Kamis, 22 Agustus 2013

RIDHA ALLAH SWT


                        
MENITI RIDHA ALLAH SWT
Seperti dalam Hadith Qudsi:
قَالَ اللهُ : مَنْ لَمْ يَرْضَى بِقَضَائِيْ وَلَمْ يَشْكُرْ بِنِعْمَائِيْ وَلَمْ يَصْبِرْ بِبَلاَئِيْ فَلْيَخْرُجْ تَحْتَ سَمَائِيْ وَلْيَطْلُبْ رَبًّا سِوَائِيْ
Artinya:
“Allah berfirman kepada rasul SAW: Barangsiapa yang tidak ridha atas segala hukum perintah, larangan, janji qadha dan qadar-Ku, dan tidak bersyukur atas segala nikmat-nikmat-Ku, serta tidak sabar atas segala cobaan-Ku, maka keluarlah dari bawah langit-Ku yang selama ini engkau jadikan sebagai atapmu, dan carilah Tuhan lain selain diri-Ku (Allah)”.
Muqaddimah
Ridho itu artinya rela, mencari Ridho Allah artinya mencari apa yang membuat  Allah rela pada kita. Maka seorang yang memiliki prinsip hidup mencari ridho Allah adalah mereka yang menuhankan Allah sekaligus memiliki prinsip Lailahaillallah. Dan siapa yang memiliki filosofi Lailahaillallah dan mengucapkan dengan ikhlas ( mengerti dari dalam hati ) Maka pasti ia akan masuk Syurga dan siapa diakhir kalamnya mengucapkan kalimat Lailahaillallah pasti masuk syurga ( Sabda Nabi Muhammad ).
Tapi yang dimaksud mencari Ridho Allah itu tidak hanya sholat dan ibadah dengan tekun dimasjid. Tidak hanya berzikir atau mengaji, namun memiliki makna yang sangat luas. Ini menyangkut filosofi hidup , menyangkut ideologi .
Konskwensinya sangat luas, seorang yang mencari Ridho Allah maka ia akan mengikuti apa yang diinginkan Allah, Ia akan banyak berbuat baik, berhati lembut, tidak suka menyakiti perasaan saudara , menjaga keamanan sosial, banyak berkorban untuk manusia dan titik akhirnya adalah memanifestasikan kehendak Allah. Sikap-sikap baik yang membiaskan rahmat bagi semesta alam inilah yang menjadi ukurannya.
Kata ridha berasal dari bahasa Arab yang makna harfiahnya mengandung pengertian senang, suka, rela, menerima dengan sepenuh hati, serta menyetujui secara penuh , sedang lawan katanya adalah benci atau tidak senang. Kata ridha ini lazim dihubungkan dengan eksistensi Tuhan dan manusia, seperti Allah ridha kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, sedangkan dengan manusia seperti seorang ibu ridha anaknya merantau untuk menuntut ilmu , ridha erat kaitannya dengan sikap dan pemahaman manusia atas karunia dan nikmat Allah.
Dalam dunia tasawuf, kata ridha memiliki arti tersendiri yang masih berhubungan dengan sikap kepasrahan seseorang di hadapan kekasih-Nya. Sikap ini merupakan wujud dari rasa cinta pada Allah dengan menerima apa saja yang telah dikehendaki oleh-Nya tanpa ada paksaan dalam menjalaninya. Dengan kata lain, ridha lebih memfokuskan perhatian yang ditujukan kepada upaya mengembangkan emosi ridha dalam hati calon sufi kepada Tuhan. Maka janganlah kita berharap memperoleh ridha Tuhan, bila dalam hati kita sendiri tidak tumbuh dengan subur emosi ridha kepada-Nya. Di sini ditanamkan kesadaran bahwa ada tidaknya, atau besar kecilnya ridha Tuhan pada seseorang tergantung pada ada tidaknya atau besar kecilnya ridha hatinya kepada Tuhan.
Makna Ridha
Ridha secara bahasa menerima dengan suka hati, secara istilah diartikan sikap menerima atas pemberian dan anugerah yang diberikan oleh Allah dengan di iringi sikap menerima ketentuan syariat Islam secara ikhlas dan penuh ketaatan, serta menjauhi dari perbuatan buruk(maksiyat), baik lahir ataupun bathin.
Berbicara masalah ridho erat kaitannya dengan sikap dan pemahaman manusia atas karunia dan nikmat Allah. Ridho berasal dari bahasa Arab mengandung pengertian senang, suka, rela, menerima dengan sepenuh hati, serta menyetujui secara penuh, sedangkan lawan katanya adalah benci atau tidak senang. Kata ridha ini lazim dihubungkan dengan eksistensi Tuhan dan manusia, seperti Allah ridha kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, sedangkan dengan manusia seperti seorang ibu ridha anaknya merantau untuk menuntut ilmu.
Ridha kepada Tuhan, menurut para sufi; mengandung makna yang luas, diantaranya: Tidak menentang pada qadha dan qadar Tuhan, menerimanya dengan senang hati, mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanyalah perasaan senang dan gembira, merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat, tidak meminta surga dari Tuhan dan tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka, tidak berusaha sebelum turunnya qadha dan qadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya, bahkan perasaan senang bergelora di waktu cobaan atau musibah datang.
Pada abad ke 9 (3 H) telah muncul perbincangan di kalangan sufi, apakah ridha pada Allah itu termasuk hal atau maqam. Kendati segolongan sufi cenderung memandangnya sebagai hal dan yang lain memandangnya sebagai maqam, rumusan kompromi bisa saja diambil: ia disebut hal pada seseorang, bila ia ridha itu masih bersifat datang dan pergi, belum mantap dalam hatinya; dan disebut maqam, bila ridha itu, karena olah rasa, menjadi mantap dan terus menerus menetap dan menguasai hatinya. Dapat dipahami bahwa orang yang berhati ridho pada Allah itulah orang yang paling berbahagia di dunia, yang tentu berlanjut di akhirat. Ridha itu merupakan hal atau maqam yang amat tinggi dalam pandangan kaum sufi

Orang yang berhati ridha pada Allah memiliki sikap optimis, lapang dada, kosong hatinya dari dengki, selalu berprasangka baik, bahkan lebih dari itu; memandang baik, sempurna, penuh hikmah, semua yang terjadi semua sudah ada dalam rancangan, ketentuan, dan perbulatan Tuhan. Berbeda dengan orang-orang yang selalu membuat kerusakan di muka bumi ini, mereka selalu ridha apabila melakukan perbuatan yang Allah haramkan, dalam hatinya selalu merasa kurang apabila meninggalkan kebiasaan buruk yang selama ini mereka perbuat, bermakna merasa puas hati apabila aktivitas hidupnya bisa membuat risau, khawatir, dan selalu mengganggu terhadap sesamanya. Semuanya itu ia lakukan karena mengikut hawa nafsu yang tanpa ia sadari bahwa sebenarnya syaitan telah menjerat dirinya dalam kubangan dosa.
Keutamaan Ridha Kepada Allah, Islam dan RasulNya
Dari ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
((ذَاقَ طَعْمَ الإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلاً)
“Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha kepada Allah  sebagai Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad sebagai rasulnya”
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan ridha kepada Allah Ta’ala, Rasul-Nya dan agama Islam, bahkan sifat ini merupakan pertanda benar dan sempurnanya keimanan seseorang.
Imam an-Nawawi – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – ketika menjelaskan makna hadits ini, beliau berkata: “Orang yang tidak menghendaki selain (ridha) Allah Ta’ala, dan tidak menempuh selain jalan agama Islam, serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai dengan syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak diragukan lagi bahwa siapa saja yang memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan iman akan masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan kelezatan iman tersebut (secara nyata)”.
Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
- Arti “ridha kepada sesuatu” adalah merasa cukup dan puas dengannya, serta tidak menginginkan selainnya”.
- Arti “merasakan kelezatan/kemanisan iman” adalah merasakan kenikmatan ketika mengerjakan ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala, bersabar dalam menghadapi kesulitan dalam (mencari) ridha Allah Ta’ala dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengutamakan semua itu di atas balasan duniawi, disertai dengan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan melakukan (segala) perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
- Makna “ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan dicegah-Nya. Inilah syarat untuk mencapai tingkatan ridha kepada-Nya sebagai Rabb secara utuh dan sepenuhnya.
- Makna “ridha kepada Islam sebagai agama” adalah merasa cukup dengan mengamalkan syariat Islam dan tidak akan berpaling kapada selain Islam. Demikian pula “ridha kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasul” artinya hanya mencukupkan diri dengan mengikuti petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, serta tidak menginginkan selain petunjuk dan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
JAKARTA  22/8/2013
'

12 komentar:

  1. Maaf izin share, terima kasih :)

    BalasHapus
  2. Tulisan yang menarik , tambah lagi ya :) salam sukses

    BalasHapus
  3. Tulisan yang menarik , tambah lagi ya :) salam sukses

    BalasHapus
  4. tulisannya bagus, bisakah dicantumkan sumber kitab atu bukunya?
    terima kasih :)

    BalasHapus
  5. Bernas isi uraian ini, semoga tambah maju Blog ini

    BalasHapus
  6. Alhamdhulillah..
    Jelas sekali makna RIDHO...
    Jazakallahu khair....barakallah fiik...

    BalasHapus
  7. Assalamualaikum, Ijin share untuk menmbah iman dan pengetahuan sesama, Jazakallahu Khairan

    BalasHapus
  8. Mudah-mudahan membawa keberkahan buat kita semua.

    BalasHapus

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman