Rabu, 22 April 2015

HUKUM BEKERJA





BEKERJA  DENGAN NON MUSLIM ?


لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴿٩﴾
Artinya : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah Hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu Karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumtahanah : 8 – 9)
Muqaddimah
Kedudukan orang kafir dalam pandangan Islam tidak selalu harus dalam bentuk permusuhan dan perang. Sebab pada dasanya Islam adalah agama perdamaian. Syiar agama Islam sendiri adalah rahmatan lil 'alamin atau menjadi kasih sayang bagi seluruh alam.
Bahkan defaultnya orang kafir itu harus diperlakukan secara adil dan dijamin hak-haknya dalam masyarakat Islam. Baik posisinya dalam keadaan bermusuhan atau berteman, semua harus diperlakukan dengan adil. Orang kafir yang harus dimusuhi adalah orang per orang dari mereka yang secara zalim bersikap memusuhi kita. Selain itu, tentu kita tidak boleh bersikap memusuhi.
Syariat Islam tidak pernah mengharamkan muamalat dengan orang kafir. Yang haram kalau dalam muamalat itu ada akad-akad haram seperti riba, penipuan, penggelapan, kecurangan dan lainnya. Dan semua itu bisa saja dilakukan oleh orang kafir dan muslim sekali pun.
Meski Madinah itu sudah jadi negara Islam, tetapi jangan dikira kalau penduduknya muslim semua. Justru tetangga Rasulullah SAW masih memeluk agama Yahudi. Dan menarik sekali, ternyata Rasulullah SAW tetap bermuamalat dalam hubungan ekonomi dengan tetangganya yang yahudi itu. Beliau pernah meminjam uang untuk membeli makanan darinya dengan jaminan baju besi.
Ketika beliau SAW hijrah ke Madinah, orang yang beliau sewa untuk menjadi penunjuk jalan ternyata bukan muslim. Dia bernama Abdullah bin Uraiqidh, seorang penyembah berhala dari kalangan Arab jahiliyah.
Syarat Bekerja Dengan Orang Kafir ?
Namun kadang-kadang ada saja bos non muslim yang berlaku sewenang-wenang kepada karyawannya, khususnya dalam masalah yang terkait agama. Misalnya bersikap menghalangi karyawan muslim untuk sekedar mengerjakan shalat fardhu, atau melarang karyawan wanita menutup aurat, bahkan memaksa karyawan minum khamar dan seterusnya.

Sikap sewenang-wenang yang melanggar agama ini tentu saja tidak selalu tejadi di semua perusahaan milik non muslim. Sebab banyak sekali perusahaan yang notabene milik non muslim, tetapi justru bersikap sangat toleran terhadap urusan agama Islam.
Jadi kita tidak bisa menggeneralisir bahwa semua perusahaan non muslim itu pasti bersikap tidak baik, walau pun juga tidak menutup kemungkinan semua itu terjadi pada kasus tertentu.
Maka yang jadi ukuran bukan apakah pemilik perusahaan itu muslim atau bukan muslim, tetapi apakah di dalam perusahaan itu diberikan toleransi untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinan masing-masing atau tidak.
Hukum Bekerja ?
Boleh bagi seorang muslim untuk bekerja dengan orang kafir. Diantara dalilnya adalah hadist yang diriwayatkan oleh Ka’ab bin Ujrah. Bahwa beliau berkata:

“saya mendatangai nabi pada hari, dan saya melihat beliau pucat. Maka saya bertanya,’ayah dan ibu saya adalah tebusanmu’. Kenapa engkau pucat? Beliau menjawab ,’tidak ada makanan yang masuk ke perut saya sejak tiga hari’, maka saya pun pergi dan mendapati seorang yahudi sedang memberi minum untanya. Lalu saya bekerja padanya , memberi minum unta dengan upah sebiji kurma untuk setiap ember. Saya pun mendapatkan beberapa biji kurma dan membawanya untuk nabi. Nabi bertanya ‘dari mana ini wahai ka’ab? Lalu saya pun menceritakan kisahnya. Nabi bertanya ‘Apakah kamu mencintaiku wahai ka’ab ? Saya menjawab, ‘ya, dan ayah saya adalah tebusanmu’.”(HR At thabrani no. 7157, dihukumi hasan oleh Al Haitsami dan syaikh Al Bani lihat Al mu’jamul Ausath, 7/160;Majma’uz Zawaid,11/230; dan Shahihut Targhib wat Tarhib 3/150)

Dalam hadist ini, nabi tidak mengingkari apa yang dilakukan Ka’ab. Hal itu menunjukkan bahwa pada dasarnya, hukum bekerja pada orang kafir boleh.
Namun, Haram bagi seseorang muslim bekerja untuk non muslim dalam bidang pekerjaan yang diharamkan agama seperti bekerja di bank ribawi, menjual atau membuat minuman keras, atau menjual daging babi. Dalam hal ini, tidak ada bedanya antara pemilik usaha tempat kerjanya itu seorang muslim atau kafir (lihat fatawa al Lajnah ad-daimah 14/477)

Pendapat Ulama ?
Dari sekian banyak Negara yang menjadi tujuan para TKI, beberapa diantaranya adalah Negara yang berpenduduk mayoritas non muslim. Hal ini mengakibatkan banyak para TKI yang beragama Islam “terpaksa” bekerja (membantu) majikannya yang non muslim. Pekerjaan yang mereka terima pun hanya sebatas kuli (buruh) atau pembantu rumah tangga yang otomatis diperintah oleh majikannya yang non muslim. Sekilas para TKI tersebut masuk dalam firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (51) [المائدة/51]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” [QS. Al-Mâidah (5):51]
Dari ayat ini, dengan tegas Allah melarang semua umat muslim menjadikan orang non muslim sebagai wali. Kata wali sendiri bermakna penolong, teman, dan kekasih.[1] Sedangkan mengenai maksud ayat ini, para ulama masih berbeda pendapat. Muhammad Rasyid Ridla berpendapat bahwa ayat ini berbicara tentang kondisi perang, sehingga orang muslim dilarang membantu dan berjabat tangan dengan para musuh islam, bukan karena perbedaan agama, sebab nabi juga melindungi orang-orang non muslim yang hidup di Madinah.[2] Sementara Muhammad al-Tabathaba’i memaknai ayat di atas dengan berkasih sayang dengan orang non muslim sehingga menyebabkan condongnya hati terhadap agama yang mereka anut.[3]
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ [البقرة/198]
“Tidak ada dosa atas kalian untuk mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.” [QS. Al-Baqarah (2): 198]
Ayat ini membolehkan umat manusia untuk mencari rizki di muka bumi tanpa ada batasan dan aturan. Akan tetapi, bukan demikian yang dikehendaki oleh ajaran Islam, sebab tidak ada kebebasan yang muthlak. Segala kebebasan pasti dibatasi dengan aturan-aturan baku.
Menurut al-Ghazali, ada empat syarat atau kriteria kasab (bekerja dalam rangka mencari rezki) yang dianjurkan oleh fiqh. Pertama, keabsahan, dalam arti memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat akad. Kedua, keadilan, dengan tujuan tidak ada pihak yang dirugikan. Ketiga, ihsan, artinya tidak ada unsur kedzaliman/kemaksiatan. Keempat, untuk kemaslahatan agama. [Ihyâ’ `Ulumû al-dîn, III:66]
Ibnu Qudâmah lebih melihat akad ijarah sebagai bisnis murni (just a bussines), sehingga tidak bisa dikaitkan dengan penghinaan dan semacamnya. Karena dalam bisnis, tidak ada perbedaan antar agama. Dengan begitu, selama tidak ada yang saling dirugikan, maka tidak masalah bekerja pada siapapun tanpa harus mengkait-kaitkan dengan perbedaan agama.
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bekerja pada orang non muslim termasuk akad ijârah yang sah dan boleh saja dilakukan senyampang bukan akad ijârah yang ditujukan untuk kemaksiatan, misalnya untuk membunuh atau menjadi pelacur. Bila hanya sekedar menjadi pembantu rumah tangga atau kuli bangunan dan sebagainya, tidak ada ulama yang tidak memperbolehkannya karena pekerjaan yang demikian bukanlah termasuk pekerjaan maksiat.
Ikhtitam
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ [المائدة/2]
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” [QS. Al-Mâidah (5): 2]



Sumber:1.http://olahraga.kompasiana.com
2.http://salafstreet.blogspot.com
3.http://www.rumahfiqih.com
JAKARTA 22/4/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman