Senin, 09 September 2013

WANITA DALAM ISLAM (2)


                       
WANITA SEBAGAI ISTRI
Sebagian agama dan sistem menganggap wanita sebagai barang yang najis atau sesuatu yang menjijikkan dari perbuatan syetan yang harus dijauhi dan lebih baik hidup menyendiri.
Sebagian yang lainnya menganggap bahwa kedudukan seorang istri sekedar sebagai alat pemuas nafsu bagi suaminya atau yang meladeni makanannya dan menjadi pelayan di dalam rumah tangganya.
Maka Islam datang untuk mengumumkan batalnya kerahiban dan melarang hidup menyendiri (tak mau menikah selamanya). Sebaliknya, Islam mengajarkan kepada kita bahwa pernikahan adalah salah satu dari tanda-tanda kekuasaan Allah dalam kehidupan ini. Allah SWT berfirman:
"Dan di antara tanda-tanda kekuasann-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhrya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (Ar-Rum: 21)
Ada sebagian sahabat Rasulullah SAW yang ingin memusatkan perhatiannya untuk beribadah dengan cara berpuasa sepanjang siang dan shalat sepanjang malam serta menjauh dari wanita. Maka Rasulullah SAW mengingkari hal itu dengan mengatakan:
"Adapun saya, berpuasa dan makan, shalat dan tidur dan menikahi wanita, maka barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka tidak termasuk golonganku." (HR. Bukhari)
Islam telah menjadikan istri yang shalihah merupakan kekayaan paling berharga bagi suaminya setelah beriman kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya. Islam menganggap istri yang shalihah itu sebagai salah satu sebab kebahagiaan.
Rasulullah SAW bersabda, "Seorang mukmin tidak memperoleh kemanfaatan setelah bertaqwa kepada Allah Azza wa jalla yang lebih baik selain istri yang shalihah, jika suami menyuruhnya dia taat, jika dipandang dia menyenangkan, jika ia bersumpah kepadanya dia mengiyakan, dan jika Suami pergi (jauh dari pandangan) maka dia memelihara diri dan harta (suami)nya" (HR. Ibnu Majah)
Rasulullah SAW bersabda, "Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah." (HR. Muslim)
Rasulullah SAW bersabda, "Di antara kebahagiaan anak Adam (adalah) istri shalihah, tempat tinggal yang baik, dan kendaraan yang baik. (HR. Ahmad)
Islam mengangkat nilai wanita sebagai istri dan menjadikan pelaksanaan hak-hak suami-istri itu sebagai jihad di jalan Allah.
Ada seorang wanita datang kepada Nabi SAW bertanya, "Wahai RasuIullah, sesungguhnya aku adalah delegasi wanita yang diutus kepadamu dan tidak ada satu wanita pun kecuali agar aku keluar untuk menemui engkau." Kemudian wanita itu mengemukakan permasalahannya dengan mengatakan, "Allah adalah Rabb-nya laki-laki dan wanita dan ilah mereka. Dan engkau adalah utusan Allah untuk laki-laki dan wanita, Allah telah mewajibkan jihad kepada kaum laki-laki sehingga apabila mereka memperoleh kemenangan akan mendapat pahala, dan apabila mati syahid mereka akan tetap hidup di sisi Rabb-nya dan diberi rizki. Amal perbuatan apakah yang bisa menyamai perbuatan mereka dari ketaatan? Nabi SAW menjawab, "Taat kepada suami dan memenuhi hak-haknya tetapi sedikit dari kaum yang bisa melaksanakannya." (HR. Tabrani)
Islam telah menetapkan untuk istri hak-hak yang wajib dipenuhi oleh suaminya. Hak-hak itu tak sekedar tinta di atas kertas, akan tetapi Islam menjadikan lebih dari itu yaitu yang mampu memelihara dan mengawasi. Pertama, keimanan dan ketaqwaan seorang Muslim, kedua, hati nurani masyarakat dan kesadarannya, dan ketiga keterikatan dengan hukum Islam.
Pertama kali hak yang wajib dipenuhi seorang suami terhadap istrinya adalah mas kawin yang telah diwajibkan oleh Islam sebagai tanda kecintaan seorang suami terhadap istrinya. Allah SWT berfirman,
"Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika: mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati; maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." (An-Nisa': 4)
Maka di manakah letak wanita dalam peradaban selain Islam yang memberikan sebagian hartanya kepada kaum lelaki, padahal fithrah Allah telah menjadikan wanita itu menuntut dan tidak dituntut (untuk memberi harta).
Hak yang kedua yang harus dipenuhi seorang suami terhadap istrinya adalah nafkah. Seorang suami diwajibkan untuk mencukupi makanan, pakaian, tempat tinggal dan pengobatan kepada istrinya.
Rasulullah SAW menjelaskan hak-hak wanita yang harus dipenuhi oleh seorang suami dalam sabdanya, "Dan bagi wanita (yang diwajibkan) atas kamu (kaum lelaki) rizki mereka dan pakaian mereka dengan ma'ruf (baik)." Yang dimaksud dengan ma'ruf adalah sesuatu yang dianggap baik oleh ahli agama tanpa berlebihan dan tanpa mengurangi. Allah berfirman:
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannnya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadannya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kesanggupan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan." (At-Thalaq:7)
Hak yang ketiga adalah mempergauli dengan baik. Allah SWT berfirman, "Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu), baik dalam berbicara, wajah yang berseri-seri, menghibur dengan bersendagurau dan mesra dalam hubungan.
Rasulullah SAW bersabda, "Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaqnya, dan yang paling bersikap lemah lembut terhadap keluarganya." (HR. Tirmidzi)
Ibnu Hibban berkata dari Aisyah ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya dan saya adalah sebaik-baik (perlakuan) terhadap keluarga saya."
Sirah Nabawiyah secara aplikatif telah membuktikan kelembutan RasuIullah SAW terhadap keluarganya dan akhlaq beliau sangat mulia terhadap para istrinya. Sampai-sampai Rasulullah SAW sering membantu para istrinya untuk menyelesaikan tugas-tugas di rumah dan di antara kelembutan Rasulullah SAW adalah bahwa beliau pernah mendahului Aisyah berlomba lari dua kali, lalu Aisyah mengalahkan beliau sekali dan sekali lagi dalam kesempatan yang lainnya. Maka beliau berkata kepada Aisyah "Ini dengan itu (skor sama)."
Sebagai timbal balik dari pelaksanaan hak-hak yang wajib dipenuhi seorang suami terhadap istrinya, maka Islam mewajibkan kepada istri untuk mentaati suami di luar perkara maksiat. Serta memelihara hartanya, sehingga seorang istri tidak boleh mempergunakan harta tersebut kecuali dengan izinnya. Demikian juga seorang istri wajib memelihara rumahnya sehingga tidak boleh memasukkan orang ke dalam rumahnya kecuali atas seizin suaminya, walaupun itu keluarganya.
Kewajiban-kewajiban ini tidak banyak dan tidak bersifat menzhalimi seorang istri, jika dibandingkan dengan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suaminya. Oleh karena itu setiap hak selalu diimbangi dengan kewajiban, dan di antara keadilan Islam bahwa Islam tidak menjadikan kewajiban itu hanya dibebankan pada wanita saja atau laki-laki saja.
Diriwayatkan bahwa sesungguhnya Ibnu Abbas pernah berdiri di depan cermin untuk memperbagus penampilannya. Ketika ditanya beliau menjawab, "Aku berhias untuk istriku sebagaimana istriku berhias untukku," kemudian membacakan ayat yang artinya:
"Dan para wanita mernpunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya ." (Al Bagarah: 228)
Ini adalah bukti yang nyata tentang dalamnya pemahaman Rasul dan sahabat terhadap Al Qur'an.
Kemandirian Seorang Istri
Islam tidak membiarkan kepribadian wanita itu larut untuk mengikuti kepribadian suaminya sebagaimana tradisi barat. Mereka menjadikan wanita mengikuti suaminya, sehingga nama sang istri tidak begitu dikenal. Demikian juga nasab dan marganya, tetapi cukup dikatakan "fulanah istrinya si fulan."
Adapun Islam telah menempatkan kepribadian wanita secara mandiri. Oleh karena itu kita mengenal istri-istri Rasul SAW dengan nama-nama dan nasabnya seperti: Khadijah binti Khuwailid, Aisyah binti Abu Bakar, Hafshah binti Umar, Maimunah binti Al Harits, dan Shafiyah binti Huyyai yang bapaknya adalah seorang Yahudi yang pernah memerangi Rasulullah SAW.
Sebagaimana kepribadian wanita saat ini tak akan terkurangi dengan ia menikah dan tidak akan kehilangan kemampuannya dalam hal perjanjian jual beli dan muamalah. Dia berhak menjual dan membeli, dia berhak memberi upah, dia berhak memberikan hartanya, bershadaqah, memberi makan dan sebagainya.
Pemahaman seperti ini belum sampai pada wanita Barat kecuali baru-baru ini saja. Dan di sebagian negara, wanita masih sangat terikat dengan keinginan suaminya.
                      WANITA SEBAGAI IBU
Sejarah tidak pernah mengenal adanya agama atau sistem yang menghargai keberadaan wanita sebagai ibu yang lebih mulia daripada Islam.
Sungguh Islam telah menegaskan wasiat (pesan penting) terhadap wanita dan meletakkan wasiat itu setelah wasiat untuk bertauhid kepada Allah dan beribadah kepada-Nya. Islam juga menjadikan berbuat baik kepada wanita itu termasuk sendi-sendi kemuliaan, sebagaimana telah menjadikan hak seorang ibu itu lebih kuat daripada hak seorang ayah, karena beban yang amat berat ia rasakan ketika hamil, menyusui, melahirkan dan mendidik. Inilah yang ditegaskan oleh Al Qur'an dengan diulang-ulang lebih dari satu surat agar benar-benar difahami oleh kita anak manusia. Sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan Kami wasiatkan (perintahkan) kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnnya dalam keadaan lemah yang betambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hannya kepada-Kulah kembalimu." (Luqman: 14)
"Kmi wasiatkan (perintahkan) kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah (pula). Mengandungnnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan...." (Al Ahqaf: 15)
Ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW lalu bertanya,
"Siapakah yang paling berhak saya pergauli dengan baik?" Nabi bersabda, "Ibumu," orang itu bertanya, "kemudian siapa lagi?" Nabi bersabda, "Ibumu," orang itu bertanya, "Kemudian siapa lagi?" Nabi bersabda, "Ibumu, - orang itu bertanya, "Kemudian siapa lagi?" Nabi bersabda, "Ayahmu. (HR. Bukhan Muslim)
Al Bazzar meriwayatkan, ada seorang lelaki sedang thawaf dengan menggendong ibunya, maka lelaki itu bertanya kepada Nabi SAW "Apakah (dengan ini) saya telah melaksanakan kewajiban saya kepadanya?" Nabi menjawab, "Tidak, tidak sebanding dengan satu kali melahirkan."
Berbuat baik kepada ibu berarti baik dalam mempergauli dan menghormatinya, merasa rendah di hadapannya, mentaatinya selain dalam kemaksiatan dan mencari ridhanya dalam segala sesuatu. Sehingga dalam masalah jihad sekalipun, apabila itu fardhu kifayah, maka tidak boleh kecuali dengan izinnya, karena berbuat baik kepadanya termasuk fardhu 'ain.
Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW, lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, saya ingin ikut berperang, saya datang untuk bermusyawarah dengan engkau." Maka Nabi SAW bertanya, "Apakah kamu masih mempunyai ibu?" Orang itu menjawab, "Ya." Nabi bersabda, "Tetaplah kamu tinggal bersamanya, sesungguhnya surga itu berada di bawah kedua telapak kakinya." (HR.Nasa'i)
Ada sebagian sistem yang menghilangkan kekerabatan seorang ibu dan tidak menganggapnya penting, maka datanglah Islam memberikan wasiat kepada saudara ibu laki-laki dan perempuan dan saudara ayah laki-laki dan perempuan.
Ada seorang lelaki datang kepada Nabi SAW lalu berkata, "Sesungguhnya saya telah berbuat dosa, apakah saya masih bisa bertaubat?" Maka Nabi SAW bersabda, 'apakah kamu mempunyai ibu?" la berkata, "Tidak." Nabi bertanya, "Apakah kamu mempunyai bibi?" la menjawab, "Ya" Nabi bersabda, "Berbuat baiklah kepadanya." (HR. Tirmidzi)
Di antara keajaiban Syari'at Islam itu adalah bahwa Islam itu memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada ibu, meskipun ia musyrik. Sebagaimana yang ditanyakan oleh Asma' binti Abu Bakar kepada Nabi SAW tentang hubungannya dengan ibunya yang musyrik. Maka Rasulullah SAW bersabda, "Ya, tetaplah kamu menyambung silaturrahmi dengan ibumu." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Di antara perhatian Islam terhadap seorang ibu dan haknya serta perasaannya bahwa Islam telah menjadikan ibu yang dicerai itu lebih berhak untuk merawat anaknya dan lebih baik daripada seorang ayah.
Ada seorang wanita bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini dahulu saya yang mengandungnya, dan susuku menjadi minumannya dan pangkuanku menjadi tempat ia berlindung. Tetapi ayahnya telah menceraiku dan ingin mengambilnya dariku, maka Nabi SAW bersabda kepadanya' "Engkau lebih berhak (untuk merawatnya) selama engkau belum menikah." (HR. Ahmad)
Umar dengan isterinya yang dicerai pernah mengadu kepada Abu Bakar tentang putranya yang bernama 'Ashim, maka Abu Bakar memutuskan untuk memberikan anak itu kepada ibunya. Kemudian Abu Bakar berkata kepada Umar, "Baunya, ciumannya dan kata-katanya lebih baik untuk anak itu daripada darimu." (HR. Sa'id)
Kekerabatan ibu itu lebih mulia daripada kekerabatan ayah di dalam masalah perawatan.
Keberadaan ibu yang telah diperhatikan oleh Islam dengan sepenuh perhatian ini dan yang telah diberikan untuknya hak-hak, maka dia juga mempunyai kewajiban, yakni mendidik anak-anaknya, dengan menanamkan kemuliaan kepada mereka dan menjauhkan mereka dari kerendahan. Membiasakan mereka untuk taat kepada Allah dan mendorong mereka untuk mendukung kebenaran dan tidak menghalang-halangi mereka untuk turut berjihad karena mengikuti perasaan keibuan dalam hatinya. Sebaliknya ia harus berusaha memenangkan seruan kebenaran daripada seruan perasaan.
Kita pernah melihat seorang ibu yang beriman seperti Khansa di dalam peperangan Qadisiyah. Dialah yang mendorong empat anaknya dan berpesan kepada mereka untuk berani maju ke depan dan teguh menghadapi peperangan dalam kata-katanya yang mantap dan menarik. Ketika peperangan belum selesai, sudah ada pemberitahuan bahwa semua anaknya telah syahid, maka Khansa tidak gusar ataupun berteriak-teriak, bahkan ia berkata dengan penuh ridha dan yakin, "Segala puji bagi Allah yang telah memberi kemuliaan kepadaku dengan gugurnya mereka di jalan-Nya." 
Sumber:Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
oleh Dr. Yusuf Qardhawi
Cetakan Pertama Januari 1997
Citra Islami Press
Jl. Kol. Sutarto 88 (lama)
Telp.(0271) 632990 Solo 57126

JAKARTA  9/9/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman