Senin, 02 Juni 2014

PEMIMPIN INDONESIA YANG MARTABAT



PEMIMPIN YANG DIHARAPKAN ?

"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (PEMIMPIN / PELINDUNG) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara  diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu)."(Ali Imran:28)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak  memberi petunjuk kepada orang-orang yang ZALIM."(Al-Maidah:51)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi PEMIMPINMU, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman."(Al-Maidah:57)
Muqaddimah
Perihal mengenai kepemimpinan dalam Islam merupakan suatu wacana yang selalu menarik untuk didiskusikan. Wacana kepemimpinan dalam Islam ini sudah ada dan berkembang, tepatnya pasca Rasulullah SAW wafat. Wacana kepemimpinan ini timbul karena sudah tidak ada lagi Rasul atau nabi setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
Dalam firman Allah SWT dikatakan bahwa Al-qur’an itu sudah bersifat final dan tidak dapat diubah-ubah lagi. Sehingga Rasulullah SAW adalah pembawa risalah terakhir dan penyempurna dari risalah-risalah sebelumnya.
“ Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya.”(Q.S Al-An’am:115).

Kepemimpinan dalam konsep Al-Qur’an disebutkan dengan istilah Imamah, pemimpin dengan istilah imam. Al-Qur’an mengkaitkan kepemimpinan dengan hidayah dan pemberian petunjuk pada kebenaran. Seorang pemimpin tidak boleh melakukan kezaliman, dan tidak pernah melakukan kezaliman dalam segala tingkat kezaliman: kezaliman dalam keilmuan dan perbuatan, kezaliman dalam mengambil keputusan dan aplikasinya.
Seorang pemimpin harus mengatahui keadaan umatnya, merasakan langsung penderitaan mereka. Seorang pemimpin harus melebihi umatnya dalam segala hal: keilmuan dan perbuatan, pengabdian dan ibadah, keberanian dan keutamaan, sifat dan prilaku, dan lainnya.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa seorang pemimpin tidak pantas mendapat petunjuk dari umatnya, seorang pemimpin harus berpengetahuan dan memperoleh petunjuk sebelum umatnya. Bahkan Al-Qur’an menegaskan seorang pemimpin harus mendapat petunjuk langsung dari Allah swt, tidak boleh mendapat petunjuk dari orang lain atau umatnya.
Ciri-ciri Pemimipinan Menurut Islam
Pemimpin dalam islam mempunyai beberapa ciri-ciri, diantaranya :
a.       Niat yang ikhlas
b.       Laki-laki
c.        Tidak meminta jabatan
d.       Berpegang dan konsistan pada hukum Allah
e.       Memutuskan perkara dengan adil
f.         Senentiasa ada ketika diperlukan
g.      Menasehati rakyat
h.      Tidak menerima hadiah
i.         Mencari pemimpin yang baik
j.         Lemah lembut
k.       Tidak meragukan rakyat
l.         Terbuka untuk menerima idea dan kritikan
Kriteria pemimpin Dalam Al-Qur’an
Para pakar telah lama menelusuri Al-Quran dan Hadits dan menyimpulkan minimal ada empat kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk menjadi pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam empat sifat yang dimiliki oleh para nabi/rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu: (1). Shidq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah bohong. (2). Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah swt. Lawannya adalah khianat. (3) Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh. (4). Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi). Lawannya adalah menutup-nutupi (kekurangan) dan melindungi (kesalahan).

Di dalam Al-Quran juga dijumpai beberapa ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, diantaranya terdapat dalam surat As-Sajdah (32): 24 dan Al-Anbiyaâ (21): 73. Sifat-sifat dimaksud adalah: (1). Kesabaran dan ketabahan. "Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah". Lihat Q. S. As-Sajdah (32): 24. Kesabaran dan ketabahan dijadikan pertimbangan dalam mengangkat seorang pemimpin. Sifat ini merupakan syarat pokok yang harus ada dalam diri seorang pemimpin. Sedangkan yang lain adalah sifat-sifat yang lahir kemudian akibat adanya sifat (kesabaran) tersebut. (2). Mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Mereka memberi petunjuk dengan perintah Kami". Pemimpin dituntut tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau dengan kata lain tidak sekedar mengucapkan dan menganjurkan, tetapi hendaknya mampu mempraktekkan pada diri pribadi kemudian mensosialisasikannya di tengah masyarakat. Pemimpin sejati harus mempunyai kepekaan yang tinggi (sense of crisis), yaitu apabila rakyat menderita dia yang pertama sekali merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia yang terakhir sekali menikmatinya. (3). Telah membudaya pada diri mereka kebajikan. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat". Hal ini dapat tercapai (mengantarkan umat kepada kebahagiaan) apabila kebajikan telah mendarah daging dalam diri para pemimpin yang timbul dari keyakinan ilahiyah dan akidah yang mantap tertanam di dalam dada mereka.
Pemimpin Indonesia Baru
Tahun ini adalah tahun kepemimpinan. Pesta demokrasi 5 tahunan yang menghabiskan dana kurang lebih 170 Triliyun untuk memilih pemimpin-pemimpin yang mewakili aspirasi rakyat akan segera dihelat. Alangkah sayang jika dalam Pemilu ini tidak menghasilkan pemimpin yang tepat. Oleh karena itu, izinkan saya memberikan gambaran kriteria pemimpin Indonesia nanti.
Pertama, Indonesia butuh sosok pemimpin yang mampu memahami kemajemukan (pluralistik) bangsa. Plural adalah keadaan di mana perbedaan secara prinsip tidak bisa dihindarkan, namun keharmonisan hidup wajib dihadirkan. Masyarakat plural membutuhkan pemimpin yang adil.
Pemimpin yang adil konteks ini adalah yang menghormati pluralistik secara konsisten dengan cara yang konsisten. Maksudnya adalah bahwa masyarakat diberikan aturan sedemikian rupa sehingga saling menghargai prinsip masing-masing tanpa meminta untuk diikuti, membiarkan prinsip masing-masing tanpa ada motif secara paksa untuk mempengaruhi.
Jika aturan tersebut dilanggar atas nama apapun, pemimpin harus tegas memberikan sanksi hukum yang menjerakan. Maka pemimpin yang seperti inilah yang dibutuhkan oleh Indonesia.
Kedua, yang harus dimiliki oleh calon pemimpin di Indonesia adalah yang memiliki determenasi sosial tinggi. Ia mampu membaca peta perubahan sosial Indonesia maupun dunia.
Yang ketiga, pemimpin Indonesia harus memiliki kapasitas membawa Indonesia menuju masyarakat yang terjamin pendidikan dan adabnya. Karena pendidikan tanpa adab hanya akan menghasilkan masyarakat yang tak bermoral. Ujung ujungnya menghasilkan pemimpin yang banyak gelar tapi miskin hikmah dan rendah moralnya.
Terakhir pemimpin Indonesia nanti harus memiliki kapasitas membangun Indonesia secara ekonomi dan geopolitik menuju Indonesia yang mandiri.
Contoh Pemimpin Dalam Al-Qur’an: Thalut
Alquran kadang-kadang menyebut pemimpin sebagai “malik” yang bentuk jamaknya adalah “muluk”. Kata ini diartikan ke dalam bahasa Indonesia dengan pemimpin, penguasa atau raja. Dari akar kata ini juga diambil kata “al-milk” (kepemilikian), al-mulk (kerajaan) dan lain-lain.
Biasanya, kata “malik”ini digunakan untuk Allah seperti malik yawm al-din (Penguasa hari pembalasan), malik al-nas (Yang Menguasai manusia). Kemudian kata “malik” ini juga digunakan untuk manusia seperti Thaluta malika (Thalut sebagai raja), qala al-malik (raja berkata) dan lain-lain.
Menurut Ibn ‘Asyur di dalam tafsirnya al-Tahrir wa al-Tanwir bahwa pengertian “malik” untuk Allah ialah pengelolaan terhadap alam sebagai bentuk kasih sayang-Nya. Secara global, pengelolaan tersebut dilakukan melalui perintah dan larangan yang diimplementasikan-Nya melalui syariat. Adapun tujuan pokoknya yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia baik umum maupun khusus.
Lebih lanjut Ibn ‘Asyur menjelaskan, bahwa pengertian “malik” untuk manusia adalah orang yang diberi legitimasi menegakkan keadilan tanpa adanya pilih kasih. Legitimasi ini diberikan karena pekerjaan “malik” adalah mengatur dan memelihara rakyat untuk menciptakan kemaslahatan mereka. Oleh karena itu, Allah menjadikan sebagian manusia menjadi “malik” untuk memimpin manusia.
Di dalam QS. al-Baqarah ayat 247 (ayat yang menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini) menyebutkan bahwa Thalut diangkat Tuhan menjadi “malik” (pemimpin). Di dalam ayat ini terdapat dua alasan yang dikemukakan oleh Tuhan ketika Thalut diangkat sebagai raja (pemimpin).
Pertama, Thalut sudah dianugerahi ilmu yang sangat luas. Adapun ilmu yang dimiliki oleh Thalut, menurut Abu al-Su’ud dalam tafsirnya Irsyad al-‘Aql, adalah ilmu yang berkenaan dengan tata negara. Selain ahli dalam ilmu tata negara, Thalut juga paling mengetahui segala kemaslahatan untuk rakyatnya, demikian disebutkan al-Baydhawi dalam tafsirnya Anwar al-Tanzil.
Kedua, Thalut dianugerahi tubuh yang perkasa. Menurut Ibn ‘Adil di dalam tafsirnya al-Lubab bahwa yang dimaksud dengan tubuh yang perkasa ialah kekuatan. Berdasarkan komentar Wahbah al-Zuhayli dalam tafsirnya al-Wasith, kekuatan fisik Thalut ini adalah sebagai bekal baginya melawan musuh di dalam peperangan.
Keluasan ilmu dan kekuatan fisik yang terdapat pada Thalut ini patut dijadikan sebagai kriteria untuk memilih pemimpin yang ideal. Pemimpin harus berilmu luas supaya mudah memakmurkan rakyatnya, dan juga harus kuat supaya dapat memberantas tindakan-tindakan yang dapat menghancurkan bangsa. Ilmu dan kekuatan harus berjalan secara sinergik dan bukan menunjukkan prioritas.
Pemimpin yang bodoh akan mudah dipengaruhi oleh orang-orang yang punya kepentingan sehingga tidak dapat membuat kebijakan-kebijakan yang signifikan untuk kepentingan rakyat. Demikian juga pemimpin yang lemah baik fisik maupun mental akan mudah dirong-rong oleh orang-orang yang jahat.
Ibn Katsir berkomentar di dalam tafsirnya Alquran al-‘Azhim, bahwa ayat ini memberikan petunjuk tentang kriteria pemimpin yang ideal seperti paling cerdas, paling gagah, paling kuat dan paling sabar di dalam peperangan. Pemimpin ideal dimaksud seharusnya adalah sosok yang memiliki ilmu pengetahuan dan bentuk tubuh yang serasi serta kekuatan yang dahsyat, baik pisik maupun jiwanya.
BY ABI AZMAN. 2/6/2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman