Selasa, 03 Maret 2015

SUFI MERASA TAKUT




ORANG SUFI TIDAK TAKUT NERAKA ?


وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

"Beribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (kematian)". [al-Hijr/15 : 99]
Firman-Nya, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (Q.s. Fathir: 28).
Karena itu sebagian salaf berkata:
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِالْحُبِّ وَحْدَهُ فَهُوَ زِنْدِيْقٌ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالرَّجَاءِ وَحْدَهُ فَهُوَ مُرْجِئٌ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالْخَوْفِ وَحْدَهُ فَهُوَ حَرُوْرِيٌّ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالْحُبِّ وَالْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ مُوَحِّدٌ.
“Siapa yang beribadah kepada Allah dengan cinta semata maka  dia  adalah zindiq[1]),  dan  siapa  yang  beribadah kepada Allah dengan raja’ [harapan] semata maka dia adalah murjiah[2]) dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan takut semata maka dia adalah haruri [3]), dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan cinta, harap dan takut, maka dia adalah mu’min sejati”
Muqaddimah
Dalam Al-Qur’an dan Hadits soal syurga dan neraka disebut berkali-kali dalam berbagai ayat dan surat. Tentu saja, sebagai janji dan peringatan Allah swt. Namun memahami ayat tersebut atau pun hadits Nabi saw, harus dilihat dari berbagai sudut pandang, tidak sekadar formalisme ayat atau teks hadits saja.
Contoh soal rasa takut. Dalam Al-Qur’an disebut beberapa kali bentuk takut itu. Ada yang menggunakan kata Taqwa, ada yang menggunakan kata Khauf dan ada pula Khasyyah, dan berbagai bentuk kata yang ditampilkan Allah Ta’ala yang memiliki hubungan erat dengan bentuk takut itu sendiri, sesuai dengan kapasitas hamba dengan Allah Ta’ala. Makna takut dengan penyebutan yang berbeda-beda itu pasti memiliki dimensi yang berbeda pula, khususnya dalam responsi psikhologi keimanan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, berkaitan dengan frekwensi dan derajat keimanan seseorang.
Kalimat Naar tanpa disandari oleh Azab, juga berbeda dengan Neraka yang ansickh belaka. Misalnya kalimat dalam ayat di surat Al-Baqarah, “Wattaqun Naar al-llaty waquduhannaasu wal-Hijarah” dengan ayat yang sering kita baca, “Waqinaa ‘adzaban-Naar,” memiliki dimensi berbeda. Ayat pertama, menunjukkan betapa pada umumnya manusia, karena didahului dengan panggilan Ilahi ”Wahai manusia”. Maka Allah langsung membuat ancaman serius dengan menyebutkan kata Naar. Tetapi pada doa seorang beriman, “Lindungi kami dari siksa neraka,” maknanya sangat berbeda. Karena yang terakhir ini berhubungan dengan kualifikasi keimanan hamba kepada Allah, bahwa yang ditakuti adalah Azabnya neraka, bukan apinya. Sebab api tanpa azab, jelas tidak panas, seperti api yang membakar Ibrahim as.
Oleh sebab itu, jika seorang Sufi menegaskan keikhlasan ubudiyahnya hanya kepada Allah, memang demikian perintah dan kehendak Allah. Bahwa seorang mukmin menyembah Allah dengan harapan syurga dan ingin dijauhkan neraka, dengan perpekstifnya sendiri, tentu kualifikasi keikhlasannya di bawah yang pertama. Dalam berbagai ayat mengenai Ikhlas, sebagai Ruh amal, disebutkan agar kita hanya menyembah Lillahi Ta’ala. Tetapi kalau punya harapan lain selain Allah termasuk di sana harapan syurga dan neraka, sebagai bentuk kenikmatan fisik dan siksa fisik, itu juga diterima oleh Allah. Namun, kualifikasinya adalah bentuk responsi mukmin pada syurga dan neraka paling rendah.
Rabi’ah Adawiyah dan para Sufi lainnya ingin membersihkan jiwa dan hatinya dari segala bentuk dan motivasi selain Allah yang bisa menghambat perjalanan menuju kepada Allah. Dengan bahasa seni yang indah dan tajam, mereka hanya menginginkan Allah, bukan menginginkan makhluk Allah. Amaliyah di dunia sebagi visa syurga hanyalah untuk menentukan kualifikasi kesyurgawiannya, bukan sebagai kunci masuk syurganya. Karena hanya Fadhal dan RahmatNya saja yang menyebabkan kita masuk syurga. “karena Fadhal dan Rahmat itulah kamu sekalian bergembira…” Demikian dalam Al-Qur’an. Bukan gembira karena syurgaNya.
Esensi Khauf ?
Esensi rasa takut (khauf) adalah rasa pedih dan terbakarnya hati disebabkan oleh kejatuhannya pada situasi yang dibenci pada masa yang akan datang. Rasa takut itu dapat bersumber dari mengalirnya dosa-dosa yang tiada pernah berhenti. Adakalanya, rasa takut kepada Allah Swt. itu bersumber dari ma’rifat terhadap sifat-sifat-Nya. Ini benar-benar khauf paling sempurna, karena orang yang mengenal Allah, pasti takut kepada-Nya.
Karena itu, Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (Q.s. Fathir: 28).
Allah Swt. telah menurunkan wahyu kepada Nabi Daud As, “Takutlah kepada-Ku seperti kamu takut pada binatang buas!”
Itulah sebabnya Rasulullah Saw. bersabda, ”Aku adalah orang yang paling takut di antara kalian kepada Allah swt.”
Terapi pencapaian khauf ada dua tahapan; satu diantaranya adalah ma’rifat terhadap Allah. Ma’rifat ini pasti menyebabkan khauf Orang yang terjerembab ke sarang binatang buas, dimana ia telah tahu dan kenal terhadap binatang itu, tidaklah butuh terapi khusus agar ia menjadi takut pada binatang itu.

Ketika Allah menciptakan api neraka, hati para malaikat terbang dari tempatnya, kemudian kembali lagi ketika Allah menciptakan Adam As. Gemuruhnya hati Nabi Ibrahim as. ketika salat terdengar dari jarak satu mil.
Nabi Daud As. tetap sujud selama empatpuluh hari tanpa mengangkat kepalanya, hingga air mata beliau dapat menumbuhkan rumput.
Abu Bakar As-Shiddiq ra, pernah berkata kepada seekor burung, andaikata aku sepertimu wahai burung, dan aku tidak pernah menjadi makhluk?”
Abu Dzar ra pernah juga berkata, ”Aku suka andaikata aku adalah pepohonan yang dipotong-potong.”
Aisyah ra berkata, ”Aku suka andaikata aku menjadi barang yang tidak berarti dan dilupakan.”
Khauf merupakan cambuk yang menggiring seorang hamba pada kebahagiaan. Tidak seharusnya takut itu diabaikan, hanya karena putus asa. Tindakan itu merupakan perilaku yang tercela. Bahkan ketika khauf menguasainya, harus dicampur dengan rasa harap (ar-raja’).

Akidah mereka tentang Syurga dan Neraka ?
Seluruh Sufi meyakini bahwa mencari syurga adalah upaya yang banyak mengurangi kesempurnaan. Seorang Wali tidak boleh berusaha menuju dan mencari syurga. Sufi yang mencari syurga berarti kurang sempurna. Yang mereka cari hanyalah cinta, ketidakberdayaan di haribaan Allah, membuka tabir keghaiban dan berkuasa atas alam ini. Itulah syurga yang diyakini para Sufi.
Mereka juga meyakini bahwa menjauhi neraka tidak selayaknya dilakukan oleh Sufi yang sempurna. Karena rasa takut akan neraka akan seorang budak. Neraka bagi mereka tidak panas. Bahkan diantara Sufi ada yang bersombong diri, bahwa seandainya ia meludah di neraka, maka akan memadamkannya seperti yang dikatakan al-Busthamy. Adapun Sufi yang berakidah Wihdatul Wujud, diantara mereka ada yang berkeyakinan bahwa neraka bagi yang memasukinya itu nyaman dan nikmat, tidak kurang dari kenikmatan orang yang masuk syurga. Itulah akidah Ibnu Araby, seperti yang ia nyatakan dalam Fushusul Hikam.
Syurga bagi kaum Sufi adalah Ma’rifatullah dengan derajat kema’rifatan yang berbeda-beda. Karena nikmat tertinggi di syurga adalah Ma’rifat Dzatullah. Jadi kalimat Rabi’ah Adawiyah tentang ibadah tanpa keinginan syurga adalah syurga fisik dengan kenikmatan fisik yang selama ini kita persepsikan. Dan hal demikian memang bisa menjadi penghalang (hijab) antara hamba dengan Allah dalam prosesi kema’rifatan.
Rabi’ah Adawiyah dan para Sufi lainnya ingin membersihkan jiwa dan hatinya dari segala bentuk dan motivasi selain Allah yang bisa menghambat perjalanan menuju kepada Allah. Dengan bahasa seni yang indah dan tajam, mereka hanya menginginkan Allah, bukan menginginkan makhluk Allah. Amaliyah di dunia sebagai visa syurga hanyalah untuk menentukan kualifikasi kesyurgawiannya, bukan sebagai kunci masuk syurganya. Karena hanya Fadhal dan RahmatNya saja yang menyebabkan kita masuk syurga. “karena Fadhal dan Rahmat itulah kamu sekalian bergembira…” Demikian dalam Al-Qur’an. Bukan gembira karena syurgaNya.
Syurga dan neraka adalah makhluk Allah. Apakah seseorang bisa wushul (sampai kepada) Allah, manakala perjalanannya dari makhluk menuju makhluk? Apakah itu tidak lebih dari sapi atau khimar yang menjalankan roda gilingan, yang berputar-putar terus menerus tanpa tujuan? Nah anda bisa merenungkan sendiri, betapa tudingan-tudingan mereka yang anti tasawuf soal persepsi syurga dan neraka ini, bisa terbantahkan dengan sendirinya, tanpa harus berdebat lebih panjang.
Ikhtitam
رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Robbanaa aatina fid dunyaa hasanah, wa fil aakhiroti hasanah, wa qinaa ‘adzaban naar.” (Ya Allah, berikanlah kepada Kami kebaikan di dunia, berikan pula kebaikan di akhirat dan lindungilah Kami dari siksa neraka)

Sumber:1.Al-Qur’an Hadits 2.http://zadul-tauhid.blogspot.com 3.http://yuksholat5.blogspot.com
JAKARTA 4/3/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman