Jumat, 23 Agustus 2013

PERNIKAHAN DALAM ISLAM (2)


HIKMAH PERNIKAHAN DALAM ISLAM (2)
Syarat wali Dalam Islam
  • Islam, bukan kafir dan murtad
  • Lelaki dan bukannya perempuan
  • Baligh
  • Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
  • Bukan dalam ihram haji atau umrah
  • Tidak fasik
  • Tidak cacat akal fikiran,gila, terlalu tua dan sebagainya
  • Merdeka
  • Tidak ditahan kuasanya daripada membelanjakan hartanya
Sebaiknya bakal isteri perlulah memastikan syarat WAJIB menjadi wali. Sekiranya syarat wali bercanggah seperti di atas maka tidak sahlah sebuah pernikahan itu. Sebagai seorang mukmin yang sejati, kita hendaklah menitik beratkan hal-hal yang wajib seperti ini. Jika tidak di ambil kira, kita akan hidup di lembah zina selamanya.
Jenis-jenis wali
  • Wali mujbir: Wali dari bapa sendiri atau datuk sebelah bapa (bapa kepada bapa) mempunyai kuasa mewalikan perkahwinan anak perempuannya atau cucu perempuannya dengan persetujuannya atau tidak (sebaiknya perlu mendapatkan kerelaan bakal isteri yang hendak dikahwinkan)
  • Wali aqrab: Wali terdekat mengikut susunan yang layak dan berhak menjadi wali
  • Wali ab’ad: Wali yang jauh sedikit mengikut susunan yang layak menjadi wali, jika ketiadaan wali aqrab berkenaan. Wali ab’ad ini akan berpindah kepada wali ab’ad lain seterusnya mengikut susunan tersebut jika tiada yang terdekat lagi.
·         Wali raja/hakim: Wali yang diberi kuasa atau ditauliahkan oleh pemerintah atau pihak berkuasa negeri kepada orang yang telah dilantik menjalankan tugas ini dengan sebab-sebab tertentu
Ciri-ciri bakal suami
  • beriman & bertaqwa kepada Allah s.w.t
  • bertanggungjawab terhadap semua benda
  • memiliki akhlak-akhlak yang terpuji
  • berilmu agama agar dapat membimbing bakal isteri dan anak-anak ke jalan yang benar
  • tidak berpenyakit yang berat seperti gila, AIDS dan sebagainya
  • rajin berusaha untuk kebaikan rumahtangga seperti mencari rezeki yang halal untuk kebahagiaan keluarga.
Ciri-ciri bakal isteri
  • beriman & solehah
  • rupa paras yang sedap mata memandang, dapat menyejukkan hati suami
  • memiliki akhlak-akhlak yang terpuji
  • menentukan mas kahwin yang rendah
  • wanita yang subur
  • masih dara
  • berasal dari keturunan yang baik
  • bukan keturunan terdekat
  • tidak memandang harta semata-mata
·         Kewajiban Suami
·         Pertama: Bergaul dengan istri dengan cara yang ma’ruf (baik)
·         Yang dimaksud di sini adalah bergaul dengan baik, tidak menyakiti, tidak menangguhkan hak istri padahal mampu, serta menampakkan wajah manis dan ceria di hadapan istri.
·         Allah Ta’ala berfirman,
·         وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
·         Dan bergaullah dengan mereka dengan baik.” (QS. An Nisa’: 19).
·         وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
·         Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.” (QS. Al Baqarah: 228).
·         Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
·         خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى
·         Sebaik-baik kalian adalah yan berbuat baik kepada keluarganya. Sedangkan aku adalah orang yang  paling berbuat baik pada keluargaku” (HR. Tirmidzi no. 3895, Ibnu Majah no. 1977, Ad Darimi 2: 212, Ibnu Hibban 9: 484. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
·         Ibnu Katsir rahimahullah berkata mengenai surat An Nisa’ ayat 19 di atas, “Berkatalah yang baik kepada istri kalian, perbaguslah amalan dan tingkah laku kalian kepada istri. Berbuat baiklah sebagai engkau suka jika istri kalian bertingkah laku demikian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 400)
·         Berbuat ma’ruf adalah kalimat yang sifatnya umum, tercakup di dalamnya seluruh hak istri. Nah, setelah ini akan kami utarakan berbagai bentuk berbuat baik kepada istri. Penjelasan ini diperinci satu demi satu agar lebih diperhatikan para suami.
·         Kedua: Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal dengan baik
·         Yang dimaksud nafkah adalah harta yang dikeluarkan oleh suami untuk istri dan anak-anaknya berupa makanana, pakaian, tempat tinggal dan hal lainnya. Nafkah seperti ini adalah kewajiban suami berdasarkan dalil Al Qur’an, hadits, ijma’ dan logika.
·         Dalil Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
·         لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا
·         Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7).
·         وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
·         Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma'ruf” (QS. Al Baqarah: 233).
·         Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bapak dari si anak punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada ibu si anak, termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya tanpa bersikap berlebih-lebihan dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).
·         Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika haji wada’,
·         فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
·         “Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti. Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf” (HR. Muslim no. 1218).
·         Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
·         أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ - أَوِ اكْتَسَبْتَ - وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
·         Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
·         Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
·         خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
·         Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).
·         Kewajiban Istri
·         Kewajiban-kewajiban Khusus untuk Istri terhadap Suami:
·         1.     Menerima kepemimpinan suami: Apabila dalam kehidupan suami-istri dan keluarga timbul masalah dan problem maka solusi yang diambil dengan keputusan final suami. Namun keputusan yang merupakan tugas suami ini tidak boleh keluar dari pola interaksi yang baik, syariat dan hukum serta disalahgunakan oleh suami.
·         2.     Memenuhi kebutuhan seksual (tamkin) suami: Istri dalam masalah hubungan seksual dan seluruh kenikmatan seksual lainnya harus senantiasa menyambut dan menerima ajakan suami seukuran kemampuan jasmani dan ruhani sesuai dengan pandangan urf. Lain halnya apabila ia memiliki alasan syar’i dan legal seperti adat perempuan (haidh), sakit dan lain sebagainya.
·         3.     Mengikuti suami dalam urusan tempat tinggal dan rumah hunian kecuali pihak suami memberikan kebebasan kepada istri untuk memilih atau berbeda dengan status sosial istri atau terdapat bahaya yang dapat mengancam jiwa dan raga bagi istri.
·         4.     Menaati suami dalam urusan keluar rumah dan masuknya orang lain ke dalam rumah. Dalam batasan urf, kecuali untuk menunaikan tugas-tugas keagamaan seperti haji wajib atau harus pergi berobat ke dokter atau apabila istri berdiam di rumah akan membahayakan jiwa, raga dan kemuliaan bagi wanita.
·         5.     Mematuhi suami dalam urusan pekerjaan dan jenis pekerjaan apabila ia bekerja tidak sesuai dengan pandangan urf, waktu, ruang, situasi dan jenis kelamin pria dan wanita.
·         Sejauh ini yang dibahas adalah kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab istri di hadapan suami yang dijelaskan secara ringkas.
Wanita-wanita Yang Haram Dikahwini
1. Perempuan-perempuan yang haram dikahwini itu terbahagi kepada dua bahagian:
·         i. Haram buat selamanya.
ii. Haram buat sementara waktu.
2. Sebab-sebab haram dikahwini:
·         i. Haram dengan sebab keturunan.
ii. Haram dengan sebab susuan.
iii. Haram dengan sebab persemendaan. ( Musyaharah )
3. Haram dengan sebab keturunan:
·         i. Ibu dan nenek hingga ke atas.
ii. Anak dan cucu hingga kebawah.
iii. Adik-beradik perempuan seibu-sebapa atau sebapa atau seibu sahaja.
iv. Ibu saudara sebelah bapa ( adik beradik perempuan sebelah bapa ) hingga ke atas.
v. Ibu saudara sebelah ibu ( adik-beradik perempuan sebelah ibu ) hingga ke atas.
vi. Anak saudara dari adik-beradik lelaki hingga kebawah.
vii. Anak saudara dari adik-beradik perempuan hingga ke bawah. - Firman Allah s.w.t. yang bermaksud:

"Diharamkan ke atas kamu mengahwini ibu kamu, anak saudara, emak saudara sebelah bapa , emak saudara sebelah ibu , anak saudara dari saudara lelaki dan anak saudara dari saudara perempuan kamu ".
( Surah An-Nisaa' - Ayat 22 )
4. Haram dengan sebab susuan :
·         i. Ibu yang menyusukan.
ii. Saudara perempuan sesusuan. Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :
·         "Diharamkan ibu-ibu yang menyusukan kamu dan saudara- sudara kamu sepersusuan". ( Surah An-Nisaa' - Ayat 23 )
·         Sabda Rasulullah s.a.w yang bermaksud:
·         "Haram dari susuan sebagaimana haram dari keturunan ". (Riwayat Bukhari dan Muslim)
·         Perempuan-perempuan yang haram dengan sebab susuan adalah sama dengan orang-orang yang haram dengan sebab keturunan.
Makna Thalaq
Talaq dari segi bahasa bererti melepaskan ikatan.
Dari segi syara‘ ialah melepaskan ikatan perkahwinan dengan menggunakan lafaz talaq atau seumpamanya.
Firman Allah subhanahu wata‘ala:
Maksudnya:
“Cerai (talaq) itu dua kali, selepas itu peganglah isteri kamu (ruju‘ dan kekallah) dengan cara yang baik atau lepaskanlah dengan cara yang baik.”
(Surah Al-Baqarah, 2:229)
Hadith yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anh yang bermaksud:
“Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam telah menceraikan isterinya Hafsah kemudian Baginda meruju`nya semula.”
(Riwayat Abu Daud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
Rukun dan Syarat Thalaq
1. Suami. Syarat-syarat suami ialah:
a) Mestilah seorang lelaki itu telah menjadi suami melalui perkahwinan yang sah, tidak jatuh talaq jika belum berkahwin atau setelah bercerai dan habis ‘iddah.
b) Hendaklah dalam keadaan sedar, tidak jatuh talaq jika sekiranya gila, pengsan, mengigau dan pitam kecuali mabuk yang disebabkan meminum minuman keras dengan sengaja.
c) Baligh.
d) Dengan rela hati dan tidak dipaksa, tidak jatuh talaq jika diugut menceraikan isteri.
2. Isteri. Syarat-syarat isteri:
a) Perempuan yang diceraikan hendaklah menjadi isteri yang sah semasa diceraikan.
b) Talaq akan bertambah lagi jika suami mentalaqkan isteri yang di dalam ‘iddah perceraian talaq satu.
3. Sighah (lafaz). Sighah talaq terbahagi kepada dua:
a) Lafaz sarih (terang), iaitu yang diucapkan dengan terang dan jelas. Lafaz sarih ini terbahagi kepada tiga ucapan seperti berkata: “Aku ceraikan engkau talaq satu”, “Aku lepaskan kau” dan “Aku talaqkan kau”. Talaq dengan lafaz yang seperti ini akan jatuh talaqnya walaupun tanpa niat.
b) Lafaz kinayah (lafaz kiasan), iaitu cerai yang dilafazkan menggunakan bahasa sindiran seperti berkata: “Engkau haram atas diriku” atau “Pergilah balik ke rumah emak bapak kamu”. Lafaz kinayah ini akan jatuh talaq jika suami berniat menceraikan isterinya.
4. Qasad (niat).
Hukum Thalaq
Hukum menjatuhkan talaq pada asalnya diharuskan dalam Islam, tetapi ia akan berubah menjadi:
1. Wajib: Setelah rumahtangga itu gagal diperbaiki dengan keputusan hakim atau suami telah bersumpah untuk menceraikan isterinya.
2. Haram: Menceraikan isteri semasa isteri di dalam waktu haidh atau ketika suci tetapi baru disetubuhi.
3. Sunat: Jika suami tidak dapat menyempurnakan nafkah batin.
4. Makruh: Boleh menjadi haram jika menceraikan isteri tanpa sebab yang munasabah.
Islam menetapkan hanya suami sahaja yang mempunyai kuasa untuk menjatuhkan talaq. Walaubagaimanapun, isteri juga diberikan hak untuk memohon cerai dengan cara fasakh atau khul‘ (tebus talaq).

Pembagian Thalaq
Talaq terbahagi kepada dua jenis iaitu:
1. Talaq raj‘i, iaitu talaq yang boleh diruju‘ kembali tanpa perlu akad nikah iaitu ketika isteri dalam waktu ‘iddah (sebelum tiga kali suci daripada haidh).
2. Talaq ba’in, ia terbahagi kepada dua:
a) Ba’in sughra ialah talaq yang tidak boleh diruju‘ oleh suami kecuali diadakan akad nikah semula iaitu perceraian sama ada melalui fasakh, khul‘ atau talaq isteri yang belum disetubuhi.
c) Ba’in kubra ialah talaq yang tidak boleh diruju‘ kembali dengan cara biasa melainkan setelah syarat berikut dipenuhi:
i. Setelah selesai ‘iddah si isteri.
ii. Bekas isteri berkahwin dengan suami lain.
iii. Suami lain menyetubuhi bekas isteri itu dan berlaku perceraian.
iv. Selesai ‘iddah dari suami yang lain itu.
Makna Ruju’
Ruju‘ dari segi bahasa bererti kembali.
Manakala dari segi syara‘ pula ialah mengembalikan isteri kepada nikah dalam waktu ‘iddah yang bukan talaq ba’in.
Ruju‘ adalah hak yang diberikan oleh Islam kepada bekas suami untuk melanjutkan ikatan perkahwinannya dengan bekas isteri yang diceraikannya sebelum habis waktu ‘iddah isteri.
Firman Allah subhanahu wata‘ala:
Maksudnya:
“Dan suami-suami, mereka lebih berhak untuk mengambil kembali (ruju‘) akan isteri-isteri di dalam masa ‘iddah itu jika mereka bertujuan mahu membuat perdamaian.”
(Surah Al-Baqarah, 2:228)
Allah subhanahu wata‘ala juga berfirman:
Maksudnya:
“Maka apabila mereka telah mendekati akhir ‘iddah, ruju‘lah mereka dengan cara yang ma‘ruf (baik) atau ceraikan mereka dengan cara yang ma‘ruf (baik).”
(Surah At-Talaq, 65:2)
Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda kepada ‘Umar ketika dikhabarkan bahawa anaknya (‘Abdullah) telah menceraikan isterinya ketika haidh maka Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam bersabda yang bermaksud:
“Suruh anakmu supaya dia rujuk kepada isterinya.”
(Maksud Al-Hadith)
Rukun Ruju’
Ruju‘ mempunyai tiga rukun iaitu:
1. Sighah iaitu lafaz yang menunjukkan kembali kepada isteri sama ada secara sarih (terang) mahupun kinayah (kiasan).
2. Murtaji‘ iaitu suami yang mempunyai syarat-syarat tertentu.
3. Isteri iaitu perempuan yang telah dinikahi dengan nikah yang sah.
Syarat-Syarat Ruju’
1. Suami:
a) Hendaklah seorang yang berakal.
b) Baligh.
c) Dengan kehendak dan kerelaan sendiri bukan paksaan daripada sesiapa.
d) Tidak murtad.
2. Isteri:
a) Hendaklah yang sudah dicampuri.
b) Mestilah yang diceraikan dengan talaq raj‘iyy. Bukan dengan perceraian secara fasakh, khul‘ dan juga talaq tiga.
c) Hendaklah ditentukan orangnya jika suami berkahwin lebih daripada satu dan telah menceraikan beberapa orang isterinya.
3. Hendaklah tidak dihadkan kepada sesuatu masa dan waktu. Tidak sah ruju‘ dalam masa yang tertentu sahaja.
4. Tidak bergantung kepada sesuatu syarat. Ruju‘ disyari‘atkan adalah bertujuan untuk membolehkan suami isteri yang telah bercerai dengan talaq raj‘iyy meneruskan kembali ikatan perkahwinan mereka yang telah terputus dengan syarat isteri masih lagi dalam ‘iddah. Tetapi perlu diingat bahawa ruju‘ hendaklah dengan tujuan untuk berdamai bukan kerana ingin menyakiti, menganiaya isteri dan sebagainya.
JAKARTA  23/8/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman