Kamis, 28 Februari 2013

MANUSIA Sempurna




                          NUR MUHAMMAD SAW. Manusia Pertama ?
akhlaqnya al-qur'an

Muqaddimah

            Segala puji Allah, Tuhan seru sekalian alam. Dialah yang menciptakan dunia beserta isinya , termasuk manusia. Dengan hati yang bersih dari akhlak yang tercela, manusia jauh lebih mulia dari pada binatang ; dengan ruh ketuhanan yang ditiupkannya, manusia ta’at dan patuh kepadaTuhannya dari pada mahkluk lainnya, dengan akal fikirnya , manusia lebih maju dan berpengetahuan dari pada ciptaan Tuhan lainnya. Tetapi manusia lebih rendah dan hina di hadapan sang Khaliq , jika jiqanya kotor dan takabbur serta condong kepada perusak alam .
            Shalawatsertasalam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad saw, para kerabat, sahabat beliau juga kepada para pengikut dan pejuang membela kebenaran yang pernah diteladankan olehnya demi mendapatkan ridhallah dunia-akhirat.
            Sebelumnya , penulis mohon ma’af jika nanti dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan, khusus dari pendapat diri sendiri. Bicara tentang Nur Muhammad, Waliyullah, Sufi dan Insan Kamil menurut pemikiran dalam Islam tidak terlepas dari perbedaan penadapat yang mana yang paling benar dan dapat difahami oleh akal manusia sesuai dengan tingkat derajatnya?
            Terutama , pendapat tentang kejadian manusia pertama atau nur Muhammad? Menurut sejarah , Muhammad saw. Dilahirkan oleh ibunya yang tercinta , Siti Aminah binti Wahab pada tanggal 20 april 571 M atau 12 Rabulawal Tahun Gajah di kota Makkah dan ayahnya bernama Abdullah bun Abdyl Muthalib. Beliau manusia bisa seperti kita, tapi luar biasa karena ia diberi wahyu Illahi.
1. Nur Muhammad
            Dalam surat al-Furqan, ayat ke 7 mislnya , Muhammad adalah manusia biasa , seperti kita( juga makan, minum, tidur, dll) dan beliau diberi wahyu oleh Tuhan sebagaimana dalam surat al-Kahfi ayat terakhir.
            Di duratar-Ra’d ,ayat ke 38 , Nabi hidup berkeluarga , tidak rahbaniyah ( tidak membujang) .
            Syeh Abdul Qadir Jailani menjelaskan tentang ruhul Muhammad saw. Dalam kitabnya “Sirrul Asrar fi ma Yahtaju ilihil Abrar”, bahwa ruhul Muhammadiyah (ruh Muhammad) itu adalah at sumber segala yang wujud . Ialah yang awal dan ialah hakikat alam semesta . Allah SWT . terbitkan segala ruh dari ruhnya .’Muhammad’ itu adalah nama bagi insane dalam alam arwah ( alam ruh-ruh) . Ialah sumber dan asal segala perkara .
            Tegasnya, kalau tidak karena akan diciptakan Muhammad itu , tentulah ala mini tidak akan diciptakan . Hal ini tepat seperti apa yang dilihat oleh bapak sekalian manusia, yaitu Adam as. Setelah tuntas penciptanya , bahwa yang dilihatnya dipintu surga ialah nama Muhammad saw. Di samping nama Allah , maka tahulah ia bahwa orang yang mempunyai nama itu adalah semulia-mulia manusia yangakan dicipta Tuhan diantara semua penciptaan-Nya yang akan menyusul .
Selepas terzahirnya Nur Muhammad , maka Allah jadikan atau tau Zahirkan ‘Arasy dari Nur Muhammad itu dan Allah zahirkan pula makhluk-makhluk yang lain dari ‘Arasy itu. Semua itu berlaku menurut kehendak dan masyiahNya .
            Kemudian Allah turunkan segala ruh atau mahkluk-mahkluk tadi ke peringkat mahkluk yang paling rendah yaitu alam ajsam atau alam fisikal atau alam kebendaan yang kongkrit dan nyata ini . Firman Allah yang artinya :”Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya”. (at-Tin:5) .
            Allah turunkam Nur itu dari tempat asal kejadiannya , yaitu di Alam Lahut    (alam ketuhanan) kealam Asma’ ullah (nama-nama Allah), yaitu alam penzahiran sifat-sifat Allah atau alam akal Ruh semesta . Di sana ruh-ruh itu turun kea lam Malakut .Di situ ruh-ruh itu dipakaian dengan pakaian kemalaikatan yang gemerlapan . Kemudian diturunkan mereka kea lam kebendaan atau alam ajsam yang terjadi dari unsur api, air,angin,(udara) dan tanah . Maka ruh itu dibentuk dengan diberi badan yang terjadi dari darah, daging, tulang, urat dan sebagainya .
            Kemudian Allah perintahkan ruh-ruh itu menduduki badan-badan yang dikhususkan untuk mereka masing-masing sehingga lengkaplah suatu penciptaan yang amat sempurna . Kemudian disuruhlah pula malaikat dan jinNya untuk memberikan penghormatan kepada penciptaanNya yang maha agung itu , sesuai dengan firman Allah SWT.   yang artinya:”maka apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan kepadanya ruhKu, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya”. (Shaad: 72).
            Setelah ruh itu diperbadankan, maka lupalah ia asalnya dan perjanjiannya dengan Allah , tatkala di Alam Ruh . Lupalah ruh itu yang ia datang dari Alam Ruh . Lupalah ia ketika pernah dahulu ditanya sesuai dengan firman-Nya yang artinya:” Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab:Sebenarnya dan kami menyaksikan “. (al-A’raf:172) .
            Dalam pengantar sejarah sufi & Tasawuf , karangan Prof. Dr.H.Abu Bakar Aceh, tertulis bahwa hubungan kejadian dunia dan manusia, orang-orang Sufi membuat teori yang tersendiri tentang  Nur Muhammad , yang dinamakan Ruh terbesar ,yang katanya ialah mula-mula dijadikan Allah, sebelum menjadikan segala sesuatu yang lain .
            Dr.Yusuf al-Qardhawi menjawab dalam bukunya Fatawa Qardhawi tentang siapakah makhluk yang pertama , benarkah bahwa nabi Muhammad saw. Makhluk Allah yang pertama ? Telah tersiar diantara orang awam dari kisah-kisah mauled yang sering dibaca bahwa Allah menggenggam cahaya-Nya, lalu berfiman ,”Jadilah engkau Muhamad “. Maka adalah makhluk yang pertama kali diciptakan Allah, dari situ diciptakan langit , bumi dan seterusnya . Dari situ tersiar kalimat: Shalawat dan salam bagimu, wahai makhluk Allah yang pertama”. hingga kalimat itu dikaitkan dengan adzan yang syari’atkan , seakan-akan bagiannya .
            Perkataan itu tidak sah riwayatnya dan tidak dibenarkan oleh akal, tidak akan mengangkat agama, dan tidak pula bermanfaat bagi perkembangan dari peradaban dunia .
            Keawalan Nabi Muhammad saw. Sebagai makhluk Allah tidak terbukti , seandainya terbukti tidaklah berpengaruh pada keutamaan  dan kedudukannya di sisi Allah . Tatkala Allah memujinya dalam kitab-Nya, maka Allah memujinya dengan alasan keutamaanyang sebenarnya . Allah berfirman yang artinya :”Dan sesungguhnya kamu benar-benar orang yang berbudi pekerti agung”(al-Qalam:4) .
            Nabi yang agung ini adalah manusia seperti manusia lainnya dan tidak diciptakan dari cahaya atau emas, tetapi diciptakan dari air yang memancarkan dan keluar dari tulang sulbi laki-lakidan tulang rusuk perempuan sebagai bahan penciptaan Muhammad saw. Adapun dari segi risalah dan hidayat-Nya, maka beliau adalah cahaya Allah dan pelita yang amat tereng sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya:” . . . Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah , dan kitab yang menerangkan (al-Maidah:15) . “Cahaya” dalam ayat itu adalah Rasulullah saw. Sebagaiman al-Qur’an yang diturunkan kepada beliau adalah juga cahaya . yang artinya” Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya serta cahaya (al-Qur’an) yang telah kami turunkan”.(an-nisa’:174) .
            Lanjut dari penjelasan Syaih Abdul Qadil Jailani bahwa reality yang bathin atau ini digelar oleh orang-orang Sufi sebagai Haqiqatul –Muhammadiyah . Realiti atau haqiqat ini digelar dengan banyak nama . Ianya digelar Nur atau cahaya karena ia bebas dan bersihdari segala kegelapan, ataupun ia digelar Nur karena dengan adanya cahaya tersebut segala kegelapan hilang musnah . Allah berfiman yang artinya:”Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kita yang menerangkan”.(al-Maidah:15)
            Hakikat itu juga digelar’Aqlul-Kull( akal semesta) karena ia tahu dan melihat segala sesuatu . Ia juga sigelar Qalam (pena) karena ia penyebar ilmu dan hikmah dan menzahirkan ilmu dalam bentuk huruf dan perkataan . Ia juga digelar Roh karena ia hidup , bukan mati. Dari roh itulah terbitnya segala yang hidup . Oleh karena ia hidup , maka ia digelar Roh .
            Kendatipun pendapat diatas berbeda ,orang-orang sufi mengatakan bahwa Muhammad (Nur Muhammad) adalah makhluk yang pertama diciptakan oleh Tuhan , sedang yang lain penciptaan beliau dari proses kejadian manusia seperti kita masih dalam katagori pemikiran dalam Islam, karena ayat-ayat al-Qur’an secara tegas tidak menyebutkan dari apa nabi Muhammad saw. Diciptakan , hanya saja beliau tergolong proses kejadiannya seperti kejadian manusia secara umum .
            Pada abad ke tiga dank e empat hijriyah, puncak tasawuf terletak pada Husain bin Mansur (244-309H) .Ia tokoh yang paling kontraversial  didalam sejarah tasawuf dan akhirnya menemui ajalnya di tiang gantungan . Teori yang dikembangkan oleh al-Hallaj ialah al-Hulul dan al-Hakikat al-Muhammadiyah (Nur Muhammad) .

2. Waliyullah     
            Dalam pengertian yang popular Auliya sebagai bentuk jama’ dari pada kata qali diartikan dengan pengertian khusus yaitu orang-orang yang dianggap mempunyai kelebihan Agama . Pengertian ini diambil dari ayat al-Qur’an , yang artinya:”Ingatlah , sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada kekuatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati “.(Yusuf:62) .
            Bisa jadi , perkataan wali yang digunakan sama seperti dalam kata Wali Songo (Wali Sembilan) diambil dari pengertian diatas . Merekalah kekasih-kekasih Allah SWT.
Dengan iman dan ilmu pengetahuan mereka sukses mengamalkan nilai-nilai Agama dalam kehidupan sebagai pengembangan Agama Islam khususnya di nusantara ini atau pulau Jawa dengan pendekatan kultur dan budaya setempat .
            Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi dalam risalahnya, mengatakan bahwa kata Wali(orang suci) mempunyai dua arti . Yang pertam berasal dari pola fa’il (pelaku) dalam pengertian pasif .Artinya, Allah SWT. mengambil alih urusan-urusan (yatawalla) siwali . Sebagaimana telah difirmankan oleh-Nya, yang artinya: “Dan Dia mengambil alih urusan (yatawalla) orang-orang shaleh”.(al-A’raf:196). Dia tidak menugaskannya mengurusi dirinya sendiri hatta untuk sesaatpun .Allah-lah yang  mengurusi dirinya .
            Arti yang  dua berasal dari pola fa’il dalam pengertian intensif aktif . Ini berlaku pada orang yang secara aktif melaksanakan ibadah kepadaAllah dan mematuhinya sedemikian rupa hingga amal ibadahnya terus-menerus bersusulan tanpa diselingi kemaksiatan .
            Kedua arti ini mesti ada pada seorang wali untuk bisa dianggap sebagai wali sejati. Pelaksanaan hak-hak Tuhan atas dirinya mestinya dilaksanakan sepenuhnya , sementara perlindungan dan pemeliharaan Tuhan, disaat senang maupun susah , juga mesti ada .
            Al-Ghazali dengan tandas menyatakan dalam kitabnya “Ihya Ulum Al-Din”, bahwa siapa yang membantah adanya manusia tingkat “Wali”, maka ia juga membantah adanya manusia tingkat”Nabi”.Bahwa sekalipun nabi-nabi dan wali-wali itu adalah manusia seperti kita juga , tetapi qalbu mereka itu sangat luar biasa bersihnya dan sucinya sehingga dapat lekes menerima itu dan mersa segala sesuatu yang bersifat suci .Qalbu mereka itu bagaikancermin yang jernih dan bersih, bersih dari segala sifat-sifat tercela , sehingga dengan gampang menangkap atau menerima pancaran Nur Cahaya apa-apa yang tertulis dalam Lauhin Mahfuzd.
            Lanjutnya, Ghazali menerangkan , bahwa baik bagi Nabi-Nabi atau wali-wali, karena keistimewaannya terbuka dan jelaslah baginya segala sesuatu , hati mereka itu penih dengan cahaya , tidak dengan pelajaran dan tuntutan ilmu pengetahuan , tetapi karena zuhud di dunia , karena terbebas dari ikatan dunia itu, dengan demikian hatinya telah hampa dari kesibukan dunia, telah bersedia menerima segala ilham Tuhan . Maka barang siapa yang dirinya telah teruntuk bagi Tuhan, niscya Tuhan itu pun teruntuk baginya .
            Kata Ashbahani dalam kitabnya”Hiliyatul Aulia”, inilah wali-wali Tuhan yang mendapat keistimewaan , yang ilmunya melewati ilmu manusia, inilah orang-orang saleh yang setempat dengan tempat syuhada’ dan Nabi-Nabi .
            Sahl bin Abdullah mengatakan , “Perbuatan para wali selamanya sesuai dengan hujum syari’at “. Dikatakan ,”Ada tiga tanda wali :dia sibuk dengan Allah, dia lari kepada Allah , dan dia berkepedulian hanya dengan Allah”.
            Yahya bin Mu’adz menggambarkan para wali sebagai berikut “Mereka itu adalah hamba-hambayang berpakian keakrapan dengan AllahSWT.setelah mengalami penderitaan , dan yang memperoleh istirahat setelah berjuang ketika mencapai tahapan kewalian”.

3.Sufi
            Dalam sejarah perkembangan Tasawuf, sufi dan tasawuf beriringan . Beberapa sumber dari para orientalis maupun dari kitab-kitab yang terkait dengan sejarah Tasawuf memunculkan berbagai definisi , apa itu tasawuf ? Menurut Nicholson, tasawuf adalah sebagai bentuk ekstrimitas dari aktivitas keagamaan di masa Dinasti Umawy, sehingga para aktivitasnya melakukan ‘uzlah dan semata hanya demi Allah saja hidupnya .
            Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang tercela .(kata Muhammad al-Jurairi)
            Al-Junaid al-Baqdadi:”Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu dan menghidupkan dirimu bersama dengan-Nya .
            Al-Husain bin Manshur al-Hallaj : sufi kesendirianku dengan Dzat, tak seorangpun menerimanya dan juga tidak menerima siapa pun.
            Huwaim bin Ahmad bin Al-Karkhy:Taswuf artinya, memihak pada hakikat-hakikat dan memutuskan harapan dari semua yang ada pada mahkluk .
            Ahmad an-Nuuri:Tanda orang sufi adlah ia rela manakala tidak punya , dan peduli orang lain ketika ada .
            Dzun Nuun al-Mishri: kaum sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah SWT. diatas segal-galany dan yang diutamakan oleh Allah diatas segala makhluk yang ada.
            Abu Yaqub al-Mazdzabili:Tasawuf adalah keadaan dimana semua atribut kemanuisaan terhapus .
            Dari seluruh pandangan para sufi itulah akhirnya al-Qusyairi menyimpulkan bahwa sufi dan tasawuf memiliki termonologi tersendiri, sama sekali tidak berawal dari etimologi , karena standar gramatika Arab unutk akar kata tersebut gagal membuktikannaya .
            Tasawuf pada prinsipnya bukanlah tambahan terhadap al-Qur’an dan hadist, justru tasawuf adalah implementasi dari sebuah karangka agung Islam .
            Wal Hasil, dari seluruh definisi tersebut , membuktikan adanya hubungan antara hamba dengan Allah SWT. , dan hubungan antara hamba dengan sesamanya . Dengan kata lain , Tasawuf merupakan wujud cinta seseorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya, pengakuan diri akan haknya sebagaimana dan haknya terhadap sesama dalam amal kehidupan .
            Ada segolongan manusia yang digelar Ahli Sufi orang sufi . Ada rmpat tafsiran kenapa mereka digelar sufi:
1.      Mereka senantiasa memakai pakaian kasar yang diperbuat dari pada bulu kambing  biri-biri . . . . . . . . .
2.      Orang yang memandang tentangcara hiduporang-orang sufi itu yang bersahaya, cukup dengan ala kadar saja dan tidak hirau benar dengan hal kedaulatan . . . . . . .
3.      Mereka bersih dan bebas dari apa saja selainAllah
4.      Orang-orang yang dekat dengan Allah SWT. dan berdiri di barisan pertama di hadapan Allah di hari pengadilan kelak .
Demikianlah sekilas tentang tasawuf dan sufi menurut orang-orang yang ingin
 mendapatkan rahmat-Nya  .
4.Insan Kamil
            Hubungan iman dan amal shaleh adalah hubungan sebab-akibat dan dapat timbale balik. Seseorang yang kuat imannya dan dapat memahami keimanannya akan lebih prilakunya dalam kehidupan sehari-harnya , yang lazim disebut amal shaleh . sebaliknya ,semakin bertambah amal shalehnya semakin imannya berkualitas keimanannya . Semua perintah Tuhan dan larangan-Nya tidak lain hanya untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia dalam menjalani hidup ini dan agar menjadi hamba Tuhan yang bertaqwa , alias manusia yang sempurna disisi Allah .
            Bagaimana kiat menjadi hamba Tuhan yang sempurna ? atau siapakah yang patut disebut manusia sempurna? Atau adakah insane kamil dewasa ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut , ada baiknya kita cermati pendapat-pendapat sebagai berikut:
            Untuk mecapai derajat insane kamil, Syaih Abdul Qadir Jailani dalam kitabnya”Sirrul Asrar fi ma yahtaju ilaihilAbrar” mengatakan bahwa denga peningkatan dan pembersihan diri yaitu orang yang telah memishkan dan menceraikan dirinya dari hal-hal keduniaan . Tujuan pembersihan ini ialah dua cara:
Pertama, untuk mencapai sifat-sifat Allah, yakni bersifat dengan sifat-sifat-Nya yang mulia itu . kedua, unutk mencapai zat Allah yakni mengenal-Nya menerusi makrifat dan hakikat .
            Dalam kitab karangan Abdul Aziz Musthafa , Mahabbatullah Wacana Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, tangga menuju Cinta Allah tertera sepuluh wacana , diantaranya: Wacana pertama : Membaca Al-Qur’an dengan merenungkan dan memahami kandungan maknanya sesuai dengan maksudnya . . . ., kedua:Taqarrub kepada Allah SWT. melalui ibadah-ibadah sunnah setelah melakukan ibadah-ibadahfrdhu . . . .  , ketiga: Melanggar dzikir kepada Allah dlam segala tingkah laku , melalui insane, kalbu, amal dan prilaku …,  kesepuluh: Mahabbah kepada Allah harus menjauhi segala sebab yang menghalangi antara kalbu dan Allah SWT .
            Khalid Muhammad Khlid dalam karangannya “Ahlullah, menampak jenjang menuju taman hati” ungkapnya : Tidakkah sekali-kali “Ahlullah” menyembah Allah secara ala kadarnya tanpa pengertian dan tidak pula melaksanakan amal saleh dengan “asal-amal” tanpa mendalami kandungan maksud dan tujannya . Tidaklah sesekali-kali hal yang demikian ada pada “Ahlullah”. Mereka adalah orang-orang yang mengunjungi tinggi dan menyucikan ilmu pengtahuan, juga berusaha menuju kepadanya tanpa membeda-bedakan dengan ibadah dan ketaatannya kepada Allah SWT.
            Dalam kitab Raudah , Taman Jiwa kaum sufi , Imam Al-Ghazali mengtakan : ketahuilah, bahwa seluruh kebahagiaan dan kemuslahatan yang pada diri anda , hanya pada dua perkara :Pertama , kesehatan dan kesucian kalbu dari segala hal selain Allah SWT. karena firman-Nya yang artinya: kecuali orang-orang yang menghadap kepada Allah dengan hati yang bersih . (asy-Syu’ra’:89) .Kedua, memenuhi kalbu dengan makrifat kepada Allah SWT.yang menjadi tujuan setiap mahkluk jagad, dan meyakini kerasulan Nabi Muhammad saw. Disamping kebaikan akhlak , yang merupakan gabungan kedua tujuan tersebut.Tidak ada perilaku yang lebih dari kebaikan akhlak tersebut . Karena Allah memuji akhlak Rasulullah saw. Dengan firman-Nya yang artinya:”Dan sesungguhnya kamu(Muhammad) memiliki akhlak yang agung “.(al-Qalam:4)
            Imam Assyaukani dalam kitabnya “Qatrhul Wali Ala Haditsil Wali, Jalan Mencapai Kewalian” menjelaskan bahwa jalan yang pertama , melaksanakan Fardhu-fardhu , orang yang fardhu terkadang melakukannya karena takut siksa, sedang orang yang melaksankan sunnat, adalah ia tidak melaksanakannya kecuali karena demi kepentingan berkhitmad, maka oleh karenanya lalu balasan oleh Allah dengan  ”Mahabbah” di  mana mahabbah tersebut merupakan puncak   tujuan setiap orang yang mendekat pada Allah dengan berkhitmat kepada-Nya. Kedua , dengan melaksanakan sunnat-sunnat dst .
            Syeh AbuYazid Al-Bisthamimemprihalkan kebesaran hati yang seperti itu dengan katanya:” Jika semua yang wujud didalam dan disekitar ‘Arsy(makhluk Allah yang paling luas) diletakkan disuatu hati insan kamil, maka insan kamil itu tidak akan merasai beratnya”.
Daftar Pustaka
1.      Imam Al-Ghazali, Raudhah Taman Jiwa kaum sufi
2.      Abdul Aziz Musthafa, Mahabbatullah Tangga Menuju Cinta Allah , Wacana Imam Ahlullah Qayyim Al- Jauziyah
3.      Khalid Muhammad Khalid, Ahlullah Menepak Jenjang Menuju Tman Hati
4.      Syed Ahmad Semeit, Rahasia sufi (terjemahan Abdull Majid Hj. Khtib)
5.      Abdul KerimIbn Hawazin al-Qusyari, Risalah sufi
6.      Dr. Musthafa Zahri, kunci Memahami Ilmu Tasawuf .
7.      Prof. Dr. H Abu Bakar Aceh , pengantar Sejarah Sufi &Tasawuf .
8.      Dr. yusuf AlQardhawi , Fatawa Qradhawi, Permasalahan , pemecahan dan Hikmah .
9.      Imam Assyaukani, Jalan Mencapai Kewalian
10.  Prof.Dr. Abdul Aziz Dahlan, Teologi dan Aqidah dalam Islam .
11.  Peof. Dr. Harun Nasution , Falsafat &Mistisme Dalam Islam .
12.  Prof . Dr. Hamka, Tasawuf Moderen .
13.  Dr. Abdul Halim Mahmoud, Hal Ihwal Tasawuf(Terjemahan Al-Mungidz Minadhdalal).
ABI  NAUFAL
JAKARTA 2002

READ MORE - MANUSIA Sempurna

Mengamalkan SUNNAH RASULULLAH SAW.






                            Hidupkan Sunnah Rasul !

 

 Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31).
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ نَبِيِّهِ
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara.
Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya:
kitab Allâh dan Sunnah NabiNya.(HR Malik)

Dari ‘Amr bin ‘Auf bin Zaid al-Muzani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِى فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun(HR Ibnu Majah)


لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).
Muqaddimah
Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat diatas berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya”



Imam al-Qadhi ‘Iyadh al-Yahshubi berkata, “Ketahuilah bahwa barangsiapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti nyata). Maka orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jika terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang utama adalah (dengan) meneladani beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab (etika) yang beliau (contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan lapang maupun sempit”
Makna Sunnah
- Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ditujukan sebagai syariat bagi umat Islam.
- Arti “menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” adalah memahami petunjuk Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan dan menyebarkannya di kalangan manusia, serta menganjurkan orang lain untuk mengikutinya dan melarang dari menyelisihinya.
Perintah Memuliakan Sunnah
Allah berfirman:
“Dan apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka ambillah sedang apa yang beliau larang darinya maka berhentilah.” (Al Hasyr: 7)
Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di mengatakan: “Perintah ini mencakup prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya baik lahir maupun batin dan bahwa yang dibawa oleh Rasul maka setiap hamba harus menerimanya dan tidak halal menyelisihinya. Apa saja yang disebut oleh Rasul seperti apa yang disebut oleh Allah, tidak ada alasan bagi seorangpun untuk meninggalkannya dan tidak boleh mendahulukan ucapan siapapun atas ucapan Rasul.” (Taisir Al Karimirrahman, 851)
“Barangsiapa yang mentaati Rasul berarti ia mentaati Allah.” (An Nisa’: 80)
Maksudnya, setiap orang yang taat kepada Rasul dalam perintah dan larangan berarti ia taat kepada Allah karena Nabi tidak memerintah atau melarang kecuali dengan perintah dari Allah. Ini berarti pula terlindunginya Nabi dari kesalahan karena Allah memerintahkan kita untuk taat kepadanya secara mutlak. Kalau seandainya beliau tidak ma’shum (terjaga dari salah) pada apa yang beliau sampaikan dari Allah, tentu Allah tidak akan memerintahkan taat kepadanya secara mutlak dan tidak memujinya. (Taisir Al Karimirrahman, 189 dan Tafsir Ibnu Katsir, 2/541)
“Dan tidaklah ada pilihan bagi seorang mukmin atau mukminah jika Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sebuah perkara pada urusan mereka.” (Al Ahzab: 36)
Ibnu Katsir mengatakan: “Ayat ini umum pada seluruh perkara yaitu jika Allah dan Rasul-Nya menetapkan hukum sebuah perkara maka tidak boleh bagi seorangpun untuk menyelisihinya. Tidak ada peluang pilihan, ide atau pendapat bagi siapapun di sini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/498)
Ketiga ayat ini menunjukkan secara jelas bagaimana semestinya kita menempatkan Sunnah Nabi, yakni wajib mengambilnya dan merupakan keharusan yang tidak ada tawar-menawar lagi. Kemudian menjadikan Sunnah tersebut sebagai pedoman dalam melangkah melakukan ketaatan kepada Allah. Hal itu karena Allah jadikan Nabi-Nya sebagai penjelas Al Qur’an sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar engkau terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)
Selanjutnya kita lihat bagaimana hadits-hadits yang memerintahkan untuk mengikuti Sunnah, di antaranya:
Dari Al Irbadh bin Sariyah ia berkata: “Rasulullah memberikan sebuah nasehat kepada kami dengan nasehat yang sangat mengena, hati menjadi gemetar dan matapun menderaikan air mata karenanya, maka kami katakan:’ Wahai Rasullullah seolah-olah ini nasehat perpisahan maka berikan wasiat kepada kami’, lalu beliau katakan: ‘Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup sepeninggalku ia akan melihat perbedaan yang banyak, maka wajib atas kalian bepegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah para Al Khulafa Ar Rasyidin, gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat.” (Shahih, HR Ahmad, Abu Dawud dan At Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’, 2549)
Demikian Nabi mewasiatkan kepada para sahabat beberapa wasiat penting di antaranya perintah untuk berpegang teguh dengan Sunnahnya dan Sunnah para Khulafa Ar Rasyidin. Bahkan beliau menyuruh untuk menggigitnya dengan gigi kita yang paling kuat. Di masa sahabat saja Rasulullah telah berwasiat demikian, lebih-lebih di zaman sepeninggal beliau di mana kondisi masyarakat dari sisi keagamaan semakin buruk dengan munculnya berbagai perselisihan dan bid’ah pada perkara-perkara yang prinsipil.
Keutamaan Sunnah Rasulullah saw
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena Allah Ta’ala sendiri yang memuji semua perbuatan dan tingkah laku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam firman-Nya,
{وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ}
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak/tingkah laku yang agung” (QS al-Qalam:4).
Ayat yang mulia ini ditafsirkan langsung oleh istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ummul mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ketika beliau ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab, “Sungguh akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an“.
Ini berarti bahwa Rasulullah r adalah orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya.
Demikian pula dalam firman-Nya Ta’ala,
{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).
Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah Ta’ala sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “teladan yang baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah Ta’ala.
Ketika menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam“.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas berkata, “Teladan yang baik (pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah Ta’ala) untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam“.
Karena agung dan mulianya kedudukan sunnah inilah, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan anjuran khusus bagi orang yang selalu berusaha mengamalkan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
((من أحيا سنة من سنتي فعمل بها الناس، كان له مثل أجر من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئاً))
Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun“(HR Ibnu Majah)
Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan besar bagi orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Oleh karena itu, imam Ibnu Majah mencantumkan hadits ini dalam kitab “Sunan Ibn Majah” pada bab: (keutamaan) orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamyang telah ditinggalkan (manusia).
Syaikh Muhammad bih Shaleh al-’Utsaimin berkata, “Sesungguhnya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakan kuat (besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan) sunnah dikalangan manusia”.
Para Ulama Ahlus Sunnah Berkomentar
Para ulama Ahlus sunnah adalah sebaik-baik teladan dalam semangat mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai dalam masalah yang sekecil-kecilnya, dan karena inilah Allah Ta’ala memuliakan mereka.
Sampai-sampai imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri dalam ucapannya yang terkenal pernah berkata, “Kalau kamu mampu untuk tidak menggaruk kepalamu kecuali dengan (mencontoh) sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka lakukanlah!”.
Demikian pula ucapan imam ‘Amr bin Qais al-Mula’i. “Kalau sampai kepadamu suatu kebaikan (dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka amalkanlah, meskipun hanya sekali, supaya kamu termasuk orang-orang yang mengerjakannya”.
Bahkan semangat dalam mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam inilah yang menjadi ukuran kebaikan seorang muslim menurut para ulama tersebut.
Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari berkata, “Orang muslim yang paling utama adalah orang yang menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan (manusia), maka bersabarlah wahai para pencinta sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena sesungguhnya kalian adalah orang yang paling sedikit jumlahnya (di kalangan manusia)”.
Oleh karena itulah, para ulama Ahlus sunnah sangat mengagungkan dan memuji orang yang semangat menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pujian yang setinggi-tingginya.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Muhammad bin Aslam ath-Thuusi adalah seorang imam yang disepakati keimamannya (oleh para ulama Ahlus sunnah) dan sangat tinggi kedudukannya. Bersamaan dengan itu, beliau adalah orang yang paling semangat mengikuti sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) di zamannya. Sampai-sampai beliau mengatakan: “Tidaklah sampai kepadaku satu sunnah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali aku selalu mengamalkannya…”. Maka (ketika) seorang ulama Ahlus sunnah di jamannya ditanya tentang (arti) as-sawaadul a’zham (kelompok terbesar/Ahlus sunnah), yang disebutkan dalam hadits “Kalau orang-orang berselisih (pendapat dalam agama) maka hendaknya kalian mengikuti as-sawaadul a’zham“, ulama tersebut menjawab: “Muhammad bin Aslam ath-Thuusi dialah as-sawaadul a’zham“.
Kemudian Ibnul Qayyim berkata, “Demi Allah, benar (ucapan ulama tersebut), karena sesungguhnya jika pada suatu zaman, ada seorang yang memahami sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), (mengamalkannya) dan menyeru (manusia) untuk mengikutinya, maka dialah hujjah (argumentasi penegak kebenaran di jamannya), dialah ijma’ (kesepakatan/konsensus para ulama Ahlus sunnah), dialah as-sawaadul a’zham (kelompok terbesar/Ahlus sunnah), dan dialah sabilul mu’minin (jalannya orang-orang yang beriman), yang barangsiapa memisahkan diri darinya dan mengikuti selainnya, maka Allah akan membiarkan dia (dalam kesesatan) yang diinginkannya dan Allah akan masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”.
Senada dengan ucapan di atas, imam Ahmad bin Hambal berkata, “Tidaklah aku menulis sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali aku telah mengamalkannya, sehingga ketika sampai kepadaku hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam dan memberikan (upah) satu dinar kepada Abu Thaibah (tukang bekam), maka ketika aku berbekam aku memberikan (upah) satu dirham kepada tukang bekam”.
Bahkan para ulama Ahlus sunnah, jika mereka mendapati satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang belum mereka ketahui dan amalkan sebelumnya, maka mereka menganggap itu adalah sebuah kerugian dan musibah besar yang menimpa mereka. Sebagaimana yang terjadi pada imam Ahmad bin Hambal, ketika dia mendengar satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang belum sampai kepada beliau sebelumnya, beliau mengatakan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun (zikir yang diucapkan ketika ditimpa musibah), satu sunnah dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum sampai kepadaku (sebelum ini)?”.
Kita dapati Abu Bakar Ash Shiddiq mengatakan: “Saya tidak meninggalkan sesuatu yang Rasulullah melakukannya kecuali aku pasti melakukannya juga dan saya takut jika saya tinggalkan sesuatu darinya lalu saya sesat.”

Wahai saudaraku…orang yang paling jujur (Abu Bakar) khawatir terhadap dirinya untuk tersesat jika menyelisihi sesuatu dari jalan Nabi. Maka bagaimana jadinya dengan sebuah jaman yang penduduknya mengolok-olok Nabi mereka dan perintah-perintahnya bahkan berbangga dengan menyelisihi dan mengolok-oloknya.
Kami memohon kepada Allah perlindungan dari perbuatan salah dan memohon keselamatan dari amal yang jelek. Demikian dikatakan oleh Ibnu Baththah, seorang ulama akidah yang hidup pada abad keempat hijriyah dalam kitab Al Ibanah,1/246, dan Ta’dhimus Sunnah, 24. Lalu bagaimana jika beliau hidup di jaman kita? Apa yang kira-kira akan beliau katakan?

Seorang tabi’in bernama Abu Qilabah mengatakan: “Jika kamu ajak bicara seseorang dengan Sunnah lalu dia mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari ini dan datangkan Kitabullah.’ Maka ketahuilah bahwa dia sesat.”(Tabaqat Ibni Sa’ad, 7/184, Ta’dhimus Sunnah, 25)

Demikian pula suatu saat Imam Syafi’i ditanya tentang sebuah masalah maka beliau mengatakan bahwa dalam masalah ini diriwayatkan demikian dan demikian dari Nabi. Maka si penanya mengatakan: “Wahai Imam Syafi’i, apakah engkau berpendapat sesuai dengan hadits itu?” Maka beliau langsung gemetar lalu mengatakan: “Wahai, bumi mana yang akan membawaku dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku riwayatkan hadits dari Nabi kemudian aku tidak memakainya?! Tentu, hadits itu di atas pendengaran dan penglihatanku.” (Shifatus Shafwah, 2/256, Ta’dhimus Sunnah, 28).

Pahala bagi Orang yang Berpegang Sunnah Rasul
Karena pentingnya mengagungkan Sunnah Nabi sekaligus beratnya tantangan bagi yang mengagungkannya maka Allah sediakan pahala yang besar bagi mereka yang berpegang teguh dengannya dan menjunjungnya tinggi-tinggi. Dalam sebuah hadits disebutkan:

“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari kesabaran, kesabaran di hari itu seperti menggenggam bara api, bagi yang beramal (dengan Sunnah Nabi) pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh.” Seseorang bertanya: “Limapuluh dari mereka wahai Rasulullah” Rasulullah menjawab: “Pahala limapuluh dari kalian.” (Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi lihat Silsilah Ash Shahihah no. 494)

Dalam hadits yang lain Nabi bersabda:
“Sesungguhnya Islam berawal dengan keasingan dan akan kembali kepada keasingan sebagaimana awalnya maka maka bergembiralah bagi orang-orang yang asing.” Rasulullah ditanya: “Siapa mereka wahai Rasulullah?” Jawab beliau: “Yaitu yang melakukan perbaikan ketika manusia rusak.” (Shahih HR Abu Amr Ad Dani dari sahabat Ibnu Mas’ud, lihat Silsilah Ash Shahihah no. 1273)

Demikian pula Allah menjamin hidayah bagi orang-orang yang mengikuti Nabi dalam firman-Nya:
“Dan jika kalian mentaatinya niscaya kalian akan mendapatkan hidayah.” (An-Nur: 54)
Hidayah untuk menempuh jalan yang lurus baik dengan ucapan atau perbuatan, di mana tidak ada jalan menuju kepada hidayah kecuali dengan taat kepada Rasulullah. Adapun tanpa itu maka tidak mungkin, bahkan mustahil (Taisir Al Karimirrahman, 572-573).

Semakna dengan ayat itu hadits Nabi yang berbunyi:
“Sesungguhnya setiap amalan itu ada masa giatnya dan setiap giat itu ada masa jenuhnya maka barangsiapa yang jenuhnya itu kepada Sunnahku berarti ia mendapatkan petunjuk dan barangsiapa yang masa jenuhnya itu kepada selainnya maka ia binasa.” (Shahih, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Ibnu Amr, lihat Shahihul Jami’ no: 2152)

Selama seseorang berada di atas Sunnah Nabi maka dia tetap berada di atas istiqamah. Sebaliknya, jika tidak demikian berarti ia telah melenceng dari jalan yang lurus sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Umar: “Manusia tetap berada di atas jalan yang lurus selama mereka mengikuti jejak Nabi.” ( Riwayat Al Baihaqi, lihat Miftahul Jannah no.197).
‘Urwah mengatakan: “Mengikuti Sunnah-Sunnah Nabi adalah tonggak penegak agama.” (Riwayat Al Baihaqi, Miftahul Jannah no: 198)

Seorang tabi’in bernama Ibnu Sirin mengatakan: “Dahulu mereka mengatakan: selama seseorang berada di atas jejak Nabi maka dia berada di atas jalan yang lurus.” (Riwayat Al Baihaqi, Miftahul Jannah no. 200)
1) Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah yang banyak dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta atau kebetulan sama-sama berdusta sedang hadits ahad adalah yang selain itu. Ahlussunnah berpendapat bahwa hadits ahad yang shahih harus diterima dan diamalkan. (lihat An Nukat ‘Ala Nudzhatinnadhar, 53-57)

“Dan apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka ambillah sedang apa yang beliau larang darinya maka berhentilah.” (Al Hasyr: 7)

JAKARTA  1/3/2013
READ MORE - Mengamalkan SUNNAH RASULULLAH SAW.
 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman