Selasa, 09 April 2013

TAFSIR ORIENTALIS





                              KELEMAHAN  TAFSIR  ORIENTALIS


A.    PENDAHULUAN
Kajian terhadap al-Qur’an dan hadis memang menarik bukan saja bagi sarjana-sarjana Muslim sejak masa awal Islam, tetapi juga bagi kalangan orientalis. Kata orientalis di sini dipakai sejalan dengan definisi  Robert D. Lee dalam bukunya Overcoming Tradition and Modernity yang merujuk arti semua sarjana non-muslim, baik Barat maupun Timur yang mempelajari dan meneliti persoalan ketimur-tengahan secara khusus atau keislaman secara umum (Lee, 1997: 12).  
Berbagai kegiatan yang dilakukan orientalis pun cukup beragam, baik yang bersifat subjektif maupun objektif. Kegiatan yang dilakukan oleh para orientalis dilandasi oleh motif yang beragam pula, di antaranya motif keagamaan, imperialisme, kolonialisme, bisnis, politis, sampai dengan motif ilmiah. Salah satu motif yang paling besar pengaruhnya dalam kajian yang dilakukan oleh para orientalis terhadap Islam adalah motif keagamaan. Terutama yang berhubungan dengan otentisitas al-Qur’an. Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan mantan guru besar di Universitas Birmingham, Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studik kritis terhadap teks al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.”[1]
Dari hasil kajian para orientalis terhadap Islam, terutama terhadap al-Qur’an dan hadis, muncullah beberapa karya besar bahkan menjadi rujukan baik bagi sarjana muslim maupun non muslim untuk mengkaji Islam.  Namun tidak sedikit di antara karya para orientalis yang tidak jujur maupun tidak objektif dalam memberikan informasi mengenai Islam. Hal ini tidak lepas dari asumsi dasar yang dibangun oleh para orientalis itu sendiri bahwa al-Qur’an bukanlah kitab suci yang otentik. Bahkan Nabi Muhammad dianggap sebagai pengarang al-Qur’an.
Pemikiran para orientalis yang tertuang dalam karya-karya mereka juga tidak luput mempengaruhi ide dan pemikiran para sarjana Muslim seperti Muhammed Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zaid, yang pada akhirnya kedua sarjana muslim tersebut ikut-ikutan tidak mempercayai otentisitas al-Qur’an. Tidak sedikit tuduhan liberal ditujukan kepada kedua tokoh tersebut.
Sebagai umat Islam, tentu kita tidak lupa dengan peringatan Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat ayat 6: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. Artinya, dalam mengkaji agama Islam, umat Islam tidak boleh sembarangan mengambil informasi dari sumber yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Contohnya dalam mengkaji kesejarahan al-Qur’an, umat Islam tidak bisa semata-mata mempercayai informasi yang disampaikan oleh para orientalis yang mempunyai asumsi dasar bahwa al-Qur’an itu tidak otentik. Hal ini akan membuat umat Islam ragu terhadap kitab suci mereka sendiri.
Satu-satunya jalan untuk mengkounter kebatilan adalah dengan kebenaran yang merupakan tugas ilmuwan muslim. Sangat penting dilakukan kajian yang mendalam mengenai Islam dari sudut pandang ulama Islam guna membuktikan dan menunjukkan kebatilan dan kekeliruan ilmiah para orientalis. Artinya, untuk menghancurkan kebatilan pemikiran harus dengan pemikiran yang lurus berdasarkan logika dan persuasi rasio. Untuk itu, makalah ini berusaha memberikan kontribusi mengenai kajian al-Qur’an yang dilakukan oleh para orientalis khususnya dalam bidang tafsir. Dengan demikian akan diketahui letak kelemahan hasil tafsir kajian orientalis.

B.     PEMBAHASAN

Salah satu program orientalis untuk melemahkan Islam adalah dengan melakukan pengkajian dalam bidang tafsir. Dua isu besar yang sering didengungkan oleh para orientalis dalam mengkaji al-Qur’an adalah pertama, mengenai gugatan para orientalis terhadap otentisitas al-Qur’an; kedua, tentang pengaruh Yahudi, Kristen dan Zoroaster terhadap Islam. Berangkat dari masalah ini maka orientalis menggunakan metode kritik Bibel (Biblical Criticism) untuk mengkaji al-Qur’an. Metode ini sebelumnya mereka gunakan untuk mengkaji kitab suci mereka yang bermasalah dan mereka anggap tidak otentik. Sementara al-Qur’an tidak memiliki problem dalam sejarahnya. Artinya, umat Islam sejak dulu hingga saat ini meyakini kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi.
Untuk mengetahui kelemahan hasil tafsiran orientalis, perlu dikaji mengenai metode yang digunakan oleh para orientalis dalam menafsirkan al-Qur’an. Metode tafsir yang dilakukan oleh para orientalis sangat berbeda dengan metode tafsir yang dilakukan oleh para ulama muslim. Hermeneutik adalah salah satu metode yang digunakan oleh para orientalis dalam mengkaji teks al-Qur’an, sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap teks Bibel.
Untuk membandingkan antara metode tafsir para ulama Islam dengan para Orientalis Dalam Lisānul ‘Arab dinyatakan: Kata “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata “at-tafsīr” berarti menyingkapkan maksud suatu lafal yang muskil,[2] sedangkan menurut Abu Hayyan, tafsir ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, indikator-indikatornya, masalah hukum-hukumnya baik yang independen maupun yang berkaitan dengan kondisi struktur lafal yang melengkapinya.”
Menurut Az-Zarkasyi, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Manna’ al-Qaṭṭān, tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad, menerangkan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.”[3] As-Suyūthi, sebagaimana dikutip oleh Al-Qaṭṭān, mengatakan bahwa kebutuhan terhadap al-Qur’an sangat mendesak karena segala kesempurnaan agamawi dan duniawi haruslah sejalan dengan syariat sedang kesejalanan ini sangat bergantung pada pengetahuan tentang Kitab Allah.[4]

Kasus Luxemberg dan Bukunya
Christoph Luxemberg mengklaim bahwa al-Qur’an hanya dapat dimenegrti apabila dibaca mengikut konon bahasa asalnya, yaitu Syro-aramaic (bahasa Aramaic dalam dialek Syriak). Luxemberg adalah warga negara Jerman asal Libanon, penganut Kristen, memperoleh M.A. dan Dr. Phil dalam bidang Arabistik. Pada 28 Mei 2003 yang lalu ia sempat diundang memberikan ceramah di Universitat des Saarlandes mengenai “Pengaruh Bahasa Aramaik terhadap bahasa al-Qur’an” (Der Einfluss des Aramaischen auf die Sprache des Korans). Di samping bertugas sebagai dosen, ia juga aktif menulis dan memberikan wawancara untuk media masa.
Dalam bukunya itu yang diberi judul “Cara membaca al-Qur’an dengan bahasa Syro Aramaik: Sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesukaran memahami bahasa al-Qur’an” (Die syro-aramaic ische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschlusselung der Koransprhace). Luxemberg dengan berani mengklaim:
1.      Bahwa bahasa al-Qur’an sebenarnya bukan bahasa Arab. Karena itu, banyak kata-kata dan ungkapan yang sering dibaca keliru atau sukar dipahami kecuali dengan merujuk bahasa Syro-Aramaik yang konon merupakan lingua franca pada masa itu.
2.      Bahwa bukan hanya kosakatanya berasal dari Syro-Aramaik, bahkan isi ajarannya pun diambil dari tradisi kitab suci Yahudi dan Kristen Syria
3.      Oleh karena itu, al-Qur’an yang ada tidak otentik , perlu ditinjau kembali dan diedit ulang.
Di sini tampak bagaimana orientalis-missionaris mendakwa diri mereka tahu dan paham mengenai al-Qur’an.
Untuk meyakinkan pembacanya, Luxemberg menunjuk sejumlah contoh. Menurut hasil spekulisanya, kata qaswarah dalam QS. 74:51 semestinya dibaca qasuurah.Kata sayyi’at dalam QS. 4:18 semestinya dibaca saniyyat, dari bahasa Syriak sanyata. Juga kata aadzanaka dalam QS. 41:47 seharusnya dibaca idz-dzaka,dan seterusnya.

Sanggahan dan kritik atas Luxemberg
Tidak sukar untuk menyanggah dan menolak Luxemberg, sebab seluruh uraiannya dibangun atas asumsi-asumsi yang keliru.
Pertama, ia menyangka bahwa al-Qur’an dibaca berdasarkan tulisannya, sehingga ia boleh dengan sesuka hati dan semena-mena berspekulasi mengenai suatu bacaan.
Kedua, ia menganggap tulisan adalah segalanya, menganggap manuskrip sebagai neraca dan kriterianya, sehingga suatu bacaan menurut teorinya mesti disesuaikan dengan dan mengikuti teks.
Ketiga, ia menyamakan al-Qur’an dengan bibel, di mana setiap pembaca boleh mengubah dan mengutak-atik teks yang dibacanya bila dirasa tidak masuk akal atau sukar untuk dipahami. Ketiga asumsi ini dijadikan titik tolak dan dasar hujah-hujahnya taken for granted, tanpa terlebih dahulu dibuktikan kebenarannya.
Menurut seorang pakar semitistik yang juga direktur Orientalisches Seminar Universitas Frankurt, Prof. Hans Daiber, dari sudut pandang metodologi pun karya Luxemberg ini cukup bermasalah. Setidaknya ada lima poin yang dikemukakan oleh Daiber mengenai hal tersebut:
Pertama, semua pakar filologi yang mengkaji manuskrip Arab maklum bahwa seringkali suatu perkataan yang ditulis gundul (tanpa baris tanpa harakat) dapat dibaca macam-macam, sehingga tulisan yang sama boleh dibaca misalnya nabaat ataupun banaat. Semua ini boleh saja dilakukan, tergantung konteksnya ataupun mengikuti kehendak dan spekulasi si pembaca. Adapun Luxemberg dalam hal ini telah memilih jalan yang kedua. Yang lebih  celaka lagi, karena yang dikorek-korek oleh Luxemberg bukan lagi teks gundul, melainkan kitab suci al-Qur’an yang sudah ditentukan dan disepakati seluruh bacaannya.
Kedua, Luxemberg boleh jadi telah keliru dalam berasumsi dan mengajukan pertanyaannya. Bahwa para mufassir tidak dapat memahami kata-kata tertentu atau tidak dapat menjelaskan maksud ayat-ayat tertentu bukan karena al-Qur’an berbahasa Syriak. Boleh jadi sejumlah kosakata yang terdapat dalam al-Qur’an asli bahasa Arab tetapi belakangan mengalami pergeseran makna sehingga para mufassir dikatakan menemui kesukaran untuk menerangkannya.
Ketiga, andaikata pun memang sejumlah kosa-kata tersebut berasal dari bahasa Syriak, bukan tidak mungkin kata-kata asing tersebut telah di-islam-kan, telah ditukar dan diisi dengan makna baru yang lebih dalam, lebih tinggi dan lebih luas makna asalnya.
Keempat, untuk mendukung analisis dan hujah-hujahnya, mestinya Luxemberg merujuk Kamus bahasa Syriak atau Aamaic yang ditulis pada abad ke-7 atau ke-8 Masehi dan bukan menggunakan kamus bahasa Chadean abad ke-20 karangan Jacques E. Manna keluaran tahun 1900.
Kelima, boleh jadi juga kosa kata al-Qur’an memang bahasa Arab asli, tidak seperti yang didakwa oleh Luxemberg. Kalaupun ada kemiripan, maka itu hanya kebetulan saja. Sama  halnya dengan kata “kepala” dalam bahasa Melayu-Indonesia yang mirip dengan kata Kephole. Kemiripan tidak mesti menunjukkan pengaruh dan pencurian.

Rasulullah saw., seorang yang ummi
Para orientalis mengira bahwa tidak mungkin Nabi Muhammad buta hururf. Salah satu orientalis yang mengatakan Nabi Muhamma tidak muungkin adalah seorang yang ummi ialah Abraham Geiger. Menurut Geiger, terdapat Hubung kait antara  kata “ummi” dengan ‘am-he-ares”.
Noldeke berpendapat, konsep ummi di dalam al-Qur’an adalah konsep yang bertentangan dengan ahlul kitab. Maksudnya, ummi merujuk pada masyarakat tanpa wahyu. Sementara Schwally menganggap bahwa ummi berasal dari kata umma (bangsa, masyarakat) dan ini pararel dengan bahasa Yunani Kuno laikhos dan laos yang artinya masyarakat, pararel juga dengan bahasa Aramaik almaya. Schwally juga menyatakan bahwa ummi merujuk kepada kosakata Ibrani um-ha-res.
Adapun Hirsfeld berpendapat bahwa Nabi Muhammad bisa membaca dan menulis. Dalam pandangannya, Nabi Muhammad mengetahui aksara Ibrani ketika berkunjung ke Syiria. Selain itu, fakta menunjukkan bahwa Nabi Muhammad bisa menulis ketika di Medinah. Menurutnya, sulit dipercaya jika Nabi Muhammad tidak bisa menulis ketika dia berusia 50 tahun. Selain itu, nama-nama dan kata-kata yang diungkapkan di dalam al-Qur’an menunjukkan Muhammad salah membaca catatan-catatannya yang dibuat dengan tangan yang tidak memiliki skill.
Horovitz berpendapat bahwa Muhammad salah paham ketika mendengar kata “ummi” dari Yahudi di Medinah. Muhammad mencampuradukkan dua istilah Ibrani yaitu ummot ha olam dan am-ha-ares, sekelompok Yahudi yang tidak mengikuti isi kitab suci dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan sesuai dengan hawa nafsu mereka. Menurut Horovitz, Qur’an surat al-Jumu’ah ayat 2 menyebutkan:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ...
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka...”
Oleh karena itu, Muhammad menyebut dirinya sebagai an-nabiy al-ummiy sebagaimana dalam QS. Al-A’raaf ayat 156 dan 158 karena dia berasal dari Arab, bukan dari Israel. Horovitz menafsirkan lebih jauh lagi surat ali Imran ayat 20 yang artinya: Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku." Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam." Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.
Horovitz menafsirkan kata “ummiyyun” di atas sebagai ummot ha olam, masyarakat yang tidak diberi kitab, berbeda dengan para umat terdahulu yang diberi kitab. Berbeda dengan ummiyun yang terdapat pada QS. Al-Baqarah ayat 78, yang merujuk pada arti am-ha-ares, sekelompok Yahudi yang tidak mengetahui dan mengikuti Taurat, namun mengikuti hawa nafsu mereka. Menurut Horovitz, Nabi Muhammad bingung ketika mendengar kedua istilah Ummot ha olam dengan am-ha-ares.
H.G reiner berpendapat bahwa dalam QS. 2:78 Ummiyun berarti seluruh Yahudi di Hijaz. Sedangkan Alfres Guillaume berpendapat bahwa ummiyyun bukanlah Yahudi sepenuhnya. Mereka adalah gentiles, yaitu orang-orang yang memeluk Yahudi namun mereka bukanlah berasal dari Israel, tetapi dari bangsa-bangsa lain.
Kesimpulan para orientalis bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang buta huruf tidaklah tepat. Menurut al-Zajjaj, “kata ummi berasal dari umat yang kondisinya seperti saat dilahirkan oleh ibu, tidak mempelajari tulisan, dan tetap seperti itu hingga dewasa. Dalam pandangan Ibnu Mandzur, kata ummi bermakna tidak bisa menulis. Nabi Muhammad disebut ummi karena umat Arab tidak bisa menulis dan membaca. Allah mengutus Nabi Muhammad yang tidak bisa menulis dan membaca sebagai salah satu mukjizatnya, karena ia membaca kitab Allah dengan sangat teratur, tepat, tidak kurang dan tidak lebih, ketika ia mengulang-ulanginya, tidak sebagaimana orator Arab yang lain.
Para sarjana Barat yang berpendapat Rasulullah bukan ummi tampak sekali ingin menjustifikasi pengaruh Kristen-Yahudi terhadap al-Qur’an. Selain itu, pendapat tersebut juga untuk menjustifikasi bahwa Nabi Muhammad adalah pengaran al-Qur’an. Bagaimanapun, umat Islam telah membuktikan dan akan terus meyakini sepanjang masa bahwa al-Qur’an bukanlah karangan Rasulullah.
Hermeneutika Sebagai Metode Tafsir
Hermeneutika, sebagai sebuah metode penafsiran, tidak hanya memandang teks, tetapi hal yang tidak dapat ditinggalkannya adalah juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Lebih dari itu, ia berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horizon-horizon yang melingkupi teks tersebut, baik horizon pengarang, horizon pembaca, maupun horizon teks itu sendiri. Dengan kata lain, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memerhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam kegiatan penafsiran, yakni teks, konteks, dan kontektualisasi.
Menurut Nashr Hamid Abu Zayd dalam bukunya, “Hermeneutika Inklusif”, problema dasar yang diteliti hermeneutika adalah masalah penafsiran teks secara umum, baik berupa teks historis maupun teks keagamaan. Oleh karenanya, yang ingin dipecahkan merupakan persoalan yang sedemikian banyak lagi kompleks yang terjalin di sekitar watak dasar teks dan hubungannya dengan al-turats di satu sisi, serta hubungan teks di sisi lain. Yang terpenting di antara sekian banyak persoalan di atas adalah bahwa hermeneutika mengkonsentrasikan diri pada hubungan mufassir dengan teks.Ia berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah teks yang berupa bahasa (nasshun lughawiyyun). Peradaban Arab Islam tidak mungkin melupakan sentralisasi teks. Menurutnya, prinsip-prinsip, ilmu-ilmu dan juga kebudayaan Arab Islam itu tumbuh dan berdiri di atas teks.  Namun demikian, teks tidak akan bisa apa-apa kalau tidak ada campur tangan manusia. Artinya, teks tidak akan mampu mengembangkan peradaban dan keilmuan Arab Islam apabila tidak mendapatkan sentuhan dari pemikiran manusia. Dalam pandangan demikian, dengan kata lain agama sebagai teks tidak akan berfungsi apabila keberadaanya tidak dipikirkan manusia. Karenanya, ia berpendapat bahwa perkembangan Islam itu sangat tergantung kepada relasi dialektis antara manusia dengan dimensi realitasnya pada satu sisi, dan teks pada sisi yang lainnya. Di sini jelas terlihat Nashr Hamid Abu Zayd mengganggap Islam dan Al-Qur’an masih harus terus didialektikkan dan harus mengikuti perubahan zaman, bukan hanya dalam tataran praktis, namun juga dalam tataran konsep, termasuk konsep mengenai metode tafsir.
Terlebih lagi, Nashr Hamid dan para hermeneut lain memandang Al-Qur’an hanya sebatas produk budaya, bukan ‘Kalam Allah’ sehingga tidak lepas dari konteks sosio cultural masyarakat Arab saat Al-Qur’an diturunkan (historis kritis). Metode penafsiran Nasr Hamid yang melepaskan posisi teks Al-Qur’an dari ‘Kalam Allah’ dapat dilihat dari kritikannya terhadap metode tafsir Ahlu Sunnah, dengan menyimpulkan : (1) Tafsir yang benar menurut Ahlussunnah, dulu dan sekarang, adalah tafsir yang didasarkan pada otoritas ulama terdahulu; (2) Kekeliruan yang mendasar pada sikap Ahlussunnah, dulu dan sekarang, adalah usaha yang mengaitkan “makna teks” dan‘dalalah’-nya dengan masa kenabian, risalah, dan turunnya wahyu. Ini bukan saja kesalahan “pemahaman”, tetapi juga merupakan ekspresi sikap ideologisnya terhadap realitas – suatu sikap yang bersandar pada keterbelakangan, antikemajuan dan anti-progresivitas. Oleh karena itu kaum Ahlussunnah menyusun sumber-sumber utama penafsiran Al-Qur’an pada empat hal : penjelasan Rasulullah, sahabat, tabi’in, dan terakhir yaitu tafsir bahasa.
Jadi, ketika konsep teks Al-Qur’an dibongkar, dan dilepaskan dari posisinya sebagai ‘Kalam Allah’ maka Al-Qur’an akan diperlakukan sebagai ‘teks bahasa’ dan ‘produk budaya’ sehingga bisa dipahami melalui kajian historisitas, tanpa memperhatikan bagaimana Rasul Allah dan para sahabat beliau mengartikan atau mengaplikasikan makna ayat-ayat Al-Qur’an dalam kehidupan mereka. Dengan pembongkaran Al-Qur’an sebgaai ‘Kalam Allah’, maka barulah metode hermeneutika memungkinkan digunakan untuk memahami Al-Qur’an. Metode ini memungkinkan penafsiran Al-Qur’an menjadi bias dan disesuaikan dengan tuntutan nilai-nilai budaya yang sedang dominan (Barat). Akibatnya, kini muncul konsep-konsep seperti : 1) Relativisme Tafsir dan dekonstruksi syari’ah dan  2) Menolak otoritas Mufassir.
Hermeneutik mengandung sejumlah asumsi dan konsekuensi. Pertama, hermeneutika menganggap semua teks adalah sama. Kedua, hermeneutika menganggap teks sebagai produk sejarah. Ketiga, hermeneutika menuntut praktisinya untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran dari manapun datangnya, dan terus terperangkap dalam apa yang disebut dengan lingkaran hermeneutis, dimana makna senantiasa berubah. Keempat, hermeneutika menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistemologis. Tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Kebenaran terikat dan tergantung pada konteks.

C.    PENUTUP
Rasulullah bersabda: “Siapa saja yang mengatakan sesuatu mengenai al-Qur’an tanpa landasan ilmu dengan opininya sendiri, maka ia telah memesan tempat duduknya di neraka.” (HR. Imam At-Tirmidzi).
Sebagai umat Islam, tidak selayaknya kita semata-mata mengambil metode tafsir yang digunakan oleh para orientalis yang tidak beriman kepada Allah, kitab suci-Nya, maupun kenabian Muhammad SAW. Atas dasar ideologi mereka yang menganggap bahwa al-Qur’an bukan kitab suci atau bahkan Nabi Muhammad sebagai pengarang al-Qur’an, patutlah kita menolak ide dan gagasan yang mereka tawarkan meski atas nama pembaharuan Islam.
Sumber bacaan:
Adnin Armas, M.A, Metodologi Bibel Dalam Studi Al-Qur’an: Kajian Kritis, Jakarta:GIP, 2007, cet. ke-3.
Kartika Pamilia Leatari, Problematika Hermeneutika Dalam Tafsir al-Qur’an,, akses 28 September 2012.
Syarif Syamsudin dkk, Kajian orientalis terhadap al-Qur’an, UIN Syarif Hidayatullah.
Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta: GIP, 2008, cet. ke-1.
Syamsuddin Arif, Sekilas tentang kajian orientalis terhadap al-Qur’an, <

 Tulisan di atas merupakan makalah yang dipresentasikan oleh Ain Nurwindasari, mahasiswi FAI UAD Yogyakarta pada tanggal 6 Oktober 2012 di FAI UAD Yogyakarta. Sebagai tugas mata kuliah TAFSIR ORIENTALIS yang diampu oleh Prof, Drs. Sa'ad Abdul Wachid.




[1] Dikutip oleh Syamsudin Arif dari artikel yang ditulis oleh Alphonse Mingana dalam artikelnya Bulletin of the John Rylands Library (Manchester, 1927) XI:77
JAKARTA  9/4/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman