Selasa, 23 April 2013

KITAB MUBIN...



        DAN KAMI KUMPULKAN DALAM KITAB INDUK YANG NYATA
Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang yang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh). [Yasin : 12].
Ayat yang tertera di atas, masih ada hubungannya dengan ayat sebelumnya yang berbunyi :
إِنَّمَا تُنذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمَـنَ بِالْغَيْبِ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَأَجْرٍ كَرِيمٍ
Sesungguhnya kamu hanyalah memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Rabb Yang Maha Pemurah walaupun dia tidak melihatNya. Maka berilah dia kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia. [Yasin : 11].
Ada Dua Hal Yang Menyatukan Kedua Ayat Tersebut. 
Pertama : Setalah Allah menceritakan kondisi orang yang mampu mengambil manfaat dari peringatan Rasulullah dan juga keadaan orang yang menutup telinga darinya (dalam ayat sebelumnya), maka dalam ayat ini, Allah menyatakan bahwa mereka semua akan hidup kembali setelah kematiannya, dan akan mendapat balasan sesuai dengan amalannya. Oleh karena itu, hubungan antara keduanya sangat jelas. Sebab ayat ini mengandung kabar gembira bagi orang mukmin yang menerima dakwah dan juga sekaligus berisi peringatan serta ancaman bagi orang-orang menentang.

Kedua : Setelah Allah menceritakan tentang orang-orang yang mendustakan (ayat-ayatNya), sebenarnya penolakan itu libarati kematian. Jika Allah mampu menghidupkan jasad kasar orang-orang yang telah meninggal secara hakiki, tentu Dia juga mampu menghidupkan mereka yang meninggalsecara maknawi (dalam kekufuran. Maksudnya memberikan hidayah).
Tafsir Ayat 
{
إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ الْمَوْتَى } artinya, sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang yang mati … { إِنَّا } yang berarti Kami, adalah dhamir jamak (kata ganti jamak tunggal) yang mewakili lafzhul jalalah (Allah) yang satu. Berarti bentuk ini, pasti ditujukan sebagai ta’zhim (pengagungan kepada Allah).
{ الْمَوْتَى } artinya, semua yang sudah mati, mencakup anak Adam dan lain sebagainya. Namun firman Allah selanjutnya { وَنَكْتُبُ مَاقَّدُموا وَءَاثَارَهُمْ } mengarah kepada orang-orang yang mukallaf (orang terkena beban syari’at) secara khusus. Para ulama berselisih pandangan mengenai bentuk seperti di atas.
Syaikh ‘Utsaimin berpendapat : “Bisa disebutkan bahwa yang dimaksud orang-orang yang telah meninggal, yang bekas-bekasnya dituliskan. Ini dengan dasar firmanNya { وَنَكْتُبُ مَاقَّدُموا وَءَاثَارَهُمْ}. Mungkin ada orang yang berkata, perhitungkanlah keumuman dalam lafazh {الْمَوْتَى} yaitu setiap yang telah mati وَنَكْتُبُ dan Kami akan menuliskan apa yang ditinggalkan sebagian mereka, yaitu hanya orang-orang yang mukallaf saja.
Timbul pertanyaan, dalam firman Allah وَنَكْتُبُ مَاقَّدُموا وَءَاثَارَهُم yang berarti: Dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan; Apakah yang menuliskannya itu Allah Azza wa Jalla atau para malaikat dengan titahNya?
Jawabannya, yang menuliskannya ialah para malaikat yang bergerak atas perintah dari Allah. Allah berfirman:
كَلاَّ بَلْ تُكَذِّبُونَ بِالدِّينِ {9} وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ {10} كِرَامًا كَاتِبِينَ {11} يَعْلَمُونَ مَاتَفْعَلُونَ {12}
Bukan hanya durhaka saja, bahkan kamu mendustakan hari Pembalasan. Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (perbuatanmu). Yang mulia (di sisi Allah ) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu). Mereka mengetahui apa yang kamu yang kerjakan. [Al Infithar : 9-12].
Penisbatan penulisan kepada subyek yang memerintahkan, banyak berlaku dalam sastra Arab.
مَاقَّدُموا segala yang mereka tinggalkan, maksudnya segala amalan shalih yang mereka kerjakan di dunia. Karena, orang muslim yang melakukan amalan shalih di dunia, berarti ia telah menyuguhkan amalan tersebut. Bagaikan orang yang bertransaksi dalam bentuk as salm. Dalam transaksi salm, sang pembeli menyerahkan harga (barang atau jasanya terlebih dahulu). Maka, engkau (yang sedang beramal shalih) sekarang ini sedang membayar tarif di muka. Adapun balasannya, ia akan menerima di hari Kiamat kelak. Balasannya, juga bisa terjadi di dunia dan di hari Kiamat sekaligus. Jika Anda mengamalkan ama shalih sekarang ini, sejatinya Anda telah mendahulukan harga buat diri Anda sendiri yang akan dinikmati balasannya di hari Kiamat. Yakinlah, Allah tidak menyia-nyiakan amalan orang yang berbuat baik. { وَنَكْتُبُ مَاقَّدُموا وَءَاثَارَهُم }
Menurut Imam As Suyuthi, yang dimaksud adalah Kami (Allah) menulis segala yang mereka kerjakan di Lauh Mahfuzh. Tafsiran ini tidak sesuai dengan ayat di atas secara tekstual. Sebab, bentuknya fi’il mudhari’ (continous tense/ kata kerja untuk yang sedang terjadi). Kata kerja seperti itu, tidak boleh diarahkan kepada masa lampau, kecuali dengan adanya suatu dasar. Sementara di sini, tidak ada pendukungnya. Sebab penulisan dalam Lauh Mahfuzh telah tuntas. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِن بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ اْلأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ
Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang shalih. [Al Anbiya` : 105].
Proses penulisan dalam Lauh Mahfuzh sudah paripurna. Oleh karena itu, tidak bisa dibenarkan kata نكتب digunakan untuk sesuatu yang telah usai. Maka, maksudnya adalah pencatatan dalam lembaran-lembaran amalan yang dikerjakan oleh para malaikat atas perintah Allah Azza wa Jalla terhadap apa yang manusia lakukan di dunia, baik berupa kebaikan ataupun kejahatan. Manusia akan mendapatkan balasannya. Tetapi kebaikan akan terjamin keberadaannya. Sedangkan amalan yang buruk tidak dijamin keberadaannya.
Kebaikan, meskipun sedikit, ia tidak mungkin terabaikan. Sedangkan kejelekan, kadang akan diampuni oleh Allah, asalkan bukan berbentuk kesyirikan. Disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selaionnya bagi yang dikehendaki” [an-Nisaa : 5] [5]
Ini baik sekali bagi manusia sebab kejelekan tidak dijamin keberadaannya.
{
وَءَاثَارَهُم } Bentuk tunggal atsar, artinya, semua yang mengiringi. Misalnya, bekas telapak kaki setelah berjalan. Maka, bekas telapak kaki ini mengiringinya. Apakah yang dimaksud dengan bekas-bekas (yang mereka tinggalkan)? Imam As Suyuthi menafsirkannya dengan segala sesuatu yang diikuti orang lain sepeninggalnya. Namun penafsiran ini hanya sekedar contoh saja, bukan sebagai pembatasan makna. Sebab obyek yang ditulis lebih banyak dari sekedar yang diikuti orang setelah meninggalnya. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Bila ada anak Adam meninggal, maka telah terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara. (Yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang berdoa untuknya.[1]
Sebagai contoh, sedekah jariyah termasuk atsar-atsar (bekas-bekas peninggalannya). Jika ada seseorang yang mewakafkan ladang atau kebunnya untuk para orang miskin dan mereka dapat mengambil manfaat darinya setelah meninggal, maka tak pelak lagi, demikian ini terhitung sebagai bagian dari atsarnya. Kendatipun penyerahannya waktu ia masih hidup, tapi pemanfaatannya setelah wafatnya. Ilmu yang bermanfaat juga termasuk atsar. Setiap ilmu yang dapat dimanfaatkan setelah kematian, maka termasuk atsarnya. Demikian juga anak shalih termasuk atsar, lantaran ia merupakan usaha orang tuanya. Jika anak shalih mendoakan ayah atau ibunya, maka itu termasuk atsar. Disamping itu, rintisan amal shalih atau akhlak luhur yang diikuti orang lain, juga merupakan atsar. Jadi atsar sifatnya terjadi setelah kematian seseorang.
وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُّبِينٍ (Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).)
Kata إِمَامٍ dipakai untuk beberapa makna yang maksudnya sebagai rujukan. Sebagai permisalan, imam shalat. Disebut imam, karena ia menjadi sumber rujukan para makmun dalam shalat. Lauh Mahfuzh disebut sebagai imam lantaran menjadi sumber. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَكُلُّ إِنسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنشُورًا {13}
اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا
Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari Kiamat sebuah kitab yang ia jumpai dalam keadaan terbuka. “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu itu sebagai penghisab terhadapmu”. [Al Isra` : 13-14].
Kesimpulannya, kata imam di sini bermakna kitab.
مُّبِينٍ ( yang nyata), yang terlihat jelas. Mubin, artinya menjelaskan dan menerangkan segala perkara.
Namun juga berarti bayyin (yang jelas).
Beberapa Pelajaran Dari Ayat Di Atas
1. Adanya penjelasan tentang kekuasaan Allah k dalam menghidupkan manusia yang telah mati. Allah membuktikannya dengan beberapa dalil aqli dan hissi (bisa ditangkap panca indera). Di antara dalil aqli yang termaktub dalam ayat:
وَهُوَ الَّذِي يَبْدَؤُا الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ وَهُوَ أَهْوَنُ عَلَيْهِ
Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali dan menghidupkannya kembali lebih mudah bagiNya. [Ar Rum : 27]
Ini sebuah petunjuk mengenai mungkinnya menghidupkan kembali orang yang telah mati. Sebab, proses pengulangan lebih mudah daripada memulai. Dzat yang mampu memulai penciptaan, maka Dia sudah pasti lebih mudah untuk mengulanginya kembali. Persis seperti kandungan ayat:
كَمَا بَدَأْنَآ أَوَّلَ خَلْقٍ نُّعِيدُهُ وَعْدًا عَلَيْنَآ إِنَّا كُنَّا فَاعِلِينَ
Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama kali, begitulah Kami akan mengulanginya. [Al Anbiya`: 104].
Berkaitan dengan petunjuk yang dapat dicerna panca indera, contoh ayatnya sangat banyak. Misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى اْلأَرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَآ أَنزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَآءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْىِ الْمَوْتَى إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
Dan sebagian dari tanda kekuasaanNya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya (Dzat) Yang Menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. [Fushshilat : 39].
Allah menegaskan kekuasaanNya dalam menghidupkan orang-orang yang telah mati dengan berbagai petunjuk aqli (pandangan logis) dan hissi. Dalil aqli kita pergunakan dalam menghadapi orang rasionalis. Sedangkan petunjuk, diarahkan kepada orang yang berpikir dangkal.
2. Ayat di atas memberitakan sebuah isyarat (sinyal) dari Allah, bahwa orang yang hatinya tidak merasa takut kepadaNya, tidak sudi mengikuti Adz Dzkr (Al Quran), Allah tetap berkuasa untuk menghidupkan hatinya, sehingga takut kepadaNya. Setelah Allah menyebutkan klasifikasi manusia yang terbagi menjadi golongan yang takut kepadaNya dan mengikuti Adz Dzikr, dan golongan yang tidak demikian, maka ini mengisyaratkan bahwa Allah dapat mengembalikan mereka menuju kepada pangkuan al haq (kebenaran).
3. Segala sesuatu yang muncul dari manusia telah tertulis, baik yang akan menolongnya atau perkara yang akan menjadi bebannya di akhirat berdasarkan firmanNya:
وَنَكْتُبُ مَاقَّدُموا وَءَاثَارَهُمْ
4. Allah mencatat segala sesuatu, baik yang sedikit ataupun banyak berdasarkan firmanNya :
مَاقَّدُموا
5. Amal perbuatan tidak terhenti dengan kematian dengan dasar firmanNya :
وَءَاثَارَهُمْ , dan kata atsar mencakup ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah, anak shalih yang mendoakan orang tua dan amalan Sunnah yang dihidupkan dan diikuti orang-orang.
6. Penjelasan tentang hikmah Allah Azza wa Jalla dalam mengendalikan perkara-perkara dengan ketelitian dan kejelianNya. Tidak ada satu pun yang terlewatkan. Pelajaran ini dapat dipetik dari firmanNya:
وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُّبِينٍ
7. Segala sesuatu yang dituliskan atas manusia benar lagi jelas, tidak ada seorang pun yang meragukannya. Ini terpetik dari kata مُّبِينٍ , sesuatu yang menerangkan dengan gamblang. Kerena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنشُورًا {13} اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا
Dan Kami keluarkan baginya pada hari Kiamat sebuah kitab yang ia jumpai dalam keadaan terbuka. “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu itu sebagai penghisab terhadapmu”. [Al Isra` : 13-14].
Tafsir Ayat 1-6
YaaSiin. Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah, sesungguhnya kamu salah seorang dari Rasul-rasul, yang berada di jalan lurus, sebagai wahyu yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak leluhur mereka belum pernah diberi
peringatan, karena itu mereka alpa. (Q.s. Yaasiin 1-6)

Yaasiin. Allah swt bersumpah dengan dua hal yang menunjuk kesiapan paripurnanya, sebagaimana Allah swt menyebutnya dalam surat Thaha (dan demi Al-Qur’an yang penuh hikmah) yang merupakan keparipurnaan penuh, yang selaras dengan kesiapannya, dan karena itu merupakan sebab segala perkara dari para Rasul melalui jalan Tauhid yang disifati dengan predikat Istiqomah.
Huruf (Ya’) merupakan isyarat atas NamaNya yang Maha Memelihara, dan huruf (Siin) pada Namanya As-Salaam yang menjaga keselamatan fitrah anda dari segala kekurangan di zaman Azali. Dijaga dari bencana hijab hasrat bangkit dan ibadah. As-Salaam merupakan kenyataan dan sekaligus pokok utamanya.

Sedangkan al-Qur’an yang penuh bijaksana merupakan proyeksi atau gambaran atas keparipurnaan As-Salaam itu sendiri, yang mengintegrasikan seluruh keparipurnaan, yang mengandung berbagai hikmah agung.

Sesunggunhnya kamu (Muhammad saw.), -- disebabkan oleh tiga hal di atas – tergolong orang-orang yang diutus (para Rasul).
Sebagai Wahyu dari Yang Maha Perkasa nan Penyayang, yakni Al-Qur’an yang memiliki kandungan universal bagi hikmah, yang merupakan cermin kesiapaan paripurna anda. Wahyu yang turun dengan manifestasinya, mengurai dari kandungan global atas hamparan manifestasimu, agar bisa menjadi pembeda dari Yang Maha Perkasa nan Mengalahkan, Yang Mengalahkan seluruh keakuanmu, dan sifat bangkitmu dan Maha PerkasaNya dengan kekuatanNya agar dirimu tidak “muncul”, serta menghalangi munculnya Al-Qur’an yang tersembunyi dalam batinmu pada tempat hamparan hatimu, serta proyeksi sebagai pembeda.

Allah Yang Maha Penyayang, Yang  memanifestasikan sifat PenyayangNya padamu melalui penampilan nyata Sifat-sifat keparipurnaan dengan segala pirantinya.

Agar kamu memberi peringatan kepada kaum, dimana bapak leluhurnya belum pernah meraih keparipurnaan sebagaimana – seharusnya  ada pada --kesiapan paripurna mereka.  Dan mereka belum pernah mendapatkan peringatan sebagaimana peringatanmu kepada mereka.

“Dan mereka dalam keadaan alpa” atas apa yang diturunkan pada mereka, karena mereka tidak memiliki kesiapan sampai batas paripurna.
“Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, maka mereka tidak beriman. Sesungguhnya Kami  telah memasang belenggu di leher mereka lalu tangan mereka diangkat ke
dagu, maka karena itu mereka tertengadah.  Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding, maka Kami tutup mereka lalu mereka tidak bisa melihat.
Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang yang mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Rahman dengan batin ghaibnya, maka berilah kabar gembira  dengan ampunan dan pahala yang mulia
 (dari Tuhannya). Sesungguhnya Kami menghidupkan yang mati dan Kami menuliskan apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan  dalam Kitab Induk yang nyata.” (Q.s. Yaasiin 7-12)

(Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka,)  telah berlaku ketentuan Allah Ta’ala bahwa mereka adalah golongan orang-orang celaka.
(Maka mereka tidak beriman.) Sebab manakala kesiapan-kesiapan munculmu menguat kokoh, menguat pula bencana celaka mereka dalam kejahatan, sebagaimana menguatnya orang-orang yang diberi kebahagiaan dakam kebajikan.

(Sesungguhnya Kami  telah memasang belenggu di leher mereka) berupa belenggu watak laghiriyah kesenangan badani dan menyenangi dosa-dosa yang hina.

(Lalu tangan mereka diangkat ke dagu,) yang menghalangi kepala mereka untuk menunduk, menerima anugerahNya, karena leher mereka yang merupakan ruas-ruas menyambung ke kepala, hingga batas kepala itu dari bawah, sampai menolak penerimaan hidayah, tidak bisa dipengaruhi oleh aktivitas, tidak bisa condong untuk rukuk dan sujud dalam rangka pefanaan. Karena proses kepatripurnaan manusia tidak akan berhasil kecuali dengan rasa hina dina di hadapanNya, serta remuk redam jiwanya.

(Maka karena itu mereka tertengadah.) Terhalang dari kemampuan menerimaNya, sebab kepala-kepala mereka lebih mendongak.

(Dan Kami jadikan di hadapan mereka dinding) dari Arah Ilahi melalui hijab nafsu dan sifat-sifatnya yang menguasai hati, hingga terhalang untuk memandang ke atas dalam rangka merindukan pertemuan Al-Haq Ta’ala saat  memandang Cahaya KemahaindahanNya.

(Dan di belakang mereka dinding,)  dari arah badan kasarnya berupa hijab watak alam jasmani dankenikmatan fisik yang menghalangi atas upaya melaksanakan perintah dan menjauhi laranganNya. Sehingga mereka terhalang untuk beramal shaleh yang dinilai sebagai kebajikan.
Serta mereka terhalang dari Sifat-sifat JalaliyahNya (KemahabesaranNya)  maka Kami tutup mereka lalu mereka tidak bisa melihat jalan pengetahuan dan amal baik, karena mereka terpaku pada berhala-berhala badan dengan penuh kekacauan ketika menyembahnya. Berhala yang tidak memiliki kemampuan apa-apa.

(Maka Kami tutup mereka)  dengan Kami tenggelamkan dalam alam imajiner serta terlingkup oleh pakaian-pakaian fisik).
( Lalu mereka tidak bisa melihat.) disebabkan oleh tebalnya hijab dari berbagai arah yang melingkupi mereka, hingga mereka tak melihat apa pun dan tak ada bekas-bekasnya, lalu ada peringatan maupun tidak tetap saja sama.

(Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan) yakni memberi pengaruh peringatan tersebut (kepada orang yang mengikuti peringatan) karena cahaya kesiapan dan sifat-sifatnya, yang menyebabkan pengaruh hidayah atas kesiapan menerimanya, berupa Tauhid Fitri, dan Ma’rifat Orisinal, hingga mereka berdzikir dan (takut kepada Tuhan Yang Maha Rahman dengan batin ghaibnya,)  yang tervisualkan melalui keagunganNya dengan ketersembunyian TajalliNya, lalu mereka menempuh jalan agar sampai kepada yang tak tampak di matanya, namun bisa melihat melalui CahayaNya.

(Maka berilah kabar gembira  dengan ampunan) yang agung karena Allah telah membuka hijab tindakanNya, Sifat dan DzatNya.

(Dan pahala yang mulia (dari Tuhannya).  Dari sisi TindakanNya, Sifat dan DzatNya itu.
Sesungguhnya Kami menghidupkan yang mati dan Kami menuliskan apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan  dalam Kitab Induk yang nyata.
RUJUKAN: TAFSIR AL-UTSAIMI DAN IBNU ARABY
JAKARTA  24/4/2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman