Senin, 12 Januari 2015

KAIDAH-KAIDAH TAFSIR (PT)



MEMAHAMI KAIDAH  TAFSIR AL-QUR’AN
Muqaddimah
Al Quran sebagai pedoman manusia mengandung keindahan dan kehebatan yang sangat luar biasa. Ia disusun dengan bahasa yang sangat indah. Kandungan sastranya yang begitu tinggi membuat orang – orang tidak mampu menandingi kehebatannya. Disamping itu, Al Quran merupakan rujukan dari semua tingkah laku (akhlak) Nabi SAW. Meskipun demikian, karena kehebatannya yang luar biasa itulah, terkadang terdapat masalah – masalah yang belum begitu jelas. Oleh karena itu diperlukan penafsiran terhadap ayat – ayat Al Quan tersebut. Akan tetapi, untuk menghindari terjadinya penafsiran –penafsiran yang tidak sesuai dengan maksud dari kandungan Al Quran tersebut, sehingga dibentuklah kaidah – kaidah sebagai pedoman bagi seorang mufassir untuk menafsirkan. Dengan makalah singkat ini, kami berusaha menyampaikan untuk bersama – sama belajar tentang kaidah – kaidah tersebut. Dengan demikian Al Quran tidak akan kehilangan eksistensinya sebagai kalam Alloh.
Pengertian Kaidah dan Tafsir
Qowaid al tafsir merupakan kata majemuk; terdiri dari kata qowaid dan kata tafsir. Qowaid, secara etimologis, merupakan bentuk jamak dari kata qoi’dah atau kaidah dalam bahasa Indonesia. Kata qo’idah sendiri, secara semantik, berarti asas, dasar, pedoman, atau prinsip(Supiana-M. Paman, Ulumul Qur’an ( Bandung : Pustaka Islamika, 2002), hlm. 273.)
Secara bahasa tafsir mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari aal kata Al-fasr yng berarti  menjelaskan dan mengungkapkan. Menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang absrak( Manna Khalil al qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an ( Bogor : Pustaka Lintera Antar Nusa), hlm. 456.)
Sedangkan menurut istilah sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan, tafsir ialah ilmu yang membahas tentang cara mengungkapkan lafadh-lafadh Al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun serta hal-hal yang melengkapinya( Manna Khalil al qattan. Ibid. Hlm. 456.)
Secara terminologis terdapat banyak difinisi yang di ungkap oleh para ahli, seperti Syaikh Az-Zarqani yang mengungkapkan bahwa tafsir adalah “ suatu ilmu yang membahas perihal Al-Qur’an dari segi dalalahnya sesuai maksud Allah ta’ala berdasar kadar kemampuan manusiawi. Begitu pula imam Al-Qurtubi yang mengatakan, tafsir adalah penjelasan tentang lafadz”. Sedangkan As-Suyuti yang dikutip Al-Dzahabi mendefinisikan tafsir dengan “ ilmu yang membahas maksud Allah ta’ala sesuai dengan kadar kemampuan manusiawi yang mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna”.
Urgensi Kaidah Tafsir
Untuk menekuni bidang tafsir, seseorang memerlukan beberapa ilmu bantu, diantaranya kaidah-kaidah tafsir. Kaidah ini sangat membantu para mufassir  dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Alat bantu lainnya adalah pengetahuan bahasa Arab, karena Al-Qur’an diturunkan menggunakan bahasa tersebut. Selain itu perlu memahami ilmu ushul fiqh. Dengan ilmu ini, seorang mufassir akan memperoleh kemudahan dalam menangkap pesan-pesan Al-Qur’an.                                                                                   
Ibn ‘Abbas, yang dinilai sebagai seorang sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman Allah, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama, yang dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka.kedua, yang tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama.keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.  
Cakupan Kaidah Tafsir
Menurut Qurais Shihab komponen kaidah-kaidah penafsiran Al Qur’an mencakup:
1.    Ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam menafsirkan Al-Quran
2.    Sistematika yang hendaknya ditempuh dalam menguraikan penafsiran
3.    Patokan-patokan khusus yang membantu pemahaman ayat-ayat Al-Quran, baik dari ilmu-ilmu bantu seperti bahasa dan ushul fiqh, maupun yang ditarik langsung dari penggunaan Al-Quran.
Para ahli tafsir berbeda pandangan dalam hal menentukan kaidah-kaidah penafsiran Al-Qur’an. Berikut akan dipaparkan dua orang ulama yang merumuskan kaidah tafsir. Abd ar-Rahman ibn Nasir al-Sa’adi dalam kitabnya al-Qawaid al-Hisan li Tafsir al-Qur’an mengembangkan kaidah-kaidah secara umum melalui pendekatan pemahaman keagamaan secara umum seperti hukum dan tauhid.Beberapa kaidah pokok diklasifikasikan sebagai berikut :
1.    Kaidah yang terkait dengan kebahasaan
2.    Kaidah yang terkait dengan hukum
3.    Kaidah yang berhubungan dengan tauhid
4.    Kaidah yang berhubungan dengan pedoman hidup
Muhammad ibn Alawi Al-Maliki Al-Hasani misalnya, berpandangan bahwa oleh karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab yang jelas, sebagaimana firman Allah dalam QS. Yusuf (10)  : 2,“ sesungguhnya kami menurunkannya berupa al-qur’an dengan bahasa arab, agar kamu memahami “. Maka kaidah-kaidah yang diperlukan para mufassir dalam memahami Al-Qur’an terpusat pada kaidah-kaidah bahasa, pemahaman azas-azasnya, penghayatan terhadap redaksinya dan pengetahuan akan rahasia-rahasia yang dikandungnya.
Kaidah Al Qur’an
1.Kaidah Quraniyah ialah penafsiran al-Quran yang diambil oleh ulumul quran dari al-Quran.
Hal ini didasarkan atas pernyataan Al Quran bahwa pada dasarnya yang mengetahui makna al-Quran secara tepat hanyalah Allah. QS. Al Qiyamah (75) : 19, “Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.”
Jika satu nas menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nas tersebut, sekalipun nas itu turun untuk menanggapi suatu peristiwa tertentu. Kaidah ini dipegangi oleh mayoritas ulama dengan argumentasinya yang bervariatif. Misalnya  pada QS. AL Maidah (5) : 38 “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” 
Menurut riwayat ayat ini turun untuk menanggapi suatu kasus pencurian perhiasan yang dilakukan seorang perempuan bernama Tumah. Persoalan yang muncul dalam hal ini, lafaz yang digunakan berbentuk isim mufrad yang dita’rifkan termasuk kategori lafaz umum.  Jumhur ulama’ menerapkan langsung hukum tersebut tanpa memandang latar belakang dan sabab al-nuzul karena lafaz tersebut berbentuk umum.
Selain pendapat tersebut,  ada ulama’ yang memberikan  analisis berbeda, yaitu dengan mengetahui sebab nuzulnya kemudian menganalisa unsur-unsur yang melingkupinya, baik kualitas peris­tiwa, pelaku, tempat maupun waktunya. Mekanisme pendapat kedua ini lebih banyak menggunakan metode qiyas, karena jika seandainya yang dikehendaki lafaz umum, mengapa Allah masih menunggu peristiwa-peristiwa tertentu.
1)   Kandungan suatu ayat yang memiliki keterkaitan dengan nama Allah menunjukan bahwa hukum yang terkandung ber­kaitan dengan nama yang mulia. Misalnya pada QS. Al Baqarah (2) : 32 , mereka menjawab:“maha suci engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya engkaulah yang maha mengetahui lagi maha bijaksana.” ayat tersebut merupakan dialog Tuhan dengan para malaikat berkenaan dengan pengangkatan Adam sebagai khalifah di bumi. Terhadap upaya Tuhan yang demikian, malaikat heran dan me­ngatakan: “Apakah Engkau akan menjadikan manusia sebagai khalifah, padahal manusia sering membuat kerusakan dan saling membunuh?”. QS. Al Baqarah (2) : 30.  Untuk membuktikan kemahatahuan Tuhan, Dia mengajar Adam nama-nama benda yang tidak diketahui malaikat  Ketidakmampuan malaikat dalam hal ini mengakui kemaha-ta­huan Tuhan, kesempurnaan hikmah-Nya dan membuktikan keterbatasannya.
2)   Kaidah yang bertalian dengan mutasyabihat dan muhkamat
Dalam satu pengertian Al Quran semuanya muhkam, dalam pengertian lain semuanya mutasyabih, tetapi pada pengertian lain lagi sebagiannya muhkam dan sebagian lainnya mutasyabih.
Maksud muhkam, ayat-ayatnya tidak ada yang kontradiksi, semua perintahNya kembali kepada kebaikan manusia dan semua laranganNya kembali kepada kejelekan.  Ungkapan yang menunjukkan semuanya muhkam diantaranya pada QS. Zumar (39): 23,  Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.
Argumen lain yang menyatakan semuanya mutasyabih adalah seperti pada QS. Ali Imran (3) : 7:  “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.  Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
Mutasyabih dalam hal kebaikan dan kejujuran, petunjuk dan kebenaran dan lain-lain. Di samping hal itu juga ada anggapan sebagiannya muhkam dan sebagian lainnya mutasyabih, sebagaimana dalam penjelasan di dalam al-Quran.Misalnya ada ayat yang menjelaskan kekuasaan Allah, sedangkan apa yang Dia kehendaki terjadi dan apa yang tidak dikehendaki tidak terjadi, Allah juga memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki tetapi juga menyesatkan kepada orang yang dikehendaki.
Memahami mutasyabih itu harus setelah memahami ayat-ayat muhkamat. Muhkamat adalah ummul kitab, sebagai sesuatu yang pokok, sedangkan yang mutasyabih adalah sebagai cabang. Memahami yang pokok harus terlebih dahulu dari pada me­mahami cabangnya. Dengan demikian jika menafsirkan suatu ayat mutasyabih, maka terlebih dahulu harus mengetahui ayat yang muhkam sehingga mendapat suatu pengertian yang kongkrit dan mendapat keyakinan yang mendalam tanpa adanya keragu-raguan.
Untuk memahami mutasyabih itu cara mentakwilkannya harus dikembalikan pada muhkamnya. Apabila mufasir sudah mendapat suatu pengertian yang positif dari ayat yang muhkam, maka ia harus menyelidiki dan membahas ayat-ayat mutasyabih dengan berpedoman pada ayat-ayat muhkam.
Kaidah Sunnah
Berdasarkan penjelasan yang ada dalam al-Quran 16:44 dan 64, Muhammad sebagai Rasul yang datang untuk menjelaskan ayat-ayat yang diturunkan Tuhan. Dengan demikian, maka Rasul merupakan sumber penjelas tentang makna-makna al-Quran. Beliau tidak menafsirkan menurut akal pikiran tetapi menurut wahyu ilahi. Dalam hal ini, Abd. Muin Salim menyatakan bahwa pada zaman Rasul ada dua sumber penafsiran yaitu penafsiran yang bersumber pada wahyu al-Quran dan penafsiran yang ditu­runkan kepada Rasul lewat Jibril tetapi bukan ayat al-Quran dan kemudian dikenal dengan al-Sunnah. 
Kaidah yang dipergunakan di antaranya ialah:
1.Sunnah harus dipakai sesuai dengan petunjuk al-Quran
Berdasarkan atas hadis Nabi sebagai penjelas al-Quran, se­cara logika penjelasan itu tidak boleh bertentangan de­ngan  Al Quran sebagai materi yang dijelaskannya.
2.Menghimpun hadis yang pokok bahasannya sama.
Hadis yang dimaksud dalam hal ini adalah hadis yang sahih. Dengan cara mengembalikan kandungan yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengkaitkan yang mutlak kepada yang muqayyad dan menkhususkan yang umum. Dengan demikian akan didapatkan suatu pemahaman yang benar dan utuh berdasarkan suatu ketetapan, bahwa hadis berfungsi menafsirkan Al Quran dan menjelaskan maknanya, menjelaskan makna globalnya, menjelaskan makna yang belum terungkap dan lain sebagainya.
Kaidah Perkataan Sahabat
Mufassir  tidak dibenarkan untuk menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri, dengan meninggalkan hadis. Selanjutnya, apabila terdapat penjelasan sahabat nabi untuk menafsirkan ayat Al Qur’an, ia harus menggunakan penjelasan tersebut sebagai dasar tafsirnya. Hanya saja mengingat banyak riwayat yang tidak benar dari sahabat, diperlukan kehati-hatian dan seleksi yang teliti.
Kaidah Perkataan Tabi’in
Keberadaan perkataan tabiin dalam menafsirkan Al Qur’an ini diperselisihkan. Ada yang berpendapat termasuk tafsir bi al-ma’sur dengan alasan bahwa itu diterima dari sahabat nabi. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai tafsir bi al-ra’yi, seperti tafsir para mufasir lainnya setelah tabiin.
Kaidah Penafsiran Kontemporer
Tafsir kontemporer dapat dikatakan sebagai konsep penafsiran yang dikembangkan oleh para pemikir muslim neo-modernisme atau post-modernisme. Modernisme Islam yang tumbuh dan berkembang pada abad ke-19 memang mampu melahirkan pembaruan pemikiran menuju masyarakat muslim modern. Akan tetapi di sisi lain modernisme masih memiliki celah konservatisme dalam konsep pemurnian Islam. Pendekatan konservatif terhadap konsep ini kembali menarik Islam ke arah pemikiran tradidional yang dikenal dengan istilah puritanisme.
Pada saat umat Islam terjebak pada puritanisme ini muncullah pembaru-pembaru Islam abad ini. Mereka inilah yang dikenal pemikir Islam kontemporer. Dalam hal penafsiran al-Qur’an, terdapat banyak variasi tafsir yang ditawarkan. Para pemikir mampu memberikan alternatif penafsiran yang unik. Di antara para pemikir tersebut adalah Muhammad Shahrur, dan Fazlurrahman.
Berikut ini adalah kaidah khusus tafsir yang dikembangkan oleh keduanya:
Muhammad Shahrur
Muhammad Shahrur mengembangkan metode penafsiran yang disebut dengan intratektualitas dan paradigma-sintagmatis. Kaidah yang digunakan dalam metode ini adalah sebenarnya adalah kaidah dasar tafsir yang juga digunakan dalam penafsiran-penafsiran yang lain, yaitu sebagian ayat al-Qur’an menafsirkan ayat yang lain. Namun yang menjadikannya berbeda adalah analisis yang digunakan. Analisis pemahaman terhadap sebuah konsep dari suatu teks dilakukan dengan cara mengaitkannya dengan konsep dari teks-teks lain yang mendekati atau yang berlawanan (paradigmatik).
Kaidah lain yang dikembangkan oleh Shahrur adalah bahwa di dalam bahasa Arab tidak terdapat sinonim, setiap kata mempunyai kekhususan makna. Bahkan satu kata bisa jadi memiliki lebih dari satu potensi makna. Salah satu faktor yang bisa menentukan makna mana yang lebih tepat dari potensi-potensi makna yang ada ialah konteks logis dalam suatu teks di mana kata itu disebutkan. Inilah yang disebut dengan analisis sintagmatis, yang memandang bahwa makna setiap kata pasti dipengaruhi oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya.
Fazlur Rahman
a)      Metode tafsir yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman dikenal dengan metode gerakan ganda (double movements). Metode ini sangat terkait dengan kaidah khusus yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman dalam memaknai al-Qur’an. Menurutnya esensi al-Qur’an adalah moral yang menekankan pada monoteisme dan keadilan sosial. Barawal dari kaidah ini dikembangkanlah metode gerakan ganda.
b)      Metode ini dikembangkan dengan menarik situasi kontemporer menuju era al-Qur’an diturunkan, lalu ditarik kembali ke masa sekarang. Elaborasi definitif dari metode ini adalah sebagai berikut:
c)      Pertama, memahami arti atau makna dari suatu teks dengan cara mengkaji situasi atau problem historis pada saat itu. Dari kajian tersebut ditarik suatu kesimpulan ke arah nilai-nilai moral, prinsip-prinsip umum dan tujuan jangka panjang.
d)      Kedua, nilai-nilai tersebut kemudian ditarik dalam konteks sosio-historis pada saat sekarang ini dan digunakan untuk mengkaji dan menilai berbagai persoalan kontemporer yang sedang berlangsung.
Di samping dua pemikir di atas masih ada sederetan pemikir Islam kontemporer yang mengembangkan kaidah penafsiran secara unik sesuai dengan perkembangan sosio-historisnya masing-masing. Seperti Nasr Abu Zaid, Farid Esack, Mohammad Arkoun, Bint Syati’ dan lain-lain.
KESIMPULAN
1.Kaidah tafsir dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Oleh karena penafsiran merupakan suatu aktivitas yang senantiasa berkembang, sesuai dengan perkembangan sosial, ilmu pengetahuan dan bahasa, kaidah-kaidah penafsiran akan lebih tepat jika dilihat sebagai suatu prosedur kerja. Dengan pengertian ini, kaidah tersebut tidak mengikat kepada mufasir lain agar menggunakan prosedur kerja yang sama. Setiap mufasir berhak menggunakan prosedur yang berbeda asalkan memiliki kerangka metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan
2.Penerapan kaidah tafsir bergantung pada kaidah yang digunakan oleh para mufasir. Dari berbagai kaidah tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yakni kaidah dasar, kaidah umum dan kaidah khusus. Masing-masing kaidah diterapkan sesuai dengan metode penafsirannya masing-masing
3.Pada era kontemporer kaidah tafsir semakin berkembang seiring dengan perkembangan intelektualitas para pemikir muslim dan juga sesuai dengan perkembangan intelektualitas global. Para pemikir muslim mengembangkan kaidah dan metode penafsiran sesuai dengan situasi sosio-historis yang dihadapinya masing-masing.(makalah islami.blogspot.com)
Jakarta 12/1/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman