Selasa, 11 November 2014

AKU INI TUHANMU




 KESAKSIAN Manusia ?
 Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmumengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan demikian itu) agar di hari kiamat kamutidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (Q.S. Al-A’raf: 172)

Manusia pada dasarnya di sisi Tuhan sama-sama sudah disumpah dan kesaksiannya tersurat dalam Al-Qur’an bahwa mereka mengenal Tuhannya dan siap mengesakan kepada-Nya, siap menerima perintah dan larangan-Nya sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an:

øŒÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJ­ƒÍhèŒ öNèdypkô­r&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ

Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmumengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan demikian itu) agar di hari kiamat kamutidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (Q.S. Al-A’raf: 172)

Allah swt mengeluarkan keturunan anak cucu Adam as dari tulang sulbi mereka dalam kadaan bersaksi atas dirinya bahawa Allah adalah Tuhannya, yang Maha merajai mereka dan sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Dia sebagaimana Allah menjadikan fitrah kepadanya dan mengangkat derajat mereka. Allah berfirman (”maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah) ; (tetalah atas) fitrah Allah ayng telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah”)[1]

Di dalam shahihaini dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:”Setiap  anak yang dilahirkan dalam kaadaan fitrah (suci).”[2]

Tetapi setelah manusia berada di muka bumi ini, sebagian mereka tetap beriman kepada Allah swt. dan berbuat baik sehingga hidayah-Nya tetap mengiringi kehidupannya; sebagian mereka tidak beriman dan tidak mengharapkan perjumpaan dengan Allah swt di hari pembalasan nanti dan mereka lebih suka  merasa puas dengan kehidupan dunia ini. Sehingga Allah swt menyiapkan tempat kembali mereka ialah neraka akibat perbuatannya sendiri.



Allah SWT berfirman:

#sŒÎ)ur ¡§tB z`»|¡RM}$# ŽØ9$# $tR%tæyŠ ÿ¾ÏmÎ7/YyfÏ9 ÷rr& #´Ïã$s% ÷rr& $VJͬ!$s% $£Jn=sù $uZøÿt±x. çm÷Ztã ¼çn§ŽàÑ §tB br(Ÿ2 óO©9 !$oYããôtƒ 4n<Î) 9hŽàÑ ¼çm¡¡¨B 4 y7Ï9ºxx. z`Îiƒã tûüÏùÎŽô£ßJù=Ï9 $tB (#qçR%x. šcqè=yJ÷ètƒ ÇÊËÈ

Artinya: Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo’a kepada Kami dalam kadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan. (Q.S. Yunus: 12)

Maka adapun orang yang diberi rezeki oleh Allah berupa hidayah, bimbingan dan taufik tidak termasuk dalam firman diatas, yaitu orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, sebagaimana sabda Rasulullah saw:”Ta’ajjub(mengherankan) bagi orang yang beriman, Allah putuskan(qadha’) kepadanya kecuali kebaikan baginya, sebab bila ia ditimpa bahaya dia sabar dan itu baik baginya dan jika ia ditimpa kesenangan maka dia bersyukur dan itu baik baginya dan semua itu tidak akan terjadi kecuali orang yang beriman.”[3]

Kemudian al-Qur’an merujuk kepada adanya cahaya tauhid dalam diri manusia, yang memancar dari kedalaman jiwanya. Ia menunjukkan bahwa manakala manusia kehilangan sesuatu, dan dia berada dalam kadaan tak berdaya, maka dia memohon pertolongan Allah dengan berdo’a kepada-Nya, baik dengan berbaring, duduk ataupun berdiri. Akan tetapi, kemudian Al-Qur’an mengatakan bahwa orang-orang ini adalah demikian bodoh dan tidak bijaksana hingga segera setelah kesulitan mereka hilang, mereka kembali lalai, seolah-olah dia tidak pernah berdo’a sama sekali dan Tuhan tidak menolong mereka.[4]

Sikap tidak tahu mereka berterima kasih dan alpa inilah yang telah menjadikan tindakan-tindakan tak patut dari para pelaku kejahatan itu tampak baik dimata mereka. Sungguh manusia semacam ini adalah orang-orang yang melampaui batas dan sejelek-jelek balasan terhadap Tuhannya.

Allah SWT sudah mempersiapkan dua jalan bagi manusia, jalan menuju surga dan jalan menuju neraka, tinggal manusia sendiri untuk memilih kedua jalan tersebut, jalan kebaikan dengan tetap berdo’a kepada-Nya baik dalam kadaan kesulitan atau kemudahan dan jalan buruk dengan mengabaikan perintah atau larangan-Nya.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

(#qè?#uäur ¼çm¤)ym uQöqtƒ ¾ÍnÏŠ$|Áym ( Ÿwur (#þqèùÎŽô£è@ 4 ¼çm¯RÎ) Ÿw =Ïtä šúüÏùÎŽô£ßJø9$# ÇÊÍÊÈ

Artinya: …dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya) dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai  orang-orang yang berlebihan. (Q.S. Al-An’am: 141)

Maksud menunaikan haknya dalam ayat ini adalah zakat yang diwajibkan sebagaimana perkataan Ibnu Abbas: “Menunaikan zakat yang difardhukan pada waktu dipetik dan ditimbang.” [5]

Allah swt melarang juga makan yang berlebihan, yang dapat merusak akal dan badan. Tidak hanya larangan berlebihan makan saja tetapi juga larangan berlebihan yang lain sebagaimana komentar al-Qurthubi: “Larangan berlebihan dalam segala hal.” [6]

Makan dan minum yang berlebihan dapat menyebabkan memberi peluang syaitan memasuki pintunya dengan mudah sehingga manusia tersebut mudah meninggalkan perintah dan melanggar larangan agama seperti malas beribadah bangun malam khususnya dan tidak sholeh dengan masyarakat karena kebakhilannya.             Allah SWT berfirman:

(#qãã÷Š$# öNä3­/u %YæŽ|Øn@ ºpuŠøÿäzur 4 ¼çm¯RÎ) Ÿw =Ïtä šúïÏtF÷èßJø9$# ÇÎÎÈ

Artinya: Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Q.S. Al-A’raf: 55)

            Perintah dalam ayat ini, yang menyuruh manusia untuk menyeru Allah secara “tersembunyi” dimaksudkan agar dalam melakukan doa tersebut seseorang menjauhkan diri dari kepura-puraan (riya’) sehingga ia menjadi lebih dekat dengan keikhlasan. Doa itu mesti dilakukan dengan berkonsentrasi dalam kontemplasi(mengosongkan jiwa dari selain Allah) dan penuh perhatian.[7]

Do’a adalah senjata orang-orang yang beriman, maka mohonlah kepada-Nya dengan istiqomah dan sabar, niscaya Allah swt pasti mengabulkan permohonannya asal tidak berlebihan. Do’a seorang yang beriman dengan baik sangka kepada Allah swt dan makan yang halal niscaya diperkenankan oleh Allah swt, bisa di dunia, di akhirat, mintak a dikasih b atau do’anya menjadi ampunan baginya.

Wal hasil, semua do’a orang yang beriman tidak sia-sia di sisi Allah swt yang penting tidak berlebihan dalam memohon seperti tidak meninggalkan usaha dan sabar menerima keputusan dari-Nya serta tidak terlalu keras munajat kepada-nya diiringi dengan merendah diri bukan seperti memanggil-manggil orang yang tuli dan jauh, karena Dia Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana.

Demikian juga, orang-orang yang beriman dilarang mengharamkan atas apa yang dihalalkan oleh Allah swt seperti menggauli istri di waktu malam, makan dan minum disiang hari, sebagaimana sabda Rasulullah saw:”Sesungguhnya diri kalian mempunyai hak, matamu punya hak (untuk tidur), berpuasalah dan berbuka, sholatlah dan tidur, maka barangsiapa yang meninggalkan sunnah (tersebut) kami dia tidak tergolong umat kami.”[8]

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qãBÌhptéB ÏM»t6ÍhsÛ !$tB ¨@ymr& ª!$# öNä3s9 Ÿwur (#ÿrßtG÷ès? 4 žcÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏtF÷èßJø9$# ÇÑÐÈ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Allah telah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Q.S. Al-Maidah: 87)

Firman tersebut diatas mengandung dua kemungkinan pemahaman sebagai mana penjelasan ibnu Katsir dalam tafsirnyanya:”Maksudnya tidak melampaui batas dalam mengekang dirinya dengan mengharamkan apa yang dibolehkan (al-mubahat) sebagaiaman yang dikatakan ulama salaf dan tidak mengharamkan apa yang dihalalkan, oleh karena itu jangan berlebihan makan yang halal tapi ambilah sesuai dengan kebutuhanmu dan jangan berlebihan sebagaimana firman Allah”makanlah dan minumlah dan jangan berlebihan…”[9]

Riwayat Ath-Thabari dari Ikrimah ia berkata:”Adalah orang-orang dulu, di antara sahabat Nabi saw berkeinginan mengebirinya,tidak makan daging dan menjauhi istri-istrinya lalu turunlah ayat diatas.[10]

Allah swt murka kepada orang-orang yang melampaui batas, sedangkan Islam mendorong keseimbangan/pertengahan tidak berlebihan dan juga tidak sederhana sekali.

Allah swt menyuruh orang-orang yang beriman memakan dengan yang halal dan bergizi (thaiyib) dan melarang mengharamkan makanan yang halal untuk khusus dirinya umpama tidak memakan makanan yang bernyawa seperti yang dilakukan orang-orang yang sedang lelakon atau riyadhoh guna mendapatkan apa yang diinginkan. Tetapi jika meninggalkan makanan yang halal itu sebatas latihan saja tidak mengharamkan maka dia tidak tergolong orang yang melampaui batas.

By Abi Umar (7/11/11/2014) bersambung...





[1] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, juz 2, hal. 261

[2] Ibid. juz 2, hal. 261

[3]  Ibid. juz 2. hal. 409

[4]  Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur’an.jilid 7, hal. 28

[5] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafasir, jilid awal.hal.424

[6] Ibid.jilid awal. hal. 424

[7] Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur’an. jilid.5.hal. 470

[8] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, juz 2.hal. 88

[9]  Ibid. juz 2.hal. 88


[10] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafasir. jilid awal.hal.362

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman