Rabu, 15 April 2015

BISA MEMBANGUN BANGSA




KEBERSAMAAN MEMBANGUN BANGSA  ?


سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Rabbmu dan surga yang lebarnya selebar langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al Hadiid: 21)
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
Berlomba-lombalah dalam kebaikan” (QS. Al Baqarah: 148).
Muqaddimah
وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ
Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. Al Muthoffifin: 26)
NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi islam terbesar di Indonesia dengan mengantongi jumlah massa masing-masing puluhan juta. keduanya mempunyai pengalaman kesejarahan amat kaya. Dan proses kristalisasi sejarah semakin mengutuhkan NU dan Muhammadiyah sebagai dua sosok organisasi sosial keagamaan yang disegani. Yang pertama sering disebut oleh para pengamat sejarah sebagai sebuah organisasi yang mewakili golongan muslim tradisional, sedang yang kedua sering dikatakan sebagai perkumpulan yang mewakili muslim modernis. Kalau NU lahir pada 31 januari 1926, maka Muhammadiyah lahir lebih awal empat belas tahun, yaitu pada 18 nopember 1912.
Meminjam istilah Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., ...sebab menurut beliau antara NU dan Muhammadiyah tidak ada masalah lagi, bahkan kalangan pengurus pusat baik NU maupun Muhammadiyah sudah nampak rukun, bergandengan tangan, bahkan harmonis, walaupun di akar, rumput atau pada masyarakat bawah kadang kala masih terjadi sedikit perbedaan. Hal tersebut perlu dipahami dan dimaklumi karena memang NU dan Muhammadiyah mempunyai perbedaan baik latar belakang kelahirannya, basis massanya, maupun cara dalam penetapan dan pemahaman hukum.
Tidak diragukan lagi, bahwa Muhammadiyah dan NU merupakan organisasi terbesar di Indonesia.Sebagian pengamat bahkan mengklaim, keduanya merupakan organisasi kaum muslim terbesar di seluruh dunia Islam. Dan lebih dari itu, keduanya sekaligus menjadi organisasi tertua, yang eksistensinya tidak pernah terputus sejak dilahirkan, masing-masing pada dekade kedua dan ketiga abad ini.
Sebenarnya KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari sama-sama pernah berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, ulama besar madzhab Syafi’I di Mekkah. ketika bergaung pemikiran Abduh dan muridnya Rasyid Ridha di Mesir, KH. Ahmad Dahlan sangat tertarik dan mengembangkan di Indonesia. sedangkan KH. Hsyim Asy’ari justru kritis terhadap pemikiran mereka.
Antara NU dan Muhammadiyah ?
NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan mengantongi jumlah massa masing-masing puluhan juta. Keduanya mempunyai pengalaman kesejarahan amat kaya. Dan proses kristalisasi sejarah semakin mengutuhkan NU dan Muhammadiyah sebagai dua sosok organisasi sosial keagamaan yang disegani. Yang pertama sering disebut oleh para pengamat sejarah sebagi sebuah organisasi yang mewakili golongan Muslim tradisional, sedang yang kedua sering dikatakan sebagai sebuah perkumpulan yang mewakili kelompok Muslim modernis. Kalau NU lahir pada 31 Januari 1926, maka Muhammadiyah lahir lebih awal empat belas tahun, yaitu pada 18 Nopember 1912.
Melihat kematangan usianya yang telah melebihi usia kemerdekaan Republik Indonesia, keduanya jelas memiliki pengalaman interaksi dengan lanskap sejarah keindonesiaan yang lengkap dan utuh. Keduanya, meminjam istilah Mas Surya Paloh, merupakan organisasi tujuh zaman. Keduanya sama-sama pernah menjalani masa penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, revolusi kemerdekaan, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, dan sekarang era Reformasi. Dilihat dari sudut historisitasnya, keduanya telah berperan cukup besar bagi kelangsungan eksistensi Indonesia, tentunya dengan mengecualikan fase-fase tertentu dimana langit-langit politik memang tak memberikan peluang bagi keduanya untuk tampil sebagai pemain garda depan. Dan dengan tipologi yang dimiliki masing-masing, keduanya telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam pengisian nilai-nilai religius ke dalam lokus keindonesiaan.
Optimalisasi kerja kultural itu dapat dilakukan sekurang-kurangnya dalam lima bentuk. Pertama, baik NU maupun Muhammadiyah secara kelembagaan tidak perlu lagi menempatkan politik sebagai kepentingan tujuan yang dominan. NU dengan kredonya “Kembali ke Khithah 1926” dan Muhammadiyah dengan slogannya “High Politics” atau “Politik Luhur”, perlu semakin dimantapkan sebagai visi dan cita pergerakan kultural, tanpa perlu terjebak pada pemenuhan kepentingan-kepentingan politik yang bersifat jangka pendek, tentatif, dan sesaat.
Keduanya mesti mengkonsentrasikan gerakannya pada penggarapan masalah sosial keagamaan, yang beberapa waktu lalu sempat terhenti akibat gonjang-ganjing politik nasional yang telah memecah konsentrasi sebagian besar para petinggi kedua organisasi ini. Sekarang tiba saatnya bagi keduanya untuk bisa bekerja sama dalam jalur-jalur pergerakan kultural.
Untuk sampai ke arah itu, diperlukanlah keberanian moral untuk mengakhiri dan menyudahi polarisasi politik antara NU dan Muhammadiyah yang selama ini terjadi. Dalam konstelasi yang paling kontemporer, misalnya, masing-masing perlu menarik garis demarkasi yang tegas antara NU dengan PKB, dan Muhammadiyah dengan PAN. Ini penting dikemukakan, karena walaupun secara formal-institusional antara NU dengan PKB dan Muhammadiyah dengan PAN tidak mempunyai hubungan, namun pertengkaran yang pernah terjadi antara Abdurrahman Wahid (PKB) dan Amin Rais (PAN) bagaimanapun telah menyebabkan NU dan Muhammadiyah berada dalam ketegangan dan hubungan yang tidak mesra.
Dalam konteks itu, penegasan kembali oleh Syafi’ie Ma’arif dalam Sidang Tanwir di Denpasar Bali bahwa Muhammadiyah tidak memiliki hubungan organisasitoris dengan partai manapun, dan Muhammadiyah tidak akan memasuki wilayah kekuasaan (Kompas, 28/1/2002) perlu mendapatkan apresiasi yang cukup.
Begitu juga, walaupun menyulut kegeraman Ketua Dewan Syura PKB Abdurrahman Wahid, ketidakhadiran Hasyim Muzadi dan Sahal Mahfudz (masing-masing sebagai Ketua Umum dan Rais ‘Am PBNU) dalam MLB PKB versi Alwi Shihab di Yogyakarta beberapa hari yang lalu, saya kira merupakan awal yang baik untuk menjaga netralitas dan independensi NU berhadapan dengan berjibun partai politik, sehingga NU tetap berada di garis orbitnya (Khithah 1926), setelah sepanjang 1999-2001 seluruh energinya terkuras habis untuk megamankan posisi Gus Dur dari kursi kepresidenannya.
Hubungan NU dengan PKB atau PAN dengan Muhammadiyah cukuplah dimaknakan dalam hubungan historis-kesejarahan. PKB didirikan oleh PBNU yang waktu itu diketuai oleh Abdurrahman Wahid, dan kemunculan PAN tak terlepas dari andil besar mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Amin Rais.
Secara lebih jauh, penarikan garis demarkasi yang tegas antara NU dengan PKB atau Muhammadiyah dengan PAN merupakan langkah strategis, agar NU dan Muhammadiyah bisa optimal bekerja pada gerakan pemberdayaan civil society (istilah yang populer di kalangan NU) atau masyarakat madani (istilah yang nge-trend di kalangan Muhammadiyah). Pilihan inilah yang paling ideal, meskipun oleh sebagian politisi Islam akan dinilai tidak strategis dan realistis. Namun, seharusnyalah baik NU maupun Muhammadiyah tetap mengutamakan yang ideal tersebut, dan tidak begitu saja terjebak pada kubangan politik praktis yang bersifat tentatif dan fluktuatif. Tegasnya, kedua organisasi ijtima’iyah-diniyah ini dituntut untuk mencadangkan diri sebagai wahana penciptaan dan pemberdayaan masyarakat sipil (civil society).
Kedua, merumuskan agenda aksi bersama pada tingkat praksis di lapangan untuk menggiatkan kreativitas ekonomi rakyat. Sebab, telah cukup lama warga NU dan Muhammadiyah berada dalam proses peminggiran yang tak ketulungan. Ambil contoh, warga NU yang tinggal di desa-desa dan anggota Muhmmadiyah yang berada di perkotaan telah dipertemukan dalam suratan yang sama, yaitu marginalisasi ekonomi. Tengoklah, para petani yang tanahnya terampas, penggusuran rumah pemukiman miskin (slum) di kota, para pedagang batik dan kretek yang kelimpungan. Kurangnya perhatian terhadap kelompok tertindas itu, menyebabkan mereka semakin terpojok berada di periferi secara ekonomi.
Ketiga, sama-sama merumuskan agenda masing-masing yang pada suatu ketika diarahkan pada pembentukan konvergensi--terutama dalam kerangka peningkatan sumberdaya manusia. Untuk membenahi sistem pendidikan di pesantren-pesantren milik warga NU, misalnya, para pengasuh pesantren tidak perlu malu-malu dan segan untuk meminta masukan bahkan belajar banyak dari kesuksesan Muhammadiyah dalam bidang pengelolaan lembaga pendidikan. Kita tahu, lembaga-lembaga pendidikan milik Muhammadiyah mulai dari tingkat TK hingga perguruan tinggi banyak mendapatkan pengakuan dari publik. Begitu juga, bagi Muhammadiyah. Untuk mengatasi kelangkaan para ulama yang mampu merujuk dan mengakses pada khazanah intelektual keislaman klasik, maka tidak mengapa jika Muhammadiyah memasoknya dari NU yang konon sudah kelebihan stok untuk itu, paling tidak hingga saat ini.
Keempat, memikirkan secara lebih serius mekanisme komunikasi yang produktif di antara kedua organisasi Islam terbesar itu untuk mencari titik-titik temu fundamental dan menghindari titik-titik pecah permukaan. Sebab, antara kedua organisasi keagamaan terbesar itu, sesungguhnya memang tidak ada perbedaan yang menyolok. Secara teologis, misalnya, antara keduanya ditemalikan dalam dasar-dasar dan konsep-konsep fundamental keagamaan yang sama. Tak dapat diragukan bahwa keduanya adalah termasuk golongan Muslim Sunni, yang melaksanakan pokok-pokok keimanan dan sendi-sendi ibadah yang sama. Perbedaan keduanya hanya menyangkut masalah furu’iyah yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Namun, dalam sejarahnya, masa`il furu’iyah inilah yang seringkali memacetkan jalur komunikasi antarwarga dua ormas ini
Kelima, sama-sama mengorientasikan diri ke arah pencarian jawaban atas krisis-krisis sosial, kultural, ekonomi, dan politik yang sedang melanda bangsa ini. Sebab, akutnya kemelut yang melanda bangsa Indonesia hari ini agaknya tidak bisa dipasrahkan penyelesaiannya hanya kepada tangan negara. Di sini, NU- Muhammadiyah yang warganya paling dahsyat tertimpa badai krisis itu--mulai dari krisis ekonomi, sosial hingga krisis politik--harus mengorientasikan dan memfokuskan program kerjanya secara sungguh-sungguh pada advokasi dan pemberdayaan warganya. Seruan keprihatinan beberapa waktu yang lalu oleh para tokoh agama-agama yang juga menyertakan tokoh NU (Hasyim Muzadi) dan Muhammadiyah (Syafi’i Ma’arif) bahwa Indonesia sedang berada di ambang kebangkrutan dan kehancuran, harus segera dilanjutkan kepada kerja-kerja yang lebih konkret.
Ada Perbedaan anatara keduanya ?
MASALAH
NU
MUHAMMADIYAH
Aqidah (Keduanya masih dalam bingkai Ahlu sunnah)
Mengikuti paham Asy’ariyah/Maturidiyah
Mengikuti paham salaf/wahabi* (Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnu Qoyyim)
Fiqih
Keharusan mengikuti salah satu madzhab
Langsung kepada Alqur’an dan Sunnah, dan Tarjih(memilih pendapat yang terkuat)
Tasawwuf/thariqah
Menerima tasawwuf, dan thariqah yang mu’tabar(diakui)
Menolak tasawwuf dan thariqah(tetapi banyak yang apresitif secara individual dan selektif, missal HAMKA dengan tasawwuf modernya)
Pemikiran yang dominan
Pemikir Klasik: Asy’ari, Al-Ghazali dan Nawawi, dan lain-lain
Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnu Qoyyim, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha

Contoh Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah ?
a.  Menyentuh wanita  yang  bukan mahram  sesudah berwudu. Menurut
Muhammadiyah tidak  membatalkan wudu  karena  Muhammadiyah menafsirkan
ayat 43  surah an­Nisa  “au  lamastumun­nisa” dengan bersetubuh. Sedangkan
menurut NU membatalkan wudu, karena kata “lamastum” diartikan menyentuh.
b. Menghadiahkan pahala  kepada  onang  yang  telah meninggal. Menurut
Muhammadiyah tidak  ada dasar  ajaran yang  mengacu  ke  arah itu, sedangkan
menurut NU,  boleh menghadiahkan pahala  kepada  orang  yang  telah meninggal
dan pahalanya sampai, dasarnya adalah kitab Tuhfah al­Muhtaj.
c.  Dan lain­lain yang  secara  ringkas dapat disebutkan hal­hal yang  tidak  dikenal di
dalam Muhannmadiyah tetapi lazim di kalangan NU,  seperti talqin bagi orang
yang  sudah meninggal, haul (upacara  peringatan ulang  tahun kematian
seseorang), membayar  fidyah bagi seorang  yang  mati  dan masih berhutang
shalat, dan lain­lain.
d. Contoh masalah yang  sama antara Muhammadiyah dan NU antara  lain mengenai
masalah­masalah baru  yang  belum dibahas oleh imam­imam mazhab, seperti
masalah bayi tabung, transplantasi organ tubuh, KB dan lain­lain.
NU dan Muhammadiyah ke Depan ?
Muhammadiyah dan NU, dalam menatap harapan masa depan, yaitu :
1. Antara kedua golongan, ketika mempertanyakan dan mempermasalahkan sesuatu, jangan sebatas, apa dimana, kapan atau siapa saja, namun perlu diperluas dan dikembangkan menjadi, mengapa/kenapa demikian, lebih banyak bermanfaat mana, mengapa terjadi, mengapa bisa begitu dan analisis-analisis kritis lainnya, sehingga jawaban dari pertanyaan tersebut nanti akan dapat memahami perbedaan, lebih bijaksana dan memotivasi dan mendorong untuk ber “fastabiqul al khoirut”.
2. Sifat introspeksi harus lebih didahulukan dari pada sifat ekstrospeksi, maksudnya menilai dan mengevaluasi organisasinya organisasi orang lain. Jika ini yang kita lakukan maka kita akan lebih berupaya memperbaiki diri sendiri, mengakui kekurangan sendiri, berupaya memperbaiki dan membina kader penerus pergerakan organisasinya, memperbaiki sistemnya dan segera berbuat untuk kemaslahatan ummat, bukan justru sibuk mengurus rumah tangga orang lain yang belum tentu lebih parah dari rumah tangga sendiri.
3. Bagi tokoh dan pemimpin organisasi harus senantiasa menunjukkan, membuktikan dan mewujudkan sifat dan sikap persatuan dan persaudaraan sebab pada dasarnya organisasi Islam itu bersifat komplementer – saling melengkapi, saling mengisi dan saling membutuhkan. Sikap merasa benar sendiri, sifat fanatisme golongan yang berlebihan, sedikit-demi sedikit perlu diminimalisir.
4. Keberadaan organisasi-organisasi Islam dalam hal ini Muhammadiyah dan NU mempunyai arti yang sangat penting bagi umat Islam di Indonesia, sehingga perlu mendapat kontrol dan perhatian yang lebih dari umat Islam Indonesia, agar tidak terjebak kepada kepentingan sesaat, yang dapat mencoreng agama Islam. Dalam bidang akademis, harus ada penelitian yang bersifat kontinue terhadap organisasi-organisasi Islam agar mendapat masukan dalam kerangka akademis untuk menunjang kemajuan organisasi-organisasi Islam, khususnya Muhammadiyah dan NU.
5. Selamat berlomba, siapa yang paling mulia ?
Ikhtitam
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ » . قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لاَ ، وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِى اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ
Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.” “Engkau juga tidak wahai Rasulullah?”, tanya beberapa sahabat. Beliau menjawab, “Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah.”(HR Bukhari-Muslim)
Sumber:1.Al-Qur’an Hadits 2.http://muhaimin-mz.blogspot.com 3.http://islamlib.com
JAKARTA 16/4/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman