Kamis, 05 Maret 2015

SUFI BERIBADAH





MUSLIM WAJIB BERIBADAH AWAL AKHIR ?


وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Dan beribadah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) [al-Hijr/15:99]

صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Kerjakanlah shalat dengan berdiri, bila tidak mampu, (kerjakan) dengan duduk. Bila tidak mampu (kerjakan) dengan berbaring [HR. al-Bukhâri no. 1117][4]
Muqaddimah
Ibnu Hazm rahimahullah menerangkan tentang keanehan keyakinan Sufi tersebut. Beliau rahimahullah mengatakan, “Satu sekte Sufi mengklaim bahwa wali-wali Allâh Azza wa Jalla itu lebih utama ketimbang seluruh nabi dan rasul(?!). Mereka mengatakan, “Siapa saja telah mencapai derajat tertinggi dalam kewalian, niscaya seluruh (tanggungan) syariat gugur pada dirinya seperti shalat (lima waktu), puasa (Ramadhân), (membayar) zakat dan lainnya. Perkara-perkara haram semisal zina, minum khamer dan lainnya menjadi halal bagi dirinya. Akibatnya, mereka ini pun menghalalkan menggauli istri-istri orang.”[1]

Inilah aqidah yang sering kali dipakai oleh sebagian masyarakat untuk membela sosok yang mereka tokohkan bila melakukan hal-hal yang tampak jelas melanggar syariat. Mereka mengatakan, “Dia khan wali Allâh, sudah mencapai ma’rifat”. Atau mengelu-elukan seseorang dengan ekstra dengan satu alasan, lantaran telah mencapai derajat ma’rifah meski secara lahiriah tidak tampak dirinya berkomitmen dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
KESALAH fahaman terhadap ilmu tasawuf yang melahirkan tuduhan sesat biasanya bersumber dari ketiada fahaman tentang hakikat tasawuf yang terkait dengan syariah. Anggapan keliru yang beredar, kaum sufi tidak terlalu taat pada syariah, bahkan ada ang menafikan syariah.
Padahal, mempraktikkan syariah pada taraf sempurna itulah akan ditemukan intisari tasawuf. Syariah yang dijalankan dengan sempurna itu tidak sekedar hukum dzahir, tapi juga mementingkan fiqih batin.
Maka, tasawuf yang sebenar merupakan praktik dari syariah itu pada tingkat yang sempurna (ihsan), dzahir dan batin. Antara syariah dan tasawuf memiliki kaiatan erat yang tiada dapat dipisah. Jika dipisah, maka Islam menjadi tidak sempurna.

Muslim Wajib Ibadah ?
Manusia sebagai hamba Allâh Azza wa Jalla , berkewajiban mengabdikan diri kepada al-Khâliq dengan berbagai macam cara yang sudah ditentukan oleh-Nya. Dunia sebagai ladang akhirat juga menguatkan akan hal ini, bahwa penghambaan manusia kepada Allâh Azza wa Jalla Rabbul Alamin tidak boleh berhenti kecuali ketika nafasnya telah dihentikan. Tentang kewajiban beribadah selama hayat masih di kandung badan, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Dan beribadah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) [al-Hijr/15:99]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, “Ayat ini menjadi dalil kesalahan kaum mulhid (pelaku kekufuran) yang berpendapat bahwa pengertian al-yaqîn (dalam al-Hijr 15/99) adalah ma’rifah. (Sehingga menurut versi mereka) siapa saja yang telah mencapai derajat ma’rifah, maka tanggungan (taklîf)nya gugur. Ini adalah bentuk kekufuran, kesesatan dan kebodohan. Para nabi ‘alaihimus salâm dan para sahabat mereka merupakan orang-orang yang paling mengenal Allâh Azza wa Jalla , paling tahu hak-hak dan sifat-sifat-Nya dan segala bentuk pengagungan yang menjadi hak Allâh Azza wa Jalla , meski demikian mereka adalah insan-insan yang paling tinggi penghambaan dirinya kepada Allâh Azza wa Jalla dan paling banyak beribadah dan berbuat kebaikan sampai ajal datang. Yang dimaksud dengan al-yaqîn di sini adalah kematian, seperti yang telah kami kemukakan sebelumnya”.[5]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,, “Sesungguhnya, semakin dekat seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla , maka jihâdnya (kesungguhannya dalam beribadah) akan lebih besar” Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ

Dan berjihadlah kamu pada jalan Allâh dengan jihad yang sebenar-benarnya. [al-Hajj/22:78]

Kemudian beliau t menjadikan potret kehidupan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat sebagai bukti nyata. Beliau t berkata, “Cermatilah kondisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat. Ketika mereka kian menapaki derajat kedekatan kepada Allâh Azza wa Jalla (yang tinggi), maka kesungguhan mereka dalam beribadah semakin tinggi”.
Ikhlas Ibadah Ala Sufi ?

Menurut ulama sufi seperti Rabi'ah Al-Adawiyah, keikhlasan itu terbagi menjadi 3 derajat:

Pertama, beribadah kepada Allah karena mengharap pahala surga dan takut pada siksa neraka.
Kedua, beribadah kepada Allah untuk menghormati-Nya dan mendekatkan diri pada-Nya.
Ketiga, beribadah kepada Allah demi Dia bukan karena mengharap surga-Nya dan bukan karena takut neraka-Nya.

Yang ketiga inilah derajat ikhlas yang tertinggi. Karena, ia merupakan derajat ikhlasnya para siddiqin yaitu orang yang mencacapi keimanan tingkat tinggi.

Dalam ungkapan lain dari ulama sufi disebutkan bahwa orang yang beribadah kerena takut neraka maka itu keikhlasan seorang budak. Sedang yang beribadah karena mengharap surga, maka disebut keikhlasan seorang pedagang.[1]
Syekh Hasyim ‘Asy’ari mengatakan bahwa siapapun ditaklif (dibebani menjalankan) syari’at. Tidak ada perbedaan antara santri, kiai, awam dan wali. Ia mengatakan, “Tidak ada namanya wali yang meninggalkan kewajiban syari’at. Apabila ada yang mengingkari syari’at maka ia sesungguhnya mengikuti hawa nafsunya saja dan tertipu oleh setan”. Orang seperti itu menurutnya tidak perlu dipercaya. Orang yang mengenal Allah Subhahu Wata’ala wajib menjalankan seluruh amal dzahir dan batin (Hasyim ‘Asy’ari, al-Duror al-Muntastiro fi Masa’il al-Tis’u al-‘Asyara, hal. 6).
Ketaatan sempurna kaum sufi melaksanakan kewajiban syariah tersebut dimaksudkan ketaatan secara dzahir dan batin. Aspek lahiriyah meliputi seperti shalat, puasa, haji, zakat, jihad di jalan Allah Subhahu Wata’ala dan lain-lain. Dua aspek ini dipadu menjadi ibadah yang berkualitas ihsan. Aspek batiniyah meliputi keyakinan akan pertemuan dengan Allah, muraqabah (merasa selalu diawasi), ikhlas, tawadhu, dan lain-lain. Ibnu Athoillah mengatakan: “Jika kamu beribadah seperti mendirikan shalat dan membaca al-Qur’an, tetapi kamu tidak bisa merasakan kehadiran Allah dan tidak bisa bertadabbur, berarti dirimu telah dijangkiti penyakit batin, baik itu kesombongan, ujub atau sejenisnya.
Tujuan Ibadah ?
Beribadah karena cinta pada Allah, seperti pandangan ualam sufi di atas, tidak salah. Akan tetapi mencintai Allah bukan satu-satunya induk yang memotivasi seseorang untuk beribadah dan beramal. Seperti disinggung di muka, beribadah karena berharap pahala, dan karena takut neraka juga termasuk ibadah.
Dalil tujuan ibadah menurut Al-Quran adalah sebagai berikut:

1. QS Al-A'raf 7:55
ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً
Artinya: Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.

2. QS Al-Anbiya' 21:90
إِنَّهُـمْ كَـانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَ يَدْعُونَنَا رَغَباً وَرَهَباً وَكَانُـوا لَنَا خَاشِعِيـنَ
Artinya: Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami.
3. QS Al-Anbiya' 21:28
وَهُم مِّنْ خَشْيَتِـهِ مُشْفِقُــونَ
Artinya: .. dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.
4. QS An-Nahl 16:50
يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِــمْ وَيَفْعَلُــونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya: Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).
Ikhtitam
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Dan beribadah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) [al-Hijr/15:99]
Sumber:1.Al-Qur’an 2.http://www.alkhoirot.net 3.http://almanhaj.or.id 4.http://www.hidayatullah.com
JAKARTA 6/3/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman