Senin, 02 Maret 2015

SUFI BERTAUBAT




TAUBATNYA PARA SUFI ?




يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

“Wahai orang-orang yang beriman bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sungguh-sungguh.” (QS. At-Tahrim : 8)

Menurut al-Şiddiqî al-Syafi’Î (W. 1057 H), orang yang kembali kepada Allah dari al-mukhâlafȃt, karena takut terhadap siksa Allah, disebut al-tâ’ib. Orang yang kembalinya kepada Allah karena rasa malu kepada Allah, disebut al-munîb. Dan orang yang kembali kepada Allah karena memuliakan keagungan Allah, disebut al-awwâb.

Muqaddimah

Kata dari “Taubat” dalam bahasa Arab berarti “kembali”. Taubat adalah kembali kepada Allah setelah melakukan maksiat. Taubat marupakan rahmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya agar mereka dapat kembali kepada-Nya. Taubat adalah maqam awal yang harus dilalui oleh seorang salik. Sebelum mencapai maqam ini seorang salik tidak akan bisa mencapai maqam-maqam lainnya. Karena sebuah tujuan akhir tidak akan dapat dicapai tanpa adanya langkah awal atau pintu masuk yang benar.

Pada tahap tawbah ini seorang sufi membersihkan dirinya (tazkiyyah al-nafs)
daripada perilaku yang menimbulkan dosa dan rasa bersalah. Tawbah juga
merupakan sebuah terma yang dikembangkan para salikin (orang-orang
menuju Tuhan) untuk mencapai maqamat berikut yang akan dihuraikan
selepas ini.
Tawbah itu sendiri mengandungi makna “kembali”; dia bertawbah bererti
dia kembali. Jadi tawbah adalah kembali daripada sesuatu yang dicela oleh
Syara’ menuju sesuatu yang dipuji olehnya. Al-Junayd al-Baghdadi seorang
ahli sufi pernah ditanya tentang tawbah. Dia menjawab: “Tawbah adalah
menghapuskan dosa seseorang.” Pertanyaan yang sama juga diajukan kepada
Sahl al-Tustari seorang ahli sufi katanya: “Tawbah bererti tidak melupakan
dosa seseorang”. Tawbah menurut Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah pula adalah
“kembalinya seseorang hamba kepada Allah dengan meninggalkan jalan
orang-orang yang dimurkai Tuhan dan jalan orang-orang yang tersesat.
Taubat Menurut Sufi ?
Taubat adalah tahap pertama dalam menempuh tahap-tahap berikutnya.

1.Al-Hujwiri mengatakan tiada ibadah yang benar apabila tidak disertai pertaubatan. Taubat adalah tahap pertama di dalam jalur ini. Ia berpendapat bahawa terdapat tiga hal yang termasuk dalam taubat:

Pertama : taubat karena ketidaktaatannya,

kedua : memutuskan untuk tidak melakukan dosa lagi,

ketiga : segera meninggalkan perbuatan dosa itu.

Ada banyak definisi taubat di kalangan sufi, Abul Husain an-Nuri, mengungkapkan definisi tentang taubat. "Taubat adalah menolak dari semua, kecuali Allah yang Maha Tinggi", dan pemikiran yang sama dari penyesalan tahap tertinggi adalah berbeza sama sekali dari yang biasa terjadi, sebagaimana ditemukan dalam suatu pernyataan, "Dosa-dosa bagi mereka yang dekat dengan Allah s.w.t. adalah suatu perbuatan baik yang pada tempatnya". Sedang al-Ghazali menyatakan, bahawa hakikat taubat adalah kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari jalan yang jauh menuju jalan yang dekat.

2.Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pernah mengatakan bahawa taubat yang murni itu mengandungi tiga unsur:

Pertama : taubat yang meliputi atas keseluruhan jenis dosa, tidak ada satu dosa pun melainkan bertaubat karenanya;

Kedua : membulatkan tekad dan bersungguh-sungguh dalam bertaubat, sehingga tiada keraguan dan menunda-nunda kesempatan untuk bertaubat; dan

Ketiga : menyucikan jiwa dari segala kotoran dan hal-hal yang dapat mengurangi rasa keikhlasan, khauf kepada Allah s.w.t dan menginginkan kurnia-Nya.

Salah satu unsur taubat yang harus dipenuhi adalah adanya penyesalan diri atas dosa-dosa yang dilakukan kepada Allah s.w.t. Sebagaimana yang dikatakan al-Qusyairi, "Menyesali kesalahan adalah cukup untuk memenuhi syarat pertaubatan", demikian kata mereka yang telah melaksanakannya, kerana tindakan tersebut mempunyai akibat berupa dua syarat yang lain. Artinya, orang tidak mungkin bertaubat dari suatu tindakan yang tetap dilakukan atau yang ia mungkin bermaksud melakukannya. Inilah makna taubat secara umum.

3.Bila dilihat kepada Rabi'ah, saat itu hatinya merasa gelisah untuk menemukan jati dirinya, kerana dia berada di antara rasa optimistik dan ragu atas taubat yang akan diterima Allah s.w.t. Oleh kerana itu, di dalam taubatnya, Rabi'ah selalu mengiringi kata-kata sebagai berikut :
Aku mohon ampun kepada Allah oleh perkataanku yang kurang benar, aku mohon ampun, ya Allah.

Setelah Rabi'ah melakukan taubat, dia sentiasa bersikap berhati-hati di dalam tutur kata, jangan sampai setiap perkataan yang diucapkannya itu tidak benar. Sikap beri-hati Rabi'ah ini boleh dilihat daripada kata-katanya yang berbunyi:

Permohonan ampun yang kami lakukan memerlukan permohonan ampun yang lain oleh karena adanya tidak mungkin tidak benar.Rabi'ah sentiasa menyerahkan segala urusannya kepada Allah s.w.t dan keadaan itu sudah menjadi kebiasaannya. Bagi Rabi'ah taubat ialah kurnia Allah s.w.t dan anugerah rabbaniyyah yang dikhususkan untuk hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki.

Berkatalah seorang kepada Rabi'ah, "Sesungguhnya aku telah berbuat dosa dan [i]maksiat. Andaikata akau bertaubat, apakah taubatku akan diterima?"[/i].

Rabi'ah menjawab:"Tidak, akan tetapi kalau Dia akan menerima taubatmu, tentu engkau akan bertaubat".

Nampaknya, konsep taubat Rabi'ah ini dapat dirujuk kepada ayat al-Qur'an yang bermaksud:"Lalu Allah menerima taubat mereka, agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang".

4.Sementara Dzun-Nun al-Misri (w. 860 M.) mengatakan,"taubatnya orang awam itu dari dosa, taubatnya orang istimewa (khawash) dari kelalaian". Sedang taubatnya para Nabi dari tidak mendekatkan diri kepada Tuhannya.
5.Ilmu dan penyesalan, serta tekad untuk meninggalkan perbuatan dosa saat ini dan masa akan datang, serta berusaha menutupi perbuatan masa lalu mempunyai tiga makna yang berkaitan dengan pencapaiannya itu. Secara keseluruhan dinamakan taubat. Banyak pula taubat itu disebut dengan makna penyesalan saja. Ilmu akan dosa itu dijadikan sebagai permulaan, sedangkan meninggalkan perbuatan dosa itu sebagai buah dan konsekwensi dari ilmu itu. Dari itu dapat dipahami sabda Rasulullah Saw : " Penyesalan adalah taubat" (Hafizh al 'Iraqi dalam takhrij hadits-hadits Ihya Ulumuddin berkata: hadits ini ditakhrijkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan al Hakim. Serta ia mensahihkan sanadnya dari hadits Ibnu Mas'ud. Dan diriwayakan pula oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim dari hadits Anas r.a. dan ia berkata: hadits ini sahih atas syarat Bukhari dan Muslim), karena penyesalan itu dapat terjadi dari ilmu yang mewajibkan serta membuahkan penyesalan itu, dan tekad untuk meninggalkan dosa sebagai konsekwensinya. Maka penyesalan itu dipelihara dengan dua cabangnya, yaitu buahnya dan apa yang membuahkannya." (Ihya Ulumuddin (4: 3,4), cetakan: Darul Ma'rifah, Beirut).
6.Abu Ya’qub Yusuf bin Ham.dan as-Susi -rochimahul-looh- berkata, ''Kedudukan spiritual (maqam) pertama dari berbagai kedudukan spiritual yang harus ditempuh oleh orang-orang yang mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allooh adalah taubat.'' Sementara itu, as-Susi ditanya tentang taubat, maka ia menjawab, ''Taubat adalah kembali dari segala sesuatu yang dicela oleh ilmu (syariat) untuk menuju pada apa yang dipuji oleh ilmu.'' Sahl bin Abdullooh ditanya tentang taubat, ia menjawab: ''Taubat adalah hendaknya engkau jangan melupakan dosamu.'' Tetapi Abul Qosim al-Junayd ketika ditanya tentang taubat justru mengatakan, ''Taubat adalah melupakan dosamu.

7.Syaykh Abu Nashr as-Sarraj -rah- menjelaskan: Jawaban as-Susi tentang taubat adalah dimaksudkan untuk taubatnya para 'murid' yang pada tahap mencari dan baru pada tahap awal dalam merambah jalan Allah, yang belum istiqamah dalam melakukan ketaatan kepada Allah. Hal ini maksudnya sama dengan jawaban Sahl bin Abdullah, senantiasa mengingat dosa bagi para murid dimaksudkan agar senantiasa berharap kemurahan dan ampunan Allah. Adapun jawaban al-Junaid, bahwa taubat adalah melupakan dosa, merupakan jawaban taubat bagi orang-orang yang sanggup mencapai kebenaran hakiki (al-mutachaqqiqiyn). Secara syariat mereka telah terbiasa menjaga diri dari berbuat dosa, mereka tidak lagi mengingat dosa-dosa mereka karena hati mereka telah disibukkan dengan terus-menerus mengingat Allah
Pembagian dan Pengertian Taubat Menurut Para Ulama ?
  1. Menurut Imam Gazali, menjelaskan taubat adalah kembali dari memperturutkan syahwat dan menaati setan kepada jalan Allah. Al-Gazali membagi taubat menjadi tiga macam yakni :
1.       Taubat, yaitu kembali dari kemaksiatan kepada ketaatan.
2.       Firor, yaitu lari dari kemaksiatan pada ketaatan, dari yang baik ke arah yang lebih baik.
3.       Inabat, yaitu taubat yang berulang kali sekalipun tidak berdosa.
  1. Menurut Zannun Al-Mishri, membagi taubat menjadi dua macam yakni :
1.       Taubat orang awam, yaitu bertaubat dari dosa.
2.       Taubat orang khowas, yaitu mukmin yang beramal semata-mata karena Allah.
  1. Menurut Ibnu Katsir, menjelaskan bahwa taubat adalah menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan menyesali atas dosa-dosanya dan menaati perintah-Nya serta berjanji tidak akan mengulangi perbuatan dosanya.
  2. Menurut Hamka, menjelaskan taubat adalah kembali setelah menempuh jalan yang sangat sesat dan tidak tentu ujungnya.
  3. Menurut A.Jurjani, menjelaskan taubat adalah kembali kepada Allah dengan melepaskan segala keterkaitan diri dari perbuatan dosa dan melakukan semua kewajibannya.
Cara Taubat Menurut  ‘Athaillah ?

Sementara Abu al-Wafa at-Taftazany menjelaskan bahwa ada empat sebab yang menjadikan manusia selalu gelisah;
Pertama; gelisah karena takut kehilangan apa yang dimilikinya, kedua; gelisah karena takut akan masa depan yang tidak disukainya, ketiga; gelisah karena kecewa terhadap prestasi kerja yang tidak mampu memenuhi harapan dan tidak mampu memuaskan jiwanya, keempat; gelisah karena banyak melakukan pelanggaran-pelanggaran dan perbuatan-perbutan dosa.

Cara taubat sebagaimana pandangan Ibn Atha’illah adalah dengan bertafakkur dan berkhalwat. sedang tafakkur itu sendiri adalah hendaknya seorang salik melakukan instropeksi terhadap semua perbuatannya di siang hari. Jika dia mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada Allah, maka hendaknya dia bersyukur kepada-Nya. Dan sebaliknya jika dia mendapati amal perbuatannya berupa kemaksiatan, maka hendaknya dia segera beristighfar dan bertaubat kepada-Nya.

Untuk mencapai maqam taubat ini, seorang salik harus meyakini dan mempercayai bahwa irodah (kehendak) Allah meliputi segala sesuatu yang ada. Termasuk bentuk ketaatan salik, keadaan lupa kepada-Nya, dan nafsu syahwatnya, semua atas kehendak-Nya.

Sedangkan hal yang dapat membangkitkan maqam taubat ini adalah berbaik sangka (husn adz-dzon) kepada-Nya. Jika seorang salik terjerumus dalam sebuah perbuatan dosa, hendaknya ia tidak menganggap bahwa dosanya itu sangatlah besar sehingga menyebabkan dirinya merasa putus asa untuk bisa sampai kepada-Nya.

Ikhtitam
Adapun taubat itu berhimpun atas tiga perkara:
1. Ilmu, yakni mengetahui aib nafsu, mengetahui hukum2 syar'i yg menetapkan tanda2 adanya dosa2mu dan mengetahui perkara pada muqadimah taubat.
2. Hal, yakni perasaan khauf dan razaq pada menyesali akan terbitnya dosa pada dirinya.
3. Fi'il, seketika meninggalkan maksiat itu dan bercita2 tidak akan mengulanginya untuk selama2nya karena Allooh.

Maka dengan demikian, ada dua tipe hamba yang bertaubat, dimana masing-masing berbeda dengan yang lainnya: Pertama, orang yang bertaubat dari segala dosa dan kesalahan. Kedua, orang yang bertaubat dari ketergelinciran dan kelalaian, dan bertaubat dari melihat kebaikan dan ketaatan yang ia lakukan. Taubat akan mengharuskan wara' (menjaga diri dari syubhat). Demikian yang dapat diringkas dari kitab Al-Luma. Sementara itu, pembahasan tentang taubat masih amat luas dan panjang
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ أَكْشَرَ الْاِسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجَا، وَمِنْ كُلِّ ضِيْقٍ مَخْرَ جًَا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْشُ لاَ يَحْتَسِبُ

"Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah)[16] niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitannya kelapangan dan Allah akan memberinya rizki (yang halal) dari arah yang tidak disangka-sangka [17]".
Sumber.1.Al-Qur’an Hadits 2http://harumsuburmewangi.blogspot.com 3.http://belajarilmutasawuf.blogspot.com 4.http://raudhatunnashuha.blogspot.com
JAKARTA 3/3/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman