Jumat, 29 Agustus 2014

ETOS KERJA DALAM ISLAM (PAI)




MAKNA ETOS KERJA
A.Muqaddimah
Agama Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja.
Rasulullah SAW bersabda: “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok.” Dalam ungkapan lain dikatakan juga, “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, Memikul kayu lebih mulia dari pada mengemis, Mukmin yang kuat lebih baik dari pada mukslim yang lemah. Allah menyukai mukmin yang kuat bekerja.” Nyatanya kita kebanyakan bersikap dan bertingkah laku justru berlawanan dengan ungkapan-ungkapan tadi.
Padahal dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan etos kerja yang tidak hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh melampaui rel-rel yang telah ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
B. Hakekat Etos Kerja dalam Islam
Ethos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan atas sesuatu.
Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Ethos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya serta sistem nilai yang diyakininya. Dari kata etos ini dikenal pula kata etika yang hamper mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk moral sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuati secara optimal lebih baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.
Dalam al-Qur’an dikenal kata itqon yang berarti proses pekerjaan yang sungguh-sungguh, akurat dan sempurna. (An-Naml : 88). Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut sebagaimana Dawud ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah) kami ke jalan yang lurus (QS. Ash Shaad : 22)
Pengertian Kerja
Kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniawian atau keakhiratan. Kamus besar bahasa Indonesia susunan WJS Poerdarminta mengemukakan bahwa kerja adalah perbuatan melakukan sesuatu. Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah.
Di dalam kaitan ini, al-Qur’an banyak membicarakan tentang aqidah dan keimanan yang diikuti oleh ayat-ayat tentang kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja tersebut dikaitkan dengan masalah kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan hukuman dan pahala di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an juga mendeskripsikan kerja sebagai suatu etika kerja positif dan negatif. Di dalam al-Qur’an banyak kita temui ayat tentang kerja seluruhnya berjumlah 602 kata, bentuknya :
1) Kita temukan 22 kata ‘amilu (bekerja) di antaranya di dalam surat al-Baqarah: 62, an-Nahl: 97, dan al-Mukmin: 40.
2) Kata ‘amal (perbuatan) kita temui sebanyak 17 kali, di antaranya surat Hud: 46, dan al-Fathir: 10.
3) Kata wa’amiluu (mereka telah mengerjakan) kita temui sebanyak 73 kali, diantaranya surat al-Ahqaf: 19 dan an-Nur: 55.
4) Kata Ta’malun dan Ya’malun seperti dalam surat al-Ahqaf: 90, Hud: 92.
5) Kita temukan sebanyak 330 kali kata a’maaluhum, a’maalun, a’maluka, ‘amaluhu, ‘amalikum, ‘amalahum, ‘aamul dan amullah. Diantaranya dalam surat Hud: 15, al-Kahf: 102, Yunus: 41, Zumar: 65, Fathir: 8, dan at-Tur: 21.
6) Terdapat 27 kata ya’mal, ‘amiluun, ‘amilahu, ta’mal, a’malu seperti dalam surat al-Zalzalah: 7, Yasin: 35, dan al-Ahzab: 31.
7) Disamping itu, banyak sekali ayat-ayat yang mengandung anjuran dengan istilah seperti shana’a, yasna’un, siru fil ardhi ibtaghu fadhillah, istabiqul khoirot, misalnya ayat-ayat tentang perintah berulang-ulang dan sebagainya.
Di samping itu, al-Qur’an juga menyebutkan bahwa pekerjaan merupakan bagian dari iman, pembukti bahwa adanya iman seseorang serta menjadi ukuran pahala hukuman, Allah SWT berfirman:
“…barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh…” (Al-Kahfi: 110)
Ada juga ayat al-Qur’an yang menunjukkan pengertian kerja secara sempit misalnya firman Allah SWT kepada Nabi Daud As.
“ Dan Telah kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu…” (al-Anbiya: 80)
Dalam surah al-Jumu’ah ayat 10 Allah SWT menyatakan :
“ Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (al-Jumu’ah: 10)
Pengertian kerja dalam keterangan di atas, dalam Islam amatlah luas, mencakup seluruh pengerahan potensi manusia. Adapun pengertian kerja secara khusus adalah setiap potensi yang dikeluarkan manusia untuk memenuhi tuntutan hidupnya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan peningkatan taraf hidup.
Pada hakikatnya, pengertian kerja semacam ini telah muncul secara jelas, praktek mu’amalah umat Islam sejak berabad-abad, dalam pengertian ini memperhatikan empat macam pekerja :
1) al-Hirafiyyin; mereka yang mempunyai lapangan kerja, seperti penjahit, tukang kayu, dan para pemilik restoran. Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka yang bekerja dalam jasa angkutan dan kuli.
2) al-Muwadzofin: mereka yang secara legal mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai dari suatu perusahaan dan pegawai negeri.
3) al-Kasbah: para pekerja yang menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual beli seperti pedagang keliling.
4) al-Muzarri’un: para petani.
Pengertian tersebut tentunya berdasarkan teks hukum Islam, diantaranya hadis rasulullah SAW dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda, berikanlah upah pekerja sebelum kering keringat-keringatnya. (HR. Ibn Majah, Abu Hurairah, dan Thabrani).
Pendapat atau kaidah hukum yang menyatakan : “Besar gaji disesuaikan dengan hasil kerja.” Pendapat atau kaidah tersebut menuntun kita dalam mengupah orang lain disesuaikan dengan porsi kerja yang dilakukan seseorang, sehingga dapat memuaskan kedua belah pihak.
C. Etika Kerja dalam Islam
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai salah seorang diantara kamu yang melakukan pekerjaan dengan itqon (tekun, rapi dan teliti).” (HR. al-Baihaki)
Dalam memilih seseorang ketika akan diserahkan tugas, rasulullah melakukannya dengan selektif. Diantaranya dilihat dari segi keahlian, keutamaan (iman) dan kedalaman ilmunya. Beliau senantiasa mengajak mereka agar itqon dalam bekerja.
Sebagaimana dalam awal tulisan ini dikatakan bahwa banyak ayat al-Qur’an menyatakan kata-kata iman yang diikuti oleh amal saleh yang orientasinya kerja dengan muatan ketaqwaan.
Penggunaan istilah perniagaan, pertanian, hutang untuk mengungkapkan secara ukhrawi menunjukkan bagaimana kerja sebagai amal saleh diangkatkan oleh Islam pada kedudukan terhormat.
Pandangan Islam tentang pekerjaan perlu kiranya diperjelas dengan usaha sedalam-dalamnya. Sabda Nabi SAW yang amat terkenal bahwa nilai-nilai suatu bentuk kerja tergantung pada niat pelakunya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda bahwa “sesungguhnya (nilai) pekerjaan itu tergantung pada apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tinggi rendahnya nilai kerja itu diperoleh seseorang tergantung dari tinggi rendahnya niat. Niat juga merupakan dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu.
Nilai suatu pekerjaan tergantung kepada niat pelakunya yang tergambar pada firman Allah SWT agar kita tidak membatalkan sedekah (amal kebajikan) dan menyebut-nyebutnya sehingga mengakibatkan penerima merasa tersakiti hatinya.
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya Karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian…” (al-Baqarah : 264)
Keterkaitan ayat-ayat di atas memberikan pengertian bahwa taqwa merupakan dasar utama kerja, apapun bentuk dan jenis pekerjaan, maka taqwa merupakan petunjuknya. Memisahkan antara taqwa dengan iman berarti mengucilkan Islam dan aspek kehidupan dan membiarkan kerja berjalan pada wilayah kemashlahatannya sendiri. Bukan kaitannya dalam pembangunan individu, kepatuhan kepada Allah SWT serta pengembangan umat manusia.
Adapun hal-hal yang penting tentang etika kerja yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
  1. Adanya keterkaitan individu terhadap Allah, kesadaran bahwa Allah melihat, mengontrol dalam kondisi apapun dan akan menghisab seluruh amal perbuatan secara adil kelak di akhirat. Kesadaran inilah yang menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya. Dalam sebuah hadis rasulullah bersabda, “sebaik-baiknya pekerjaan adalah usaha seorang pekerja yang dilakukannya secara tulus.” (HR Hambali)
  2. Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. Firman Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (al-Baqarah: 172)
  1. Dilarang memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus dipekerjakan secara professional dan wajar.
  2. Islam tidak membolehkan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah.
  3. Professionalisme yaitu kemampuan untuk memahami dan melakukan pekerjaan sesuai dengan prinsip-prinsip keahlian. Pekerja tidak cukup hanya memegang teguh sifat amanah, kuat dan kreatif serta bertaqwa tetapi dia juga mengerti dan benar-benar menguasai pekerjaannya. Tanpa professionalisme suatu pekerjaan akan mengalami kerusakan dan kebangkrutan juga menyebabkan menurunnya produktivitas bahkan sampai kepada kesemrautan manajemen serta kerusakan alat-alat produksi
D. 4 Prinsip Etos Kerja

Menurut riwayat Al-Baihaqi dalam ‘Syu’bul Iman’ ada empat prinsip etos kerja yang diajarkan Rasulullah. Keempat prinsip itu harus dimiliki kaum beriman jika ingin menghadap Allah dengan wajah berseri bak bulan purnama.

Pertama, bekerja secara halal (thalaba ad-dunya halalan). Halal dari segi jenis pekerjaan sekaligus cara menjalankannya. Antitesa dari halal adalah haram, yang dalam terminologi fiqih terbagi menjadi ‘haram lighairihi’ dan ‘haram lidzatihi’.

Analoginya, menjadi anggota DPR adalah halal. Tetapi jika jabatan DPR digunakan mengkorupsi uang rakyat, status hukumnya jelas menjadi haram. Jabatan yang semula halal menjadi haram karena ada faktor penyebabnya. Itulah ‘haram lighairihi’. Berbeda dengan preman. Dimodifikasi bagaimanapun ia tetap haram. Keharamannya bukan karena faktor dari luar, melainkan jenis pekerjaan itu memang ‘haram lidzatihi’.

Kedua, bekerja demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban hidup orang lain (ta’affufan an al-mas’alah). Kaum beriman dilarang menjadi benalu bagi orang lain. Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang muda dan kuat tetapi pekerjaannya mengemis. Beliau kemudian bersabda, “Sungguh orang yang mau membawa tali atau kapak kemudian mengambil kayu bakar dan memikulnya di atas punggung lebih baik dari orang yang mengemis kepada orang kaya, diberi atau ditolak” (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, setiap pekerjaan asal halal adalah mulia dan terhormat dalam Islam. Lucu jika masih ada orang yang merendahkan jenis pekerjaan tertentu karena dipandang remeh dan hina. Padahal pekerjaan demikian justru lebih mulia dan terhormat di mata Allah ketimbang meminta-minta.

Ketiga, bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga (sa’yan ala iyalihi). Mencukupi kebutuhan keluarga hukumnya fardlu ain. Tidak dapat diwakilkan, dan menunaikannya termasuk kategori jihad. Hadis Rasulullah yang cukup populer, “Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik melebihi yang dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada diri, keluarga, anak, dan pembantunya kecuali dihitung sebagai sedekah” (HR Ibnu Majah).

Tegasnya, seseorang yang memerah keringat dan membanting tulang demi keluarga akan dicintai Allah dan Rasulullah. Ketika berjabat tangan dengan Muadz bin Jabal, Rasulullah bertanya soal tangan Muadz yang kasar. Setelah dijawab bahwa itu akibat setiap hari dipakai bekerja untuk keluarga, Rasulullah memuji tangan Muadz seraya bersabda, “Tangan seperti inilah yang dicintai Allah dan Rasul-Nya”.

Keempat, bekerja untuk meringankan beban hidup tetangga (ta’aththufan ala jarihi). Penting dicatat, Islam mendorong kerja keras untuk kebutuhan diri dan keluarga, tetapi Islam melarang kaum beriman bersikap egois. Islam menganjurkan solidaritas sosial, dan mengecam keras sikap tutup mata dan telinga dari jerit tangis lingkungan sekitar. “Hendaklah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian harta yang Allah telah menjadikanmu berkuasa atasnya.” (Qs Al-Hadid: 7).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1990, Al-Qur’an dan Terjemahan, Depag RI.
Anonim, 1997, Konsep dan etika kerja dalam Islam, Almadani.
Anonim, 1990, Mengangkat Kualitas Hidup Umat, Jakarta : Dirjen BIMAS Islam.
KH. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja, Jakarta : Gema Insani.
Quraish Shihab, 1998, Wawasan al-Qur’an, Jakarta : Mizan.
Asnan Syafi’I Wagino, Menabur Mutiara Hikmah, Jakarta : Mizan
Kitab Syu’bul Iman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman