Senin, 20 Oktober 2014

HIJRAH: PERUBAHAN POSITIF





PESAN HIJRAH

الذين آمنوا وهاجروا وجاهدوا فى سبيل الله بأموالهم وأنفسهم أعظم درجة عند الله وأولئك هم الفائزون.
Artinya: Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.(Q.S. Attaubah:20)
Muqaddimah
Hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah merupakan peristiwa penting yang senantiasa dikenang oleh umat Muslim. Peristiwa itu hingga kini dijadikan tonggak penetapan penanggalan umat Islam. Di balik peristiwa itu, tentunya ada pelajaran yang dapat dipetik dan dipelajari untuk diterapkan dalam kehidupan sekarang ini. Selain dalam urusan sejarah, tata kemasyarakatan, ukhuwah, strategi, dan sebagainya dapat kita teladani dari peristiwa itu.
Maknanya sangat terkait dengan peristiwa Hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah pada tanggal 16 Juli 622M. Secara harfiah peristiwa itu sepertinya hanya suatu perjalanan fisik. Namun lebih dari itu Hijrah memiliki misi dakwah. Secara makna Islami itu merupakan fakta sejarah dalam memperbaiki kualitas kehidupan ummat Islam. Peristiwa itu juga merupakan tonggak kebangkitan Islam. Ketika sampai di Madinah, Rasulullah melakukan syiar Islam dengan cepat lewat masjid yang dibangunnya. Dari masjid itu Rasulullah mengembangkan jiwa umat dengan memperkuat akidah, ibadah, akhlak, keadilan, kesetaraan, persaudaraan dan berlomba-lomba melakukan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran. Itulah fenomena lahirnya fondasi bangunan masyarakat madani.
        Di Madinah pulalah Rasulullah mendeklarasikan Piagam Madinah yang berdimensi politik, agama dan hukum. Dalam segi politik terdapat kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Negara dapat mengakomodasi semua kepentingan masyarakat tanpa membeda-bedakan berdasar suku, kelompok politik, maupun agama. Dari segi agama diatur hubungan penganut agama muslim dan non-muslim. Nabi Muhammad telah memberi contoh dengan tidak memaksakan seseorang dalam beragama. Sementara itu dari segi hukum, negara menerapkan prinsip keadilan. Semua masyarakat diperlakukan sama. Tidak ada perbedaan perlakuan berdasar stratifikasi sosial.
       Gambaran singkat prinsip-prinsip masyarakat madani dengan sumberdaya manusia (SDM) bermutu seperti itu belum tampak sepenuhnya terjadi di Indonesia. Kemiskinan, pengangguran, korupsi, kekerasan sosial, konflik horisontal dan vertikal, dan perbedaan perlakuan hukum masih sering terjadi. Indeks Pembangunan Manusia menurut versi UNDP pun menunjukan posisi Indonesia masih terpuruk. Maunya sih bangsa Indonesia segera berhijrah dari keterpurukan multidimensi ini. Bagaimana agar penerapan tatakelola yang baik dan pemerintahan bersih yang didukung SDM bersih perlu terus diupayakan secara taatasas untuk mencapai kondisi optimum.
       Untuk itu semangat madani seharusnya menjadi titik tolak untuk membangun masyarakat baru yang lebih beradab dan dipenuhi dengan kedamaian. Pengembangan SDM mulai di tingkat keluarga sampai nasional menjadi keharusan. Sistem kendali pembangunan efektif seharusnya menjadi prioritas pemerintah. Dalam kesempatan memasuki tahun baru Islam ini ada baiknya tiap umat Islam menelaah ulang kehidupan untuk berhijrah ke arah yang lebih baik lagi.
Nilai-Nilai Hijarah

Sekarang, perintah hijrah dari Makkah ke Madinah memang sudah tidak berlaku lagi. Tapi, perintah hijrah dalam dimensi lain masih berlaku dan akan terus berlaku hingga hari kiamat. Rasulullah SAW bersabda: ''Tidak ada hijrah setelah fathu Makkah, tetapi yang ada adalah jihad dan niat.'' (HR Bukhari dan Muslim)Secara bahasa, hijrah berarti meninggalkan. Adapun secara istilah, maknanya sangat beragam. Makna yang paling umum, menurut Imam Nawawi, adalah meninggalkan larangan-larangan Allah. Hijrah dalam pengertian inilah yang berlaku hingga hari kiamat.

Berhijrah di jalan Allah (dalam semua dimensinya) mengandung keutamaan yang sangat agung. Allah berfirman: ''Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan, adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (Annisaa': 100)

Ibnu Katsir berkata ketika mengomentari ayat ini: ''Ayat ini mengandung sugesti (motivasi) agar berhijrah dan meninggalkan orang-orang musyrik.'' Ayat ini juga menjelaskan keutamaan berhijrah. Orang yang berhijrah karena Allah, akan mendapatkan garansi dan jaminan hidup dari Allah, di dunia dan di akhirat. Di dunia, ia akan dikaruniai keluasan rezeki. Sedangkan di akhirat, ia akan meraih pahala yang melimpah.
Menurut Ibnu Qayyim al Jauziyyah, hijrah terdiri dan dua jenis besar.
Pertama, hijrah fisik, berupa perpindahan fisik baik personal maupun massal dari satu daerah ke daerah lain.
Kedua, hijrah hati nurani. Hijrah ini tidak sekedar memerlukan perpindahan fisik, melainkan lebih pada orientasi niat dan aktifitas hati. Berhijrah dalam bentuk kedua ini adalah berangkat dari sesuatu yang haram menuju yang halal. Meninggalkan sesuatu yang syubhat menuju yang haq. Mencampakkan sesuatu yang bersifat kemaksiatan dan kekufuran menuju rahmat dan ridha llahi. Menjauhi segala bentuk kedzoliman menuju kemaslahatan dan keadilan. Mencegah yang munkar, menganjurkan yang ma’ruf.
Meninggalkan yang dilarang oleh Allah dan mengerjakan yang diperintahkan-Nya. Memusnahkan tradisi dan budaya Jahiliyyah menuju tradisi dan budaya Islamy. Sebagaimana keterangan sebuah Riwayat yang bersumber dan Sayyidah ‘Aisyah r.a yang menerangkan sebuah hadits Rasulullah SAW “bahwa sesudah penaklukkan Makkah tidak ada lagi hijrah, melainkan yang ada adalah Jihad dan niat” (H.R. Ahmad).
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan, bahwa yang kita perlukan dan harus kita lakukan adalah hijrah rohani dengan cara mengamalkan seluruh ajaran Islam yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW dengan benar dan utuh serta menyeluruh, tidak setengah hari. Berjuang fi Sabilillah dengan harta dan pikiran, berbuat ihsan (kebajikan), melaksanakan semua perintah Allah dalam bentuk ibadah dan amal sholeh serta menjauhi semua yang dilarang oleh Allah SWT. Terakhir adalah menyegerakan tobat dan ingat mati. Dan yang tak kalah pentingnya dan makna hijrah bagi kita Ummat Islam saat ini adalah bagaimana sikap kita dalam memusnahkan tradisi dan budaya jahiliyyah dan kemudian melestarikan tradisi dan budaya yang Islami yang penuh ridho Allah SWT. Situasi batin yang demikianlah yang dirasakan oleh kaum Muslimin ketika berada dalam naungan Negara Madinah yang sepenuhnya tunduk kepada ketentuan Islam yang rahmatan lil ‘alamin itu.
Hijrah itu mempunyai kandungan nilai yang masih relevan hingga saat ini. Hijrah merupakan bentuk dari perjuangan penegakan kebenaran, perjuangan pemberdayaan, dan perjuangan perluasan syiar. Hijrah juga merupakan perwujudan dari perjalanan spiritual untuk menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupan. Pesanku, tingkatkan keimanan untuk menghadapi persoalan-persoalan kehidupan. Pesan ini bersifat universal, baik untuk momen Tahun Baru Hijriah maupun Tahun Baru Masehi.
Pelajaran Berhijrah
Mari kita kembali ke urat at-Taubah [9]: 20 di atas, tentang beberapa pelajaran dari peristiwa hijrah tersebut.
Pertama, Hijrah (هاجروا) dikaitkan dengan kata (آمنوا)  atau iman yang berarti bahwa hijrah harus dilakukan atas dasar iman. Keimanan adalah soal keyakinan, dan keyakinan itu ada di dalam hati. Maka, hijrah sesungguhnya menuntut keyakinan yang kokoh serta kebulatan hati bagi yang ingin menjalankannya. Sebab, hijrah bukanlah perkara mudah, banyak godaan, rintangan dan gangguan dalam mewujudkannya. Lihatlah nabi Muhammad dan para sahabatnya yang harus meninggalkan kampung halamannya, anak dan isterinya, rumah dan hartnya serta pekerjaannya yang tentu saja jika bukan karena keyakinan dan hati yang bulat maka itu tidak akan terlaksana. Begitu juga, hijrah secara personal yang menuntut keyakinan dan kekuatan hati yang penuh. Mislanya, seorang yang selama ini hidup dengan dosa, kemudian ingin berhijrah dari dosa itu dan menjadi orang salih. Maka, dia harus siap menghadapi cemoohan, ledekan temannya, kehilangan sahabat yang selama ini bersamanya atau bahkan juga akan kehilangan pekerjaannya. Jika dia tidak memiliki keyakinan yang kuat dan hati yang kokoh untuk berubah, maka hal itu tidak akan mungkin terlaksana.
Kedua,  hijrah dikaitkan dengan kata (وجاهدوا) atau berjuang yang berarti bahwa hijrah bukan untuk bersenang-senang, tetapi untuk hijrah adalah awal sebuah jihad atau perjuangan. Lihatlah apa yang dilakukan oleh nabi Muhammad dan para sahabatnya pada saat dan setalah hijrah ke Madinah. Mereka harus berhadapan dengan beragam intimidasi kaum Quraish, bahkan harus menghadapai beberapa peperangan besar setelah itu. Begitu juga, jika seseorang ingin hijrah atau merubah dirinya untuk mencapai sukses, maka perubahan itu akan menuntut perjuangan yang ektsra. Seseorang yang sebelumnya hidup malas, dan ingin merubah dirinya menjadi rajin, maka pastilah perubahan itu akan menuntut perjuangan yang keras.
Ketiga, jihad dikaitkan dengan (في سبيل الله) atau di jalan Allah yang menunjukan bahwa tidak semua hijrah dan jihad yang dilakukan manusia di jalan Allah. Seperti halnya sebagian sahabat nabi Muhammad yang hijrah karena ingin memperolah harta dan wanita di Madinah. Dalam kehidupan ini, juga banyak kita temui manusia yang berjuang dengan harta, jiwa dan bahkan nyawanya bukan untuk jalan Allah. Tetapi, untuk sesuatu yang bahkan boleh dikatakan sia-sia belaka. Lihat misalnya, sebagian anak muda yang rela mengucurkan uangnya jutaan rupiah dan menghabiskan tenaga untuk hanya berteriak dalam pertandingan sepak bola di sebuah stadion atau menonton konser seorang artis. Ada anak juga muda yang berjuang menghabiskan uang, waktu, dan tenaganya hanya untuk bermain game online dan seterusnya. Mereka semua berjuang, namun bukan di jalan Allah. Hanya perjuangan di jalan Allah saja yang akhirnya menjadikan seseorang atau sebuah masyarakat meraih kesuksesan
Keempat, Hijrah dan jihad dikaitkan dengan ( الاموال والأنفس) atau harta dan jiwa yang berarti bahwa hijrah dan jihad menuntut pengorbanan harta benda bahkan nyawa. Lihatlah yang dilakukan Ali yang bersedia mengorbankan nyawanya saat menggantikan nabi Muhammad tidur di tempatnya pada malam hijrah tersebut. Begitu juga Abu Bakar yang menghabiskan harta dan kekayaannya untuk hijrah bersama Rasulullah. Begitul juga dengan hijrah seseorang yang ingin merubah dirinya dan mencapai kesuksesan. Bahwa kesuksesan memang menuntut pengorbanan yang tidak sedikit, berupa harta, fikiran, perasaan bahkan juga pengorbanan secara fisik.
Demikian, semoga bermanfaat. Amin. 
Wallohu'alam bish showab.
Jakarta 21/10/2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman