Kamis, 20 November 2014

TOMBO ATI KE 3




BERTEMAN DENGAN ORANG2 SHALIH ?


”Dan sungguh Kami telah (putuskan untuk) memuliakan Bani Adam, dan telah Kami kerahkan untuk mereka apa yang ada di darat dan di laut, serta telah Kami berikan kepada mereka rezeki yang halal lagi baik (thayyibat), dan telah Kami unggulkan mereka di atas makhluk-makhluk Kami lainnya yang banyak” (QS. Al Isra: 70)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin Amr al-Ash radhiyallahu’anhuma“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu itu secara tiba-tiba -dari dada manusia- akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan cara mewafatkan para ulama. Sampai-sampai apabila tidak tersisa lagi orang alim maka orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin dari kalangan orang yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-’Ilm [100] dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2673])

Muqaddimah

Allah berfirman: “hai orang-orang yang beriman jagalah diri dan keluargamu dari siksa api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu” (QS. At-Tahrim: 6)

Bercermin pada Rasul SAW, agar bisa menjadi pemimpin keluarga yang berhasil, orang tua harus mampu menjadi teladan. Keteladanan orang tua memiliki pengaruh sangat besar bagi perkembangan kepribadian anak-anaknya. Seorang anak yang lahir, tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang temperamental, pada umumnya ketika dewasa ia pun akan menjadi sosok yang mudah meledak-meledak, gampang marah dan sulit mengendalikan emosi. Berbeda dengan, anak-anak yang lahir, tumbuh dan di besarkan dalam lingkungan keluarga yang dipenuhi kelemahlembutan, saat dewasa ia pun akan menjadi pribadi yang penyabar, penuh cinta kasih dan mudah memaafkan. Karena, anak-anak belajar (terutama) dari apa yang ia lihat.

Di samping keteladanan, seorang pemimpin yang baik harus memiliki kesabaran. Sabar, bukan berarti, sebagai pemimpin, orang tua diam saja melihat penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan anak-anaknya. Tetapi, sabar berarti, memilih sikap yang paling bijak dan metode yang paling tepat dalam melakukan perbaikan. Rasul SAW mengajari kita bagaimana memberi nasihat yang baik, antara lain, memilih waktu yang tepat, seperti pada waktu makan, ketika di atas kendaraan, dan saat sedang sakit. Dan juga, agar tidak terlalu sering dalam memberi nasihat.

Di samping keteladanan, seorang pemimpin yang baik harus memiliki kesabaran. Sabar berarti, memilih sikap yang paling bijak dan metode yang paling tepat dalam melakukan perbaikan. Rasulullah saw adalah seorang pemimpin yang banyak memberikan teladan dan sangat sabar dalam memimpin keluarga dan dekat dengan fakir-miskin serta banyak sahabat yang menimba ilmu darinya.

Para sahabat hidupnya mulia disisi Allah swt dengan banyak belajar dari Rasulullah saw dan mengamalkan ilmunya dengan penuh keikhlasan. Mereka tawadhu’ dengan ilmunya, mereka dermawan dengan hartanya, mereka sungguh2 berjihad di jalan Allah swt sepanjang hidupnya. Oleh karenanya, bertemanlah dengan orang2 yang shalih, dalam ilmunya, mengamalkan ilmunya dan sangat takut kepada Allah swt.

Belajar dengan orang2 yang berilmu

Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Abud Darda’radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh keutamaan seorang ahli ilmu di atas ahli ibadah adalah laksana keutamaan bulan purnama di atas seluruh bintang-gemintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris nabi-nabi. Sedangkan para nabi tidak mewariskan uang dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu itu niscaya dia memperoleh jatah warisan yang sangat banyak.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 22)

Ibnu Wahb meriwayatkan dari Imam Malik. Imam Malik berkata: Aku mendengar Zaid bin Aslam -gurunya- menafsirkan firman Allah ta’ala (yang artinya), “Kami akan mengangkat kedudukan orang-orang yang Kami kehendaki.” (QS. Yusuf: 76). Beliau berkata, “Yaitu dengan ilmu.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/133], Umdat al-Qari [2/5], dan Fath al-Bari [1/172])

Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujahid mengenai makna firman Allah (yang artinya), “Allah berikan hikmah kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.”Mujahid menafsirkan, “Yaitu ilmu dan fikih/pemahaman.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 19)

Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujahid tentang maksud firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Dan ulil amri di antara kalian.” Beliau menjelaskan,“Yaitu para fuqoha’ dan ulama.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 21)

Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari al-Hasan, bahwa Abud Darda’radhiyallahu’anhu berkata, “Perumpamaan para ulama di tengah-tengah umat manusia bagaikan bintang-bintang di langit yang menjadi penunjuk arah bagi manusia.” (lihatAkhlaq al-’Ulama, hal. 29)

Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbasradhiyallahu’anhuma, beliau mengatakan, “Seorang pengajar kebaikan dan orang yang mempelajarinya dimintakan ampunan oleh segala sesuatu, sampai ikan di dalam lautan sekalipun.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 43-44)

Faktor Kemuliaan Manusia

1.Pada aspek jalan kemuliaan, manusia telah diberi seperangkat petunjuk (hidayah), yang membimbingnya untuk maju tetapi menghindarkannya dari kesalahan dan penyimpangan. Dia menganugerahkan petunjuk instink agar anak manusia sejak dini dapat memilih yang baik, didukung dengan petunjuk indera sehingga dapat mengamati mana yang berguna dan yang berbahaya, lalu diperkuat dengan petunjuk akal agar dapat mempertimbangkan pilihan yang benar, kemudian dikaruniakannya petunjuk Dinul Islam untuk mengoreksi kelemahan instink, indera dan akal, dan memastikan jalan kemuliaan yang harus ditempuh. Sehingga manusia makin taqarrub kepada Allah dan terhindar dari kemerosotan (deklinasi) kepada “asfala safilin” (QS. Attin: 5), dan iman – amal shalihnyapun terus ditingkatkan.

2.Sisi lain dari faktor kemuliaan manusia, seperti ditulis Sayid Quthub, adalah ri’ayatullah subhanahu wa ta’ala setelah manusia menerima tugas khilafah di muka bumi. Allah memberi waktu yang cukup bagi manusia untuk mengumpulkan prestasi amal shalihnya, dan untuk mengoreksi kekeliruannya dari waktu ke waktu. Dengan kekuatan wa’yu (kesadaran) yang ada dalam dhamir (hati kecil)nya, keikhlasan saling menasehati antar sesama Muslim dan muhlah (kesempatan) yang selalu disediakan Allah, mereka bukan saja mampu kembali ke jalan yang benar (the right track), tetapi dapat meningkatkan prestasi kebajikan.

Orang2 yang dimuliakan

Kemuliaan adalah nikmat. Maka Allah juga akan memilih orang yang pantas untuk mendapat kemuliaan itu. Ada beberapa karateristik orang-orang yang Allah pilih untuk mendapat kemuliaan itu, diantaranya:

1. Rendah Hati (Tidak Sombong)

Ciri-cirinya adalah tidak merendahkan orang lain, tidak menghina orang lain dan berkata baik. Ini hanya bisa dimiliki oleh orang-orang shalih dan beriman. Maka ketika kita ingin mendapat kemuliaan harus bersifat rendah hati.

2. Membiasakan Tahajud

Menjadikan Tahajud sebagai ibadah khusus. Karena ada perbedaan orang yang selalu tahajud dengan yang tidak biasa menjalankannya.

3. Berdoa agar Allah menjauhkan azab dan memohon ampun.

4. Tidak membelanjakan hartanya secara berlebihan. Dalam hal ini, kita harus sederhana, tidak boleh kikir, dan mampu memenuhi kebutuhan diri. Serta rajin bersedekah.

Harus diketahui bahwa harta kita yang sebenarnya adalah harta yang diberikan di jalan Allah. Maka, mari kita biasakan untuk bersedekah.

6. Tidak menyembah Tuhan selain Allah. Dalam hal ini, kita harus menjauhkan diri dari perbuatan syirik, zina dan tidak membunuh. Orang yang melakukan syirik,berzina akan diberi azab oleh Allah kecuali orang yang bertobat.

7. Mengerjakan amal sholeh

8. Tidak memberikan persaksian palsu

9. Tidak bersikap seperti orang yang tuli dan buta ketika diberi peringatan atau teguran dengan ayat-ayat-Nya

10. Bersabar untuk mendapatkan surga, diiringi dengan doa.

Jakarta 20/11/2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman