al-Kahfi : 27)

Pengertian Islam Rahmatan lil’alamin
Maka yang dimaksud dengan islam rahmatan lil’alamin adalah islam yang kehadirannya ditengah kehidupan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam.

Penafsiran Para Ahli Tafsir Rahmatan ?

3. Muhammad bin Jarir Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari:

“Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat ini, tentang apakah seluruh manusia yang dimaksud dalam ayat ini adalah seluruh manusia baik mu’min dan kafir? Ataukah hanya manusia mu’min saja? Sebagian ahli tafsir berpendapat, yang dimaksud adalah seluruh manusia baik mu’min maupun kafir. Mereka mendasarinya dengan riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu dalam menafsirkan ayat ini:

من آمن بالله واليوم الآخر كتب له الرحمة في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن بالله ورسوله عوفي مما أصاب الأمم منالخسف والقذف

Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Namun siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu, seperti mereka semua di tenggelamkan atau di terpa gelombang besar

dalam riwayat yang lain:

تمت الرحمة لمن آمن به في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن به عوفي مما أصاب الأمم قبل

Rahmat yang sempurna di dunia dan akhirat bagi orang-orang yang beriman kepada Rasulullah. Sedangkan bagi orang-orang yang enggan beriman, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu

Pendapat ahli tafsir yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang beriman saja. Mereka membawakan riwayat dari Ibnu Zaid dalam menafsirkan ayat ini:

فهو لهؤلاء فتنة ولهؤلاء رحمة , وقد جاء الأمر مجملا رحمة للعالمين . والعالمون هاهنا : من آمن به وصدقهوأطاعه

Dengan diutusnya Rasulullah, ada manusia yang mendapat bencana, ada yang mendapat rahmah, walaupun bentuk penyebutan dalam ayat ini sifatnya umum, yaitu sebagai rahmat bagi seluruh manusia. Seluruh manusia yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang beriman kepada Rasulullah, membenarkannya dan menaatinya

Pendapat yang benar dari dua pendapat ini adalah pendapat yang pertama, sebagaimana riwayat Ibnu Abbas. Yaitu Allah mengutus Nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi Wa sallam sebagai rahmat bagi seluruh manusia, baik mu’min maupun kafir. Rahmat bagi orang mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. BeliauShallallahu ‘alaihi Wa sallam memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah. Sedangkan rahmat bagi orang kafir, berupa tidak disegerakannya bencana yang menimpa umat-umat terdahulu yang mengingkari ajaran Allah” (diterjemahkan secara ringkas).

4. Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi dalam Tafsir Al Qurthubi

“Said bin Jubair berkata: dari Ibnu Abbas, beliau berkata:

كان محمد صلى الله عليه وسلم رحمة لجميع الناس فمن آمن به وصدق به سعد , ومن لم يؤمن به سلم مما لحق الأمممن الخسف والغرق

Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah rahmat bagi seluruh manusia. Bagi yang beriman dan membenarkan ajaran beliau, akan mendapat kebahagiaan. Bagi yang tidak beriman kepada beliau, diselamatkan dari bencana yang menimpa umat terdahulu berupa ditenggelamkan ke dalam bumi atau ditenggelamkan dengan air

Ibnu Zaid berkata:

أراد بالعالمين المؤمنين خاص

Yang dimaksud ‘seluruh manusia’ dalam ayat ini adalah hanya orang-orang yang beriman” ”

5. Ash Shabuni dalam Shafwatut Tafasir

“Maksud ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh makhluk’. Sebagaimana dalam sebuah hadits:

إنما أنا رحمة مهداة

Sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan (oleh Allah)” (HR. Al Bukhari dalam Al ‘Ilal Al Kabir 369, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/596. Hadits ini di-shahih-kan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 490, juga dalam Shahih Al Jami’, 2345)

Orang yang menerima rahmat ini dan bersyukur atas nikmat ini, ia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Allah Ta’ala tidak mengatakan ‘rahmatan lilmu’minin‘, namun mengatakan ‘rahmatan lil ‘alamin‘ karena Allah Ta’ala ingin memberikan rahmat bagi seluruh makhluknya dengan diutusnya pemimpin para Nabi, Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau diutus dengan membawa kebahagiaan yang besar. Beliau juga menyelamatkan manusia dari kesengsaraan yang besar. Beliau menjadi sebab tercapainya berbagai kebaikan di dunia dan akhirat. Beliau memberikan pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada menusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat Allah bagi seluruh manusia. Bahkan orang-orang kafir mendapat manfaat dari rahmat ini, yaitu ditundanya hukuman bagi mereka. Selain itu mereka pun tidak lagi ditimpa azab berupa diubah menjadi binatang, atau dibenamkan ke bumi, atau ditenggelamkan dengan air”

Konsep Rahmatan Lil’alamin agama islam

Memang benar agama islam adalah agama rahmatan lil’alamin. Namun banyak orang yang salah kaprah dalam menafsirkannya. Sehingga banyak kesalahan dalam memahami praktek beragama bahkan dalam hal yang fundamental yaitu akidah.

Pernyataan bahwa islam adalah agama yang rahmatan lil’alamin sebenarnya adalah kesimpulan dari firman Allah Ta’ala,

“Kami tidak mengutus engkau, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta”.(al-Anbiya’:107)

Nabi Muhammad saw Mengajarkan Kasih Sayang

Berdasarkan penafsiran para ulama ahli tafsir yang terpercaya, beberapa faedah yang dapat kita ambil dari ayat ini adalah:

1.Di utusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam sebagai Rasul Allah adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.

2.Seluruh manusia di muka bumi diwajibkan memeluk agama Islam.

3.Hukum-hukum syariat dan aturan-aturan dalam Islam adalah bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepada makhluk-Nya.

4.Seluruh manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi Wa sallam

5.Rahmat yang sempurna hanya didapatkan oleh orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam

6.Seluruh manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi Wa sallam.

7.Orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi Wa sallam, membenarkan beliau serta taat kepada beliau, akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

8.Orang kafir yang memerangi Islam juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, yaitu dengan diwajibkannya perang melawan mereka. Karena kehidupan mereka didunia lebih lama hanya akan menambah kepedihan siksa neraka di akhirat kelak.

9.Orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum musliminjuga mendapatrahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Yaitu dengan dilarangnya membunuh dan merampas harta mereka.

10.Secara umum, orang kafir mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam berupa dihindari dari adzab yang menimpa umat-umat terdahulu yang menentang Allah. Sehingga setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, tidak akan ada kaum kafir yang diazab dengan cara ditenggelamkan seluruhnya atau dibenamkan ke dalam bumi seluruhnya atau diubah menjadi binatang seluruhnya.

PERAN BERAGAMA

Artinya: “Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam (tulis baca). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Firman Allah SWT dalam surat al-Isra’: 9ƒ Ï
Artinya: “Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.”
Agama Islam memiliki peranan dalam kehidupan manusia. Peranan tersebut adalah sebagai pedoman yang mencakup hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan hidup, dan sebagai sumber nilai dalam kehidupan manusia.
Fungsi dan Peran Agama Dalam Masyarakat
Dalam hal fungsi, masyarakat dan agama itu berperan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat   dipecahakan   secara   empiris   karena   adanya   keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, diharapkan agama menjalankan   fungsinya   sehingga   masyarakat   merasa   sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya. Agama dalam masyarakat bisa difungsikan sebagai berikut :
a. Fungsi edukatif.
Agama memberikan bimbingan dan pengajaaran dengan perantara petugas-petugasnya (fungsionaris) seperti syaman, dukun, nabi, kiai, pendeta imam, guru agama dan lainnya, baik dalam upacara (perayaan) keagamaan, khotbah, renungan (meditasi) pendalaman rohani, dsb.
b.Fungsi penyelamatan.
Bahwa setiap manusia menginginkan keselamatan baik dalam hidup sekarang ini maupun sesudah mati. Jaminan keselamatan ini hanya bisa mereka temukan dalam agama. Agama membantu manusia untuk mengenal sesuatu “yang sakral” dan “makhluk teringgi” atau Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya. Sehingga dalam yang hubungan ini manusia percaya dapat memperoleh apa yang ia inginkan. Agama sanggup mendamaikan kembali manusia yang salah dengan Tuhan dengan jalan pengampunan dan Penyucian batin.
c. Fungsi pengawasan sosial (social control)
Fungsi agama sebagai kontrol sosial yaitu :
Agama meneguhkan kaidah-kaidah susila dari adat yang dipandang baik bagi kehidupan moral warga masyarakat.
Agama mengamankan dan melestarikan kaidah-kaidah moral ( yang dianggap baik )dari serbuan destruktif dari agama baru dan dari system hokum Negara modern.
d.      Fungsi memupuk Persaudaraan.
Kesatuan persaudaraan berdasarkan kesatuan sosiologis ialah kesatuan manusia-manusia yang didirikan atas unsur kesamaan.
Tujuan Beragama 1.Menegakan kepercayaan manusia hanya kepada Allah,Tuhan Yang Maha Esa (tahuit).2.Mengatur kehidupan manusia di dunia,agar kehidupan teratur dengan  baik, sehingga dapat mencapai kesejahterahan hidup, lahir dan batin, dunia dan akhirat.3.Menjunjung tinggi dan melaksanakan peribadatan hanya kepada Allah.4.Menyempurnakan akhlak manusia.5.Agama juga berperan untuk menciptakan suatu perdamaian bagi masyarakat dan sebagai alat yang dapat dijadikan sebagai penumbuh rasa solidaritas. 6.Untuk menciptakan iklim damai tersebut, perlu dibentuk pranata-pranata sosial yang menjadi infrastruktur bagi tegaknya suatu perdamaian dalam masyarakat. 7.Dalam hal ini peranan pemimpin keagamaan, seperti ulama, pendeta, kyai dan para jemaah agama, adalah sangat penting bagi terwujudnya suasana  damai dan kondusif dalam kehidupan beragama manusia sehyari hari.
Sumber Pustaka :
[34] Mustafa, Akhlak Tasawuf, 197.
[35] Mustafa, Akhlak Tasawuf, 198.
[36] Mustafa, Akhlak Tasawuf, 200.
1.Aktulisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam. Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al Munawar, M.A. Ciputat Press
2.http://web.iaincirebon.ac.id 3.http://batampos.co.id4.http://edokumen.blogspot.com 4.keluargaumarfauzi.blogspot.com

*Makalah untuk seminar di STAINI Bogor 1 juni 2015*

Jakarta 25/5/2015

READ MORE - PESAN NIlAI-NILAI AL-QUR'AN

Jumat, 29 Mei 2015

HUKUM SHALAT TARAWIH





MENGHIDUPKAN SHALAT TARAWIH ?


مَنْ قَامَ رَمَصَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah , niscaya diampuni dosa yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)

Muqaddimah
مَنْ قَامَ رَمَصَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah , niscaya diampuni dosa yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)
“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282). Dan beliau menyatakan pula tentang kesepakatan para ulama tentang sunnahnya hukum shalat tarawih ini dalam Syarh Shahih Muslim (5/140) dan Al-Majmu’ (3/526).
Ketika Al-Imam An-Nawawi menafsirkan qiyamu Ramadhan dengan shalat tarawih maka Al-Hafizh Ibnu Hajar memperjelas kembali tentang hal tersebut: “Maksudnya bahwa qiyamu Ramadhan dapat diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih dan bukanlah yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya).” (Fathul Bari, 4/295)
Hukum Shalat Tarawih ?
Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunah (dianjurkan), dan tidak wajib.
Imam an-Nawawi mengatakan,
أما حكم المسألة فصلاة التراويح سنة بإجماع العلماء
Adapun hukum masalah shalat tarawih, maka shalat tarawih hukumnya sunah dengan sepakat ulama. (al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 4/31).
Keterangan yang sama juga disebutkan dalam ensiklopedi fikih islam,
أجمع المسلمون على سنية قيام ليالي رمضان، وقد ذكر النووي أن المراد بقيام رمضان صلاة التراويح
Kaum muslimin sepakat tentang hukum anjuran untuk qiyam malam ramadhan. dan an-Nawawi telah menyebutkan bahwa yang dimaksud qiyam ramadhan adalah shalat tarawih. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 23/144).
Di tempat lain, dalam ensiklopedi fikih islam juga disebutkan,
اتفق الفقهاء على سنية صلاة التراويح، وهي عند الحنفية والحنابلة وبعض المالكية سنة مؤكدة، وهي سنة للرجال والنساء وهي من أعلام الدين الظاهرة
Ulama sepakat tentang hukum anjuran untuk shalat tarawih. Sementara menurut madzhab hanafiyah, hambali, dan sebagian malikiyah, shalat tarawih hukumnya sunah yang sangat ditekankan. Shalat ini dianjurkan bagi lelaki dan wanita. Dan shalat ini termasuk syiar agama islam yang sangat nampak. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 27/137).
Hukum Wanita Tarawih ?
Shalat Taraweh hukumnya sunnah muakkadah (sangat dianjurkan). Dan yang lebih  utama bagi para wanita dalam qiyamul lail adalah melakukannya di rumah. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam:
لا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ. (رواه أبو داود في سننه باب ما جاء في خروج النساء إلى المسجد : باب التشديد في ذلك . وهو في صحيح الجامع 7458)
“Jangan kalian melarang isteri-isteri kalian ke masjid. Akan tetapi rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (HR. Abu Daud, dalam sunannya, tercantum dalam kitab Shahih Al-Jami, 7458)
Bahkan, semakin shalatnya di tempat lebih tertutup dan lebih menyendiri, hal itu lebih baik lagi. Sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Shalat seorang wanita di ruang tidurnya lebih  baik dibandingkan shalatnya di ruang tengah. Dan shalatnya di ruang kecil di rumahnya, lebih baik dibandingkan shalatnya di ruang tidurnya.” (HR. Abu Daud dalam kitab sunan, tercantum dalam kitab Shahih Al-Jami’, no.  3833)
وعن أُمِّ حُمَيْدٍ امْرَأَةِ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّهَا جَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلاةَ مَعَكَ قَالَ قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاةَ  مَعِي وَصَلاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ وَصَلاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاتِكِ فِي دَارِكِ وَصَلاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِي قَالَ فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَتْ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ . رواه الإمام أحمد ورجال إسناده ثقات
Dari Ummu Humaid, isteri Abu Humaid As-Sa’idy, sesungguhnya beliau datang (menemui) Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku suka shalat bersama anda engkau. Beliau menjawab: “Sungguh aku mengetahui bahwa engkau suka menunaikan shalat bersamaku, akan tetapi shalatmu di kamar tidurmu lebih baik dibandingkan shalatmu di ruang tengah rumahmu, dan shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih baik dibandingkan shalatmu di masjid khusus rumahmu, dan shalatmu di masjid khusus rumahmu, lebih baik dibandingkan shalatmu di masjid di sekitar masyarakatmu, dan shalatmu di masjid sekitar masyarakatmu lebih baik dibandingkan shalatmu di masjidku. Kemudian dia (Ummu Humaid) minta dibangunkan baginya masjid (tempat shalat) di  tempat paling ujung rumahnya dan paling gelap. Maka beliau shalat di sana sampai bertemu dengan Allah Azza Wa Jalla (wafat)." (HR. Ahmad, para perawinya tsiqah/terpercaya)
Akan tetapi kedatangan para wanita ke masjid, hendaknya dengan syarat berikut ini:
1.      Memakai hijab secara sempurna
2.      Tidak menggunakan wewangian
3.      Mendapat izin dari suaminya.
Hendaknya ketika pergi, seorang wanita tidak melakukan perkara haram seperti berduaan dengan supir yang bukan mahram di mobil atau yang semisalnya. Kalau seorang wanita menyalahi sebagian dari apa yang disebutkan tadi, maka suami atau walinya berhak melarangnya pergi, bahkan hal itu justeru diharuskan.
Waktu Shalat Tarawih ?
Waktu shalat tarawih adalah antara shalat ‘Isya hingga terbit fajar sebagaimana sabda Rasulullah:
إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِيَ الْوِتْرُ فَصَلُّوْهَا فِيْمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Allah telah menambah shalat pada kalian dan dia adalah shalat witir. Maka lakukanlah shalat witir itu antara shalat ‘Isya hingga shalat fajar.” (HR. Ahmad, Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata: “(Hadits) ini sanadnya shahih”, sebagaimana dalam Ash-Shahihah, 1/221 no.108)
Berjama’ah atau sendiri yang Utama ?
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, yang utama adalah dilaksanakan secara berjamaah.
Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan sebagian besar sahabatnya, juga pendapat Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad (Masaailul Imami Ahmad, hal. 90) dan disebutkan pula oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2/605) dan Al-Mirdawi dalam Al-Inshaf (2/181) serta sebagian pengikut Al-Imam Malik dan lainnya, sebagaimana yang telah disebutkan Al-Imam An-Nawawi t dalam Syarh Shahih Muslim (6/282).
Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama (Al-Fath, 4/297) dan pendapat ini pula yang dipegang Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani , beliau berkata: “Disyariatkan shalat berjamaah pada qiyam bulan Ramadhan, bahkan dia (shalat tarawih dengan berjamaah) lebih utama daripada (dilaksanakan) sendirian…” (Qiyamu Ramadhan, hal.19-20).
Pendapat kedua, yang utama adalah dilaksanakan sendiri-sendiri.
Pendapat kedua ini adalah pendapat Al-Imam Malik dan Abu Yusuf serta sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal ini sebutkan pula oleh Al-Imam An-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 6/282).
Jumlah Rakaat dalam Shalat Tarawih ?
Pendapat Pertama:
Kemudian untuk jumlah rakaat dalam shalat tarawih adalah 11 rakaat berdasarkan:
1. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, beliau bertanya pada ‘Aisyah tentang sifat shalat Rasulullah n pada bulan Ramadhan, beliau menjawab:
مَا كَانَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَ فِيْ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Tidaklah (Rasulullah) melebihkan (jumlah rakaat) pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada selain bulan Ramadhan dari 11 rakaat.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari)
‘Aisyah dalam hadits di atas mengisahkan tentang jumlah rakaat shalat malam Rasulullah yang telah beliau saksikan sendiri yaitu 11 rakaat, baik di bulan Ramadhan atau bulan lainnya. “Beliaulah yang paling mengetahui tentang keadaan Nabi n di malam hari dari lainnya.” (Fathul Bari, 4/299)
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata: “(Jumlah) rakaat (shalat tarawih) adalah 11 rakaat, dan kami memilih tidak lebih dari (11 rakaat) karena mengikuti Rasulullah, maka sesungguhnya beliau tidak melebihi 11 rakaat sampai beliau wafat.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 22)
Pendapat Kedua:
Jumlah rakaatnya 20 dan 3 witir (2 rakaat salam lalu 1 rakaat salam)
1. Dari Yazid bin Ruman beliau berkata:
كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِيْ رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً
“Manusia menegakkan (shalat tarawih) di bulan Ramadhan pada masa ‘Umar bin Al-Khaththab 23 rakaat.” (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqaani, 1/362 no. 250)
Al-Imam Al-Baihaqi berkata: “Yazid bin Ruman tidak menemui masa ‘Umar ”. (Nukilan dari kitab Nashbur Rayah, 2/154) (maka sanadnya munqothi/terputus, red).
2. Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam dari Miqsam dari Ibnu ‘Abbas :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّى فِيْ رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكَعَةَ وَالْوِتْرَ
“Sesungguhnya Nabi shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Awsath, 5/324 no. 5440 dan 1/243 no. 798, dan dalam Al-Mu’jamul Kabir, 11/311 no. 12102)
Dengan demikian, jumlah rakaat dalam shalat tarawih berbeda pendapat. Silahkan yang 11 rakaat atau 23 rakaat, yang penting dilaksanakan dengan khusyu’ dan terpenuhi syarat rukun shalatnya.
Sumber:1.https://myasirarafat.wordpress.com
2.http://islamqa.info
3.http://www.konsultasisyariah.com
JAKARTA 29/5/2015
READ MORE - HUKUM SHALAT TARAWIH
 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman