Kamis, 13 November 2014

AGAMA DENGAN NEGARA




ANTARA NEGARA DAN BERAGAMA ?

"Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian ni'mat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu menjadi agama bagi kalian." (QS. Al Maa`idah 3)

"Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu." (QS. An Nahl 89).

"Islam tanpa negara adalah bagaikan pohon tanpa buah, atau bagaikan tubuh tanpa nyawa." (Lihat M Al Ghazali, Ma'rakat Al Mushhaf, hal. 68)

Muqaddimah

Hubungan antara agama dan negara seringkali menimbulkan pro-kontra. Kalangan Islamis tentunya akan selalu mendasarkan setiap persoalan -termasuk negara pada- pijakan agama. Sementara kalangan Sekularis walau bagaimanapun tidak bisa membuang agama dalam kehidupannya. Bahkan, betapa pun sempitnya ruang untuk agama yang diberikan oleh kalangan Sekularis, undang-undang (wadl`iyyah) tetap membutuhkan agama dan ketuhanan untuk mengambil kesaksian atau sumpah jabatan kepala negaranya. Hal ini menunjukan bahwa manusia tidak bisa meninggalkan ghorizah tadayun (hasrat glorifikasi) terhadap Tuhan dan agama.

Hubungan antara agama dan negara dalam Islam, telah diberikan teladannya oleh Nabi s.a.w. sendiri setelah hijrah dari Makkah ke Madinah (al-Madinah, kota par excellence). Dari nama yang dipilih oleh Nabi s.a.w. bagi kota hijrahnya itu menun-jukkan rencana Nabi dalam rangka mengemban misi sucinya dari Tuhan, yaitu men-ciptakan masyarakat berbudaya tinggi, yang kemudian menghasilkan suatu entitas sosial-politik, yaitu sebuah negara.

Negara Madinah pimpinan Nabi itu, seperti dikatakan oleh Robert Bellah, seorang ahli sosiologi agama terkemuka, adalah model bagi hubungan antara agama dan negara dalam Islam. Muhammad Arkoun, salah seorang pemikir Islam kontemporer terdepan, menyebut usaha Nabi s.a.w. itu sebagai "Eksperimen Madinah."

Yang tampak paling kontroversial adalah pandangan Dr. Alwi Shihab, Ketua PKB. Mengacu kepada pendapat Ali Abdur Raziq, pengarang kitab Al Islam wa Ushulul Hukm, Alwi berpandangan, pertama, Nabi Muhammad SAW tidak diperintahkan membentuk negara, dan otoritasnya pun hanya di bidang spiritual saja. Kedua, Islam tidak mencanangkan sistem negara tertentu, apakah itu monarki, republik, atau apa pun. Ketiga, bentuk pemerintahan yang didirikan setelah wafatnya Nabi SAW (Khilafah) tidak memiliki landasan doktrin, tetapi hanya berdasarkan pertimbangan pragmatis saja, yang kemudian baru dinyatakan legitimate dari segi doktrin. Keempat, dalam sejarah Islam, pemerintahan yang diberi legitimasi agama (yaitu Khilafah, yang menurutnya seharusnya tidak ada!) bertanggung jawab atas lahirnya tirani. (Ibid., 29/5/99)

Berbeda dari mereka, adalah pendapat Dr. HM. Hidayat Nur Wahid (PK) dan H. Ahmad Sumargono (PBB). Menurut Hidayat, ungkapan Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler mengandung ambivalen dan kontraproduktif. Ungkapan ini menafikan faktor agama dalam kehidupan bernegara, seolah-olah nilai agama boleh dipinggirkan. Sedang Sumargono menyatakan, dalam Islam, agama dan negara tak bisa dipisahkan. (Ibid., 28-29/5/99).

Yang tampak paling kontroversial adalah pandangan Dr. Alwi Shihab, Ketua PKB. Mengacu kepada pendapat Ali Abdur Raziq, pengarang kitab Al Islam wa Ushulul Hukm, Alwi berpandangan, pertama, Nabi Muhammad SAW tidak diperintahkan membentuk negara, dan otoritasnya pun hanya di bidang spiritual saja. Kedua, Islam tidak mencanangkan sistem negara tertentu, apakah itu monarki, republik, atau apa pun. Ketiga, bentuk pemerintahan yang didirikan setelah wafatnya Nabi SAW (Khilafah) tidak memiliki landasan doktrin, tetapi hanya berdasarkan pertimbangan pragmatis saja, yang kemudian baru dinyatakan legitimate dari segi doktrin. Keempat, dalam sejarah Islam, pemerintahan yang diberi legitimasi agama (yaitu Khilafah, yang menurutnya seharusnya tidak ada!) bertanggung jawab atas lahirnya tirani. (Ibid., 29/5/99)

Hubungan Agama dan Negara Menurut Islam

Setidaknya terdapat tiga pandangan hubungan agama-negara, sesuai dengan ketiga ideologi yang ada di dunia dewasa ini; Sosialisme, Kapitalisme, dan Islam,.

Pertama, agama tidak mendapat tempat sama sekali dalam kehidupan bernegara. Sebab agama dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya bagaikan candu bagi masyarakat. Agama dipandang sebagai ilusi belaka yang diciptakan kaum agamawan yang berkolaborasi dengan penguasa borjuis, dengan tujuan untuk meninabobokkan rakyat sehingga rakyat lebih mudah ditindas dan dieksploitir. Agama dianggap khayalan, karena berhubungan dengan hal-hal gaib yang non-empirik. Segala sesuatu yang ada, dalam pandangan ini, adalah benda (materi) belaka. Inilah pandangan ideologi Sosialisme yang telah diadopsi oleh negara-negara sosialis seperti Uni Soviet, RRC, dan sebagainya.

Kedua, agama terpisah dari negara. Pandangan ini tidak menafikan agama, tetapi hanya menolak peran agama dalam kehidupan publik. Agama hanya menjadi urusan pribadi antara manusia dengan Tuhan, atau sekedar sebagai ajaran moral atau etika bagi individu, tetapi tidak menjadi peraturan untuk kehidupan bernegara dan bermasyarakat, seperti peraturan untuk sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem sosial, dan sebagainya. Pandangan ini dikenal dengan Sekularisme, yang menjadi asas ideologi Kapitalisme yang dianut negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Eropa serta negara-negara lain pengikut mereka.

Ketiga, agama tidak terpisah dari negara, sebab agama mengatur segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya aspek politik dan kenegaraan. Agama bukan sekedar urusan pribadi atau ajaran moral yang bersifat individual belaka, melainkan pengatur bagi seluruh interaksi yang dilakukan oleh manusia dalam hidupnya, baik interaksi manusia dengan Tuhan, manusia dengan dirinya sendiri, maupun manusia yang satu dengan manusia yang lain. Keberadaan negara bahkan dipandang sebagai syarat mutlak agar seluruh peraturan agama dapat diterapkan. Inilah pandangan ideologi Islam, yang pernah diterapkan sejak Rasulullah SAW berhijrah dan menjadi kepala negara Islam di Madinah hingga hancurnya Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924. (Lihat Taqiyuddin An Nabhani, Nizhamul Islam, hal. 24-26; juga Abdul Qadim Zallum, Ad Dimuqrathiyah Nizham Kufur, hal. 39-40).

Islam adalah agama yang telah sempurna lagipula menjelaskan segala sesuatu. Artinya, Islam telah menjangkau dan menerangkan peraturan untuk semua perbuatan manusia dalam segala aspek kehidupannya, secara sempurna dan menyeluruh, termasuk di dalamnya aspek kenegaraan. Allah SWT berfirman : "Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian ni'mat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu menjadi agama bagi kalian." (QS. Al Maa`idah 3)

"Islam itu bukanlah sekedar agama (ritual) belaka, akan tetapi ia adalah agama dan (di antaranya adalah) negara. Dan sudah menjadi tabi'at agama Islam, bahwa dia itu mempunyai negara untuk melaksanakan Islam..." (Lihat Abdul Qadir 'Audah, Al Islam wa Audla'una As Siyasiyah, hal. 19)

Syaikh Abdurrahman Al Jaziri dalam kitabnya Al Fiqh 'Ala Al Madzahib Al Arba'ah, juz 5, halaman 614 menegaskan :

"Para imam (yaitu Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardlu, dan bahwa kaum muslimin wajib mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syi'ar-syi'ar agama, dan menolong orang-orang yang dizhalimi..."

Islam Madinah Masa Rasulullah saw

Perdebatan yang sering muncul adalah masalah penerjemahan istilah Madinah secara kontekstual dan politis. Kelompok pertama menyatakan bahwa apa yang disebut sebagai Madinah adalah sebuah ‘negara modern’ dalam pengertian kekuasaan konstitusional. Sementara kelompok kedua mengusung istilah ‘masyarakat madani’ dan mengasimilasikannya dengan konsep ‘civil society’. Tulisan ini tidak bermaksud menjelaskan secara rinci perdebatan tersebut. Melanjutkan pembahasan diatas tentang hubungan antara Negara dan Agama, cukuplah kita berpegang pada kesepakatan istilah ‘Madinah’ (tanpa penambahan istilah negara atau masyarakat) dan berupaya memahaminya.

Menurut Muhammad Arkoun, eksperimen Madinah itu telah menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan sosial-politik yang mengenal pendelegasian wewenang (arti-nya, wewenang atau kekuasan tidak memusat pada tangan satu orang seperti pada sistem diktatorial, melainkan kepada orang banyak melalui musyawarah) dan kehidupan berkonstitusi (artinya, sumber wewenang dan kekuasaan tidak pada ke-inginan dan keputusan lisan pribadi, tetapi pada suatu dokumen tertulis yang prinsip-prinsipnya disepakati bersama). Karena wujud historis terpenting dari sistem sosial-politik eksperimen Madinah itu ialah dokumen yang termasyhur, yaitu Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah), yang di kalangan para sarjana modern juga menjadi amat terkenal sebagai "Konstitusi Madinah." Piagam Madinah itu selengkapnya telah didokumentasikan oleh para ahli sejarah Islam seperti Ibn Ishaq (wafat 152 H) dan Muhammad ibn Hisyam (wafat 218 H).

Menurut Al-Sayyid Muhammad Ma'ruf al-Dawalibi dari Universitas Islam Interna-sional Paris "yang paling menakjubkan dari semuanya tentang Konstitusi Madinah itu ialah bahwa dokumen itu memuat, untuk pertama kalinya dalam sejarah, prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah kenegaraan dan nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal umat manusia."

Ide pokok eksperimen Madinah oleh Nabi ialah adanya suatu tatanan sosial-politik yang diperintah tidak oleh kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama; tidak oleh prinsip-prinsip ad hoc yang dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pe-mimpin, melainkan oleh prinsip-prisip yang dilembagakan dalam dokumen kesepakat-an dasar semua anggota masyarakat, yaitu sebuah konstitusi.

Dalam teori Ibn Taymiyyah, Muhammad s.a.w. menjalankan kekuasaan tidaklah atas dasar legitimasi politik seorang "imam." seperti dalam pengertian kaum Syi'ah (yang sangat banyak berarti "kepala negara"), melainkan sebagai seorang Utusan Allah semata. Karena itu ketaatan kepada Nabi bukanlah berdasarkan kekuasan politik de facto (syawkah), melainkan karena beliau berkedudukan sebagai pengemban misi suci (risalah) untuk seluruh umat manusia, baik mereka yang hidup di masa beliau atau pun yang hidup sesudah beliau, sepanjang zaman. Nabi tidak menunjuk seorang peng-ganti atau menunjuk seseorang yang bukan keluarga sendiri. Kenabian atau nubuw-wah telah berhenti dengan wafatnya Rasulullah s.a.w. Oleh karena itu sumber otoritas dan kewenangan para khalifah adalah berbeda sama sekali dari sumber otoritas Nabi. Abu Bakr,misalnya, hanyalah seorang Khalifat al-Rasul (Pengganti Rasulullah) dalam hal melanjutkan pelaksanaan ajaran yang ditinggalkan beliau, bukan menciptakan tambahan, apalagi hal baru (bid'ah), terhadap ajaran itu. Ia tidak bertindak sebagai manusia biasa. Istilah khalifah sendiri sebagai nama jabatan yang pertamakali dipe-gang oleh Abu Bakr itu, adalah pemberian orang banyak (rakyat), tidak secara lang-sung berasal dari Kitab ataupun Sunnah. Karena itu ia tidak mengandung kesucian dalam dirinya, sebab ia hanya suatu kreasi sosial-budaya saja.

Prinsip-prinsip Islam diatas itu, yang oleh Bellah disebut sebagai "nasionalisme partisipatif egaliter," dengan baik sekali dinyatakan oleh Abu Bakr dalam pidato penerimaan diangkatnya sebagai khalifah. Pidato itu oleh banyak ahli sejarah diang-gap suatu statemen politik yang amat maju, dan yang pertama sejenisnya dengan semangat "modern" (partisipatif-egaliter).

Manusia telah sepakat bahwa Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya telah melakukan hijrah dari negeri tempat asal mereka. Mereka mencari sebuat tempat baru bukan untuk mencari lapangan kerja atau mengundi nasib. Bukan pulsa hijrah mereka itu karena takut atau diusir. Akan tetapi motivasi pertama dan utama mereka adalah iqamatud-diin (menegakkan agama). Dalam sebuah hadith disebutkan: “Aku bermimpi bahwasanya aku berhijrah dari Mekkah ke suatu tempat/ negeri yang banyak ditumbuhi kurma, maka dugaanku tertuju kepada Yamamah atau Hajar, ternyata negeri itu adalah Yastrib.” [R.Bukhari&Muslim]

Kesimpulan

Walhasil, Islam tidak pernah melalaikan dan mendiamkan satu pun perbuatan manusia, apalagi aspek kenegaraan yang sangat berpengaruh atas masyarakat luas. Mengatakan Islam tidak punya konsep negara, sama saja menganggap Islam tidak sempurna. Tentu saja, kesempurnaan Islam tidak berarti semua hukum-hukumnya sudah tersedia secara instan seperti ensiklopedi atau buku pintar, sehingga tinggal diterapkan begitu saja. Tidak demikian, sebab terkadang Islam menjelaskan suatu perbuatan dengan nash Al Qur`an dan As Sunnah, dan terkadang dengan menetapkan amaarah (tanda/isyarat) dalam Al Qur`an dan As Sunnah yang menunjukkan suatu status hukum. Untuk yang kedua ini, kaum muslimin tidak bisa hanya berpangku tangan, tetapi harus mengerahkan daya pikir untuk berijtihad guna mengetahui hukum-hukumnya (Lihat Abdul Qadim Zallum, idem, hal. 32-33).

Imam Al Qurthubi berkata :

"Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya perkara itu (yakni, kewajiban Khilafah) baik di antara umat maupun di antara para imam, kecuali pendapat Al Asham --yang tuli (Arab: "asham"=tuli) terhadap syari'at-- dan siapa saja yang mengambil dan mengikuti pendapatnya." (Lihat Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1, hal. 264)

Jelas, bahwa mendirikan negara Islam (Khilafah/Imamah) merupakan suatu kewajiban yang telah disepakati ulama di segala jaman (lihat Ensiklopedi Ijmak, Sa'di Abu Habieb, Terj. KH. A. Sahal Machfudz & H.A. Musthofa Bisri, Kata Pengantar KH. Abdurrahman Wahid, Pustaka Firdaus, hal. 312). Dan ini, merupakan bukti pula betapa erat dan padunya hubungan agama dengan negara. Agama dan negara tidak terpisahkan dalam Islam!

Sementara itu Imam Al Ghazali menyatakan bahwa agama dan kekuasaan (baca:negara), adalah bagaikan saudara kembar, serta saling membutuhkan satu sama lain. Jadi, keduanya tak terpisahkan. Beliau mengatakan :

"...Oleh karena itu, dikatakan bahwa agama dan kekuasaan adalah bagaikan dua saudara kembar. Dikatakan pula, bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi akan runtuh, sedang segala sesuatu yang tidak berpenjaga akan hilang lenyap." (Lihat Imam Al Ghazali, Al Iqtishad fil I'tiqad, hal. 199)

Wallah al-Musta’an.

Jakarta 13/11/2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman