Senin, 09 Maret 2015

HUKUM BEROBAT YANG HARAM





BAGAIMA  BEROBAT DENGAN BENDA NAJIS ?

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. (QS. Al-A'raf : 157)
إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ، وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obatnya. Dan Allah menetapkan untuk setiap penyakit ada obatnya. Karena itu, carilah obat itu dan jangan berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Daud 3874 dan dinilai dhaif oleh sebagian ulama).
إن الله لم يَجعلْ شفاءَكم فيما حَرم عليكم
Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan obat untuk penyakit kalian dalam benda yang diharamkan untuk kalian. (HR. Bukhari secara Muallaq, 7/110).
Muqaddimah

Terkait dengan pengobatan memakai barang najis (kencing, misalnya), maka hal ini dapat dikaitkan dengan menjaga eksistensi jiwa (nyawa, chifdhunnafs), artinya orang yang sakit itu bisa terancam jiwanya, karenaitu harus berobat sebagai upaya penyembuhan dalam rangka mempertahankan eksistensi jiwanya. Maka dari itu para fuqaha’ sepakat, bahwa berobat itu hukumnya wajib. Mengenai cara yang ditempuh untuk  pengobatan suatu penyakit, maka boleh dengan cara apa saja asal tidak melanggar ketentuan pokok ajaran islam, yakni tidak menempuh jalan syirik. Tetapi dalam pengobatan ini mestinya semua muslim mengerti dan pada dasarnya harus meyakini, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan obatnya. Dan menjadikan obat pada setiap penyakit. Maka berobatlah kamu tetapi jangan berobat dengan yang haram” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidziy, an-Nasa-iy dan al-BAihaqiy dari Abu Darda’). Jadi prinsip ini yang harus di pedomani terlebih dahulu, yakni berobat dengan yang halal, atau tidak berobat dengan yang haram. Tetap jika ada penyakit yang belum ditemukan obatnya, dan baru diketahui obatnya yang justru dari barang haram, maka hal ini tentu masuk dalam kategori perkecualian, dan boleh menggunakan dasar darurat.

Pendapat Berobat dengan yang Haram ?
Secara umum para ulama sepakat mengharamkan benda najis digunakan untuk berobat, kecuali bila dalam keadaan yang bersifat darurat.
Ada begitu banyak dalil yang digunakan untuk mengharamkan pengobatan dengan benda-benda najis, di antaranya adalah sabda Nabi SAW berikut ini :
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءَ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ: إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءُ فَتَدَاوُوا وَلاَ تَتَدَاوُوا بِحَرَامٍ
Dari Abi Ad-Darda' radhiyallahuanhu bahwa Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat. Dan Dia menjadikan buat tiap-tiap penyakit ada obatnya. Maka, makanlah obat, tapi janganlah makan obat dari yang haram. (HR. Abu Daud)
عَنْ طاَرِقِ بْنِ سُوَيدٍ الجَعْفِي أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولُ اللهِ  عَنِ الخَمْرِ فَنَهَاهُ عَنْهَا فَقَالَ: إِنَّمَا أَصْنَعُهَا لِلدَّوَاءِ. فَقَالَ: إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ
Thariq bin Suwaid al-Ja'fi radhiyallahuanhu berkata bahwa dirinya bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hukum minum khamar dan Rasulullah saw. mengharamkannya. Dia bertanya,”Tetapi ini untuk pengobatan.” Maka Rasulullah saw. menjawab, “Khamar itu bukan obat, tetapi penyakit.” (HR. Muslim, Abu Daud, Ahmad, dan Tirmizy)
أَنَّ دَيْلَمْ الحُمَيْرِي سَأَلَ النَّبِيَّ r فَقَالَ : يَا رَسُولَ الله إِنَّا بِأَرْضٍ بَارِدَةٍ نُعَالِجُ فِيْهَا عَمَلاً شَدِيْدًا وَإِنَّا نَتَّخِذُ شَرَابًا مِنْ هَذَا القَمْحِ نَتَقَوَّى بِهِ عَلَى أَعْمَالِنَا وَعَلىَ بَرْدِ بِلاَدِنَا. قَالَ رَسُولُ اللهِ : هَلْ يُسْكِر؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فاَجْتَنِبُوه، قَالَ: إِنَّ النَّاسَ غَيْرَ تَارِكِيْهِ. قاَلَ: فَإِنْ لَمْ يَتْرُكُوهُ فَقَاتِلُوهُمْ
Dailam Al-Humairi bertanya kepada Nabi saw.,”Ya Rasulullah, kami tinggal di negeri yang sangat dingin, tempat kami melawannya dengan perbuatan dahsyat, yaitu dengan cara meminum qamh ini. Khasiatnya bisa menguatkan tubuh kami dan melawan rasa dingin negeri kami.” Rasulullah saw. bertanya, ”Apakah minuman itu memabukkan?” “Ya, memabukkan,” jawabnya. "Tinggalkanlah,” kata Rasulullah saw. “Tapi orang-orang tidak mau meninggalkan minuman itu,” balasnya. Maka Nabi saw. bersabda,”Kalau mereka tidak mau meninggalkan minuman itu, perangilah mereka.” (HR. Abu Daud)
1.Namun ada sedikit pengecualian dari mazhab Al-Hanabilah. Meski tetap sepakat bahwa berobat dengan benda najis itu diharamkan, mazhab ini beranggapan bahwa air kencing unta bukan termasuk benda najis. Sehingga hukumnya boleh digunakan untuk berobat.
Dalilnya adalah bahwa Rasulullah SAW mengizinkan seorang shahabatnya minum air kencing unta sebagai obat untuk penyembuhan.
قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوُا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَهُمُ النَّبِىُّ r بِلِقَاحٍ وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا. متفق عليه
Beberapa orang dari kabilah 'Ukel dan Urainah singgah di kota Madinah. Tidak berapa lama perut mereka menjadi kembung dan bengkak karena tak tahan dengan cuaca Madinah. Menyaksikan tamunya mengalami hal itu, Nabi SAW memerintahkan mereka untuk mendatangi unta-unta milik Nabi yang digembalakan di luar kota Madinah, lalu minum dari air kencing dan susu unta-unta tersebut. (HR. Bukhari Muslim)
Pendapat ini tentu ditentang oleh para ulama lainnya. Dan hadits di atas dijawab bahwa hal itu terjadi sebagai khusushiyah (kekhususan) dalam satu kasus dan tidak berlaku untuk dijadikan sandaran dalam setiap hukum.
2.Menurut madzhab Syafi’i, sebagaimana dijelaskan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ (9/50-51) berobat dengan benda najis selain khamr hukumnya boleh, dengan syarat (1) tidak ada obat yang berasal dari bahan yang suci yang bisa menggantikannya, jika terdapat obat dari bahan yang suci maka haram berobat dengan benda najis, dan (2) jika memang benda najis itu diketahui –secara ilmu kedokteran- berkhasiat obat dan tidak ada obat lain dari bahan yang suci yang bisa menggantikannya.
Pemahaman ini diambil dari hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim tentang orang-orang dari ‘Urainah yang berobat dengan air kencing unta, dan kencing unta menurut madzhab Syafi’i hukumnya najis. Dan mereka memahami hadits ‘Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian dari apa-apa yang diharamkan atas kalian’[1], ‘Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya, maka berobatlah, dan janganlah berobat dengan yang haram’[2], dan ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berobat dengan obat yang kotor (khabits)’[3] adalah jika didapatkan obat dari bahan yang suci, dan jika tidak ada obat tersebut, maka berobat dengan benda najis, selain khamr, hukumnya boleh.
Al-Baihaqi, sebagaimana dikutip oleh an-Nawawi, menegaskan bahwa dua hadits yang disebutkan terakhir, jika shahih, ia adalah larangan berobat dengan sesuatu yang memabukkan dan berobat dengan yang haram tanpa ada kondisi darurat, sebagai bentuk jama’ antara dua hadits tersebut dengan hadits tentang orang-orang ‘Urainah.
Tentang pengecualian khamr dari kebolehan berobat dengan benda najis dalam keadaan darurat, hal ini merupakan pendapat yang shahih menurut jumhur ‘ulama Syafi’iyah, sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi dan ar-Rafi’i. Mereka berdalil dengan hadits riwayat Muslim, dari Wail ibn Hujr radhiyallahu ‘anhu, bahwa Thariq ibn Suwaid al-Ju’fi bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang khamr, dan Rasulullah melarangnya serta membenci pembuatannya, Thariq kemudian berkata, ‘Aku membuatnya sebagai obat’, Rasulullah kemudian menjawab ‘Ia bukan obat, tapi penyakit’.
Jika ada yang menyatakan bahwa dibolehkannya orang-orang ‘Urainah meminum kencing unta menunjukkan sucinya air kencing tersebut, sebagaimana yang dikemukakan kalangan Hanabilah, ulama Syafi’iyah sudah ada jawabannya. Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa air kencing dan kotoran hewan yang halal dimakan dagingnya, hukumnya najis. Mereka menguatkan pendapatnya dengan beberapa hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya hadits riwayat al-Bukhari tentang orang Arab badui yang kencing di masjid Nabawi, dan hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim tentang dua orang yang disiksa di kuburnya, salah satunya akibat ia tidak menjaga diri dari air kencing. Menurut mereka, air kencing yang dianggap najis ini berlaku umum, bukan hanya untuk kencing manusia.
Sedangkan tentang kenajisan kotoran hewan, mereka berargumentasi dengan hadits riwayat al-Bukhari, bahwa suatu waktu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin buang hajat, kemudian beliau memerintahkan Ibn Mas’ud untuk mencari tiga buah batu untuk beliau beristinja. Ternyata Ibn Mas’ud hanya menemukan dua buah batu, kemudian beliau membawa dua buah batu tersebut beserta rautsah (kotoran hewan yang sudah kering) kepada Nabi, kemudian Nabi mengambil dua buah batu itu, dan membuang rautsah tersebut seraya berkata, ‘haadzaa riksun’. Dan ulama Syafi’iyah memahami makna riksun adalah najis, sebagaimana misalnya diungkapkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar di dalam Fathul Bari (1/125). Asy-Syaukani pun, yang notabene bukan dari kalangan Syafi’iyah, dalam Nailul Authar (1/126) menyatakan bahwa sebab dilarangnya menggunakan rauts adalah karena ia najis, dan najis tidak bisa digunakan untuk menghilangkan najis yang lain.
Sebagai penutup, saya kemukakan bantahan an-Nawawi dalam al-Majmu’ (2/549) terhadap argumentasi orang-orang yang menyatakan kesucian air kencing dan kotoran hewan yang halal dimakan dagingnya. Argumentasi pertama dengan hadits dari Anas tentang orang-orang ‘Ukl dan ‘Urainah yang meminum air kencing unta, dijelaskan oleh an-Nawawi bahwa itu adalah untuk pengobatan, dan berobat dengan benda najis selain khamr hukumnya boleh. Sedangkan argumentasi dengan hadits yang diriwayatkan oleh al-Barra’ secara marfu’, ‘Apa saja yang dimakan dagingnya, maka tidak apa-apa (tidak najis) air kencingnya’, dan juga diriwayatkan yang serupa dengannya dari Jabir secara marfu’, dijawab oleh an-Nawawi bahwa kedua hadits itu didhaifkan oleh ad-Daraquthni.
Ikhtitam
إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَل شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhanmu pada apa-apa yang Dia haramkan untukmu. (HR. Bukhari)
Sumber:1.https://abufurqan.wordpress.com 2.http://myfiqhkontemporer.blogspot.com
JAKARTA 10/3/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman