Selasa, 03 Juni 2014

PEMIMPIN YANG AGAMIS



PEMIMPIN YANG AMANAH ?

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58-59)
Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Al-An’am:165)

Muqaddimah
Kepemimpinan dalam Al-Qur’an disebutkan dengan istilah Imamah, pemimpin dengan istilah imam. Al-Qur’an mengkaitkan kepemimpinan dengan hidayah dan pemberian petunjuk pada kebenaran. Seorang pemimpin tidak boleh melakukan kezaliman, dan tidak pernah melakukan kezaliman dalam segala tingkat kezaliman: kezaliman dalam keilmuan dan perbuatan, kezaliman dalam mengambil keputusan dan aplikasinya.
Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam sudah mengatur sejak awal bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi seorang pemimpin. Menurut Shihab (2002) ada dua hal yang harus dipahami tentang hakikat kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah swt. Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 124, "Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga (dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat)Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang zalim".
Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.
Pengertian Kepemimpinan
Pemimpin (imam) adalah seseorang yang ditunjuk untuk memiliki tanggungjawab memimpin oleh karena kodrat alamiahnya sebagai Manusia.
Kepemimpinan menurut Kreiner  adalah proses mempengaruhi orang lain yang mana seorang pemimpin mengajak anak buahnya secara sukarela berpartisipasi guna mencapai tujuan organisasi.
Kepemimpinan merupakan satu ’seni’ yang mengarah kepada suatu proses untuk menggerakkan sekumpulan manusia menuju ke suatu tujuan yang telah ditetapkan dengan mendorong mereka bertindak dengan cara yang tidak memaksa yakni karena mereka mau melakukannya.
Sifat Pemimpin
Sifat-sifat pokok seorang pemimpin tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Al-Mubarak seperti dikutip Hafidhuddin (2002), yakni ada empat syarat untuk menjadi pemimpin: Pertama, memiliki aqidah yang benar (aqidah salimah). Kedua, memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas (`ilmun wasi`un). Ketiga, memiliki akhlak yang mulia (akhlaqulkarimah). Keempat, memiliki kecakapan manajerial dan administratif dalam mengatur urusan-urusan duniawi.
Di lain pihak pemimpin dituntut untuk memahami kehendak dan memperhatikan penderitaan rakyat. Sebab dalam sejarahnya para rasul tidak diutus kecuali yang mampu memahami bahasa (kehendak) kaumnya serta mengerti (kesusahan) mereka. Lihat Q. S. Ibrahim (14): 4, "Kami tidak pernah mengutus seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya". dan Q. S. At-Taubah (9): 129, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, terasa berat baginya penderitaanmu lagi sangat mengharapkan kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukmin.
Oleh karena itu, dalam pandangan al-Qur'an, pemimpin yang diangkat
oleh masyarakat sebenarnya berada pada posisi menerima amanah, sedangkan
masyarakat sebagai pemberi amanah. Tentu saja, ajaran agama mengatur bahwa
penerima amanah, pada saatnya nanti, harus mempertanggungjawabkan amanahnya
kepada si pemberi amanah, yaitu pada "pengadilan" masyarakat di dunia, dan
"pengadilan" Allah swt di Padang Mahsyar nanti.

Berkenaan dengan pemberian amanah, ada satu ayat yang cukup
menyentak kita: "Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat
itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh," QS 33:
72

Sejarah mencatat bahwa Daud bukan saja Nabi tetapi juga penguasa
kerajaan ("Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya
hikmahS.QS. 38: 20). Allah mengisyaratkan bahwa Daud bukan saja dipilih
oleh Allah tetapi juga diangkat oleh masyarakat. Pada titik ini penafsiran
Imam al-Mawardi, terhadap ayat QS. 4:58, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat," patut
dikedepankan.
Imam al-Mawardi, pengarang al-Ahkam al-Sulthaniyah,
menjelaskan bahwa karena ada yang memberi amanah dan ada yang menerima
amanah, maka terjalinlah hubungan sosial diantara kedua belah pihak.
Ratusan tahun setelah Imam Al-Mawardi wafat, barulah muncul di Barat teori
kontrak sosial yang sebenarnya embrionya telah dimulai oleh penafsiran
al-Mawardi.

Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam at-Tafsir al-Munir menjelaskan bahwa
amanah yang dimaksud adalah ketaatan dalam menjalankan kewajiban (taklif)
syar'i, seperti sholat, puasa dan lainnya. Lebih jauh Az-Zuhaili
menafsirkan bahwa kata amanah dalam ayat di atas juga mencakup amanah
terhadap harta, menjaga kemaluan, menjaga pendengaran, penglihatan, lisan
batin, tangan dan langkah kaki. Kegagalan menerima amanah ini (akibat
manusia itu amat zalim dan amat bodoh) akan mengakibatkan manusia terbagi
menjadi tiga golongan (sebagaimana diisyaratkan oleh ayat selanjutnya QS
33: 73): pertama, munafikin, yaitu sebagaimana digambarkan dalam hadis:
kalau berkata selalu berdusta; kalau berjanji selalu ingkar; dan kalau
diberi amanah berlaku khianat (Musnad Ahmad, Hadis Nomor: 6583); kedua,
golongan musyrikin, yaitu golongan yang baik tersembunyi maupun
terang-terangan telah berlaku syirik dan menentang Rasul; ketiga Mu'minun,
yang dalam ayat ini digambarkan sebagai mereka yang diterima taubatnya.
Pemimpin Memikul Tanggung Jawab
حديث عبد الله بن عمر رضي الله عنهما. ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: كللكم راع فمسؤل عن رعيته فالامير الذي على الناس راع وهو مسؤل عنهم. والرجل راع على اهل بيته وهو مسؤل عنهم. والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهي مسؤلة عنهم. والعبد راع على مال سيده وهو مسؤل عنه، الا فكلكم راع و كللكم مسؤل عن رعيته
- اخرجه البخارى فى 490 كتاب العتق: 17- باب كرهية التطاول على الرقيق
Hadits Abdullah bin Umar ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir yang mengurus keadaan rakyat adalah pemimpin. Ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarganya di rumahnya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya. Ia akan diminta pertanggungjawaban tentang hal mereka itu. Seorang hamba adalah pemimpin terhadap harta benda tuannya, ia kan diminta pertanggungjawaban tentang harta tuannya. Ketahuilah, kamu semua adalah pemimpin dan semua akan diminta pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.(Al-Hadits)
Dalam sejarah riyadhus shalihin dijelaskan, bahwa seorang wajib menegakkan keadilan dalam diri dan keluarganya, dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Adil dalam dirinya dengan tidak memberatkan pada sesuatu yang tidak dieprintahkan Allah, dia harus memperhatikannya hingga kepada masalah kebaikan, jangan memberatkan dan membebankannya terhadap sesuatu yang tidak mampu dilakukannya.
Demikian juga wajib bersikap adil bagi seorang suami terhadapkeluarganya. Seperti orang yang memiliki dua orang istri, ia wajib bersikap adil diantara keduanya. Dan wajib pula bersikap adil kepada anak-anaknya. Begitu pula bagi seorang istri yang juga seorang pemimpin dalam rumah suaminya. Baik dalam menjaga harta suaminya dan tidak menghambur-hamburkannya.
Pemimpin yang agamis
Tentu bagi seorang pemimpin, tetap komitmen dengan kebenaran memerlukan mujaahadah (kesungguhan), keberanian dan kesabaran yang jauh lebih besar karena bisa dipastikan dirinya akan berhadapan dengan pihak yang justru menginginkan tersebarnya kebathilan dan kemaksiatan di tengah-tengah umat.
1.Memberi Petunjuk Dengan Perintah Allah
Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim, ciri utama yang disebutkan di awal kedua ayat yang berbicara tentang kepemimpinan ideal adalah bahwa para pemimpin itu senantiasa mengajak rakyatnya kepada jalan Allah dan kemudian secara aplikatif mereka memberikan keteladanan dengan terlebih dahulu. Mereka mencontohkan pengabdian dalam kehidupan sehari-hari yang dicerminkan dengan menegakkan shalat dan menunaikan zakat, sehingga mereka termasuk kelompok ‘abid’ yang senantiasa tunduk dan patuh mengabdi kepada Allah Ta’ala dengan merealisasikan ajaran-ajaranNya yang mensejahterakan.
Tentunya, melahirkan pemimpin yang senantiasa “Memberi Petunjuk dengan Perintah Allah” tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tidak cukup dengan popularitas, pencitraan, kedekatan maupun faktor keturunan dan seterusnya. Tapi memerlukan episode pembinaan kehidupan yang panjang untuk mendapatkan kriteria pemimpin ideal.
2.Mereka Mengerjakan Kebajikan
Imam Asy-Syaukani Rahimahullahu dalam Tafsir Fathul Qadir menambahkan bahwa kriteria pemimpin yang memang harus ada adalah keteladanan dalam kebaikan secara universal sehingga secara eksplisit Allah menegaskan tentang mereka: “Telah Kami wahyukan kepada mereka untuk senantiasa mengerjakan beragam kebajikan”. Fi’lal khairat yang senantiasa mendapat bimbingan Allah adalah beramal dengan seluruh syariat Allah secara integral dan paripurna dalam seluruh segmen kehidupan.
Pemimpin sejati harusnya senantiasa berpikir secara serius bahwa semua kebijakan dan keputusannya dipastikan mampu membawa kebaikan dalam kehidupan agama umatnya, keluarga, ekonomi, sosial masyarakatnya dan lain sebagainya. Ia tidak berpikir secara parsial, tetapi berpikir bagaimana kebaikan tersebut ada dalam semua lini kehidupan masyarakatnya.
3.Mendirikan Shalat
Kenapa ketika menyinggung kriteria seorang pemimpin menyinggung hal shalat? Karena mengukur kebaikan seseorang yang utama dalam perspektif islam mau tidak mau haruslah melihat sejauh mana ia melaksanakan shalat.
Ini penting, karena yang menyampaikan tentang pentingnya shalat ini adalah Allah Ta’ala sendiri yang mengulang-ulang dalam banyak ayat alquran ketika menyampaikan kriteria orang mukmin yang beruntung dan berbahagia.
َدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ{1} الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ{2} وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ{3} وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ{4} وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya…,” (Al Mu’minun: 1-5)
Begitu juga ketika Allah Ta’ala menyampaikan tentang kriteria calon penghuni neraka adalah mereka yang meninggalkan shalat.
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ{42} قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ{43} وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin”. (Al Mudattsir: 42-44)
Kalau kita melihat pemimpin sudah tidak pernah terlihat shalat, maka bagaimana kita berharap ia mampu menunaikan amanahnya sebagai pemimpin. Padahal shalat adalah amalan pertama kali yang akan diuadit oleh Allah Ta’ala kelak di akhirat. Hal yang sangat penting ini saja diabaikan, bagaimana mungkin dirinya dijadikan pemimpin untuk keluarga dan masyarakat kita?!
Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu dia berkata: Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلَاةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِي صَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ
“Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah shalatnya. Rabb kita Jalla wa ‘Azza berfirman kepada para malaikat-Nya -padahal Dia lebih mengetahui-, “Periksalah shalat hamba-Ku, sempurnakah atau justru kurang?” Sekiranya sempurna, maka akan dituliskan baginya dengan sempurna, dan jika terdapat kekurangan maka Allah berfirman, “Periksalah lagi, apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah?” Jikalau terdapat shalat sunnahnya, Allah berfirman, “Sempurnakanlah kekurangan yang ada pada shalat wajib hamba-Ku itu dengan shalat sunnahnya.” Selanjutnya semua amal manusia akan dihisab dengan cara demikian”. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’)
Oleh karena itu Umar bin Khatthab Radhiallahu Anhu begitu sangat selektif dalam memilih atau mengangkat pejabat yang akan membantunya dalam mensukseskan kepemimpinanya secara kolektif. Beliau hanya akan mengangkat pejabat yang dikenal kebaikannya secara umum. Bahkan Umar pernah marah kepada sahabat yang mengangkat pejabat dari orang yang tidak dikenalnya. Umar bertanya memastikan pengenalannya terhadap seseorang yang diangkatnya: “Sudahkah kamu pergi bersamanya? Sudahkah kamu bersilaturahmi ke rumahnya? Sudahkah kamu berbisnis dengannya? Dan sederetan pertanyaan lain yang membuka sosok pemimpin yang akan dilantiknya tersebut”.
4. Menunaikan Zakat
Zakat adalah representasi simbol pengorbanan seseorang apalagi bagi seorang pemimpin. Zakat itu diambil dari orang-orang yang mampu kemudian dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Maknanya, seorang pemimpin harus berpikir bagaimana cara mendistribusikan kekayaan kepada mereka yang membutuhkan. Ia berpikir agar kekayaan tidak dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu, tetapi ia berpikir untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, salahsatu sumbernya adalah pendistribusian zakat dan sumber-sumber lainnya.
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (At Taubah: 103)
….. وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ ……
“Dan dirikanlah shalat, dan bayarlah zakat hartamu”. (An Nisa’: 77)
5.Dan Hanya Kepada Allah Mereka Selalu Menyembah
Allah Ta’ala berfirman: “Wakanu Lana Abidin” bukan “Wakanu Abidin” merupakan penegasan bahwa perbuatan baik yang mereka perbuat lahir dari rasa iman kepada Allah dan jauh dari kepentingan politis maupun semata-mata malu dengan jabatannya. Maka kata ‘lana (hanya kepada Kami)’ adalah batasan bahwa hanya kepada dan karena Allah mereka berbuat kebaikan, membuat kebijakan dan keputusan selama masa kepemimpinannya bahkan selama hidupnya.
Oleh karena itu, para pemimpin adalah harus dari hamba-hamba Allah, bukan mereka yang menghamba dunia, jabatan, menghamba kepentingan asing yang merugikan kaum muslimin dan sebagainya. Ini penting untuk senantiasa kita perhatikan, karena hidup ini adalah amanah dan pilihan kita pun adalah amanah. Dan seluruh aktivitas yang kita lakukan di dunia ini, pasti akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Petunjuk Memilih Pemimpin
Dalam Al Quran, Allah SWT telah memberi petunjuk untuk memilih pemimpin sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Allah SWT berfirman yang artinya, “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”. (QS Al-A’raf: 3)
Oleh karena itu, sebagai hamba Allah SWT yang selalu berusaha untuk menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, tidak pantas melakukan tindakan asal-asalan dalam memilih pemimpin. Tidak pantas pula memilih pemimpin dengan cara spekulasi atau hanya karena diberikan uang.
Tapi harus memilih pemimpin dengan penuh kehati-hatian, dengan kecenderungann akal sehat dan mempertimbangkan dengan hati nurani. Pililah pemimpin yang benar-benar dapat mengantarkan umat menuju masyarakat yang rabbani, masyarakat utama yang diridhai Allah Swt yaitu bangsa yang lebih berkeadilan, bangsa yang mandiri, bangsa yang besar.
Janganlah kita memilih pemimpin dari orang-orang kafir, sebagaimana firman-Nya yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?” (QS An-Nisa: 144)
Demikian pula jangan memilih orang musyrik atau mereka yang akan menjadikan agama sebagai bahan ejekan dan permainan. Allah SWT berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang Telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.(QS Al-Maidah: 57)
Allah dan Rasul-Nya telah memberikan garis-garis yang cukup tegas, tentang kriteria orang-orang yang pantas dipilih menjadi pemimpin adalah orang beriman dan beramal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta memiliki sifat: Shiddiq, Tabligh, Amanah dan Fathonah (STAF).
Shiddiq, artinya benar atau jujur, Sifat ini merupakan mahkota kepribadian bagi orang yang mulia sehingga memperoleh limpahan nikmat dan karunia-Nya. Kejujuran, baik dalam ucapan maupun tindakan, merupakan indikator dari kwalitas kepribadian seseorang. Sebaliknya orang yang tidak jujur akan menjadi pecundang, dijauhi, dicemohkan dan akhirnya tidak dipercaya oleh masyarakat
Tabligh, berarti menyampaikan, yakni menyampaikan seluruh risalah Ilahi. Seorang muslim yang berakhlak mulia hendaklah senantiasa menyampaikan kebenaran dengan melakukan tabligh, secara hikmah sesuai firman-Nya yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.(QS An-Nahl: 125)
Amanah, artinya benar-benar bisa dipercaya, Jika satu urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Allah swt berfirman yang artinya: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”.(QS. Al-Mu’minum: 8)
Demikian pula Rasulullah bersabda yang artinya:
“Tidak beriman orang yang tidak memenuhi janji” (Hr. Ahmad dan Ibn Hibban)
Fathonah, artinya kecerdasan. Kecerdasan di sini memiliki makna yang mendasar dan universal. Maka Fahonah merupakan kecerdasan yang mencakup kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual, yang berarti pula kecerdasan di atas rata-rata. Dengan demikian pemilik sifat Fathonah tidak hanya memiliki wawasan yang luas di segala bidang, tetapi juga berpijak pada landasan ruhaniah yang kokoh.
BY ABI ANWAR. 3/6/2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman