Senin, 08 April 2013

TAFSIR AL-MANAR






                         TAFSIR  AL-MANAR ,Siapa Penulisnya ?

AJARKAN AL-QUR'AN
Biografi Muhammad Abduh
Nama lengkapnya adalah Muhammad Abduh bin Hasan Khoirillah, lahir pada tahun 1266 H/1849 M dan wafat pada tahun 1323 H /1905 M berasal dari desa Mahallah Nashr  provinsi al-Buhairah Mesir. Orang tua Muhammad Abduh adalah seorang dermawan yang sangat dihormati di kampungnya dan sangat mencintai ilmu, sehingga memotivasi Muhammad Abduh untuk menuntut ilmu. Syaikh Muhammad Abduh adalah seorang ulama besar di al-Azhar, pernah menjabat sebagai Mufti di Mesir, serta menjadi murid dari tokoh yang masyhur, Jamaluddin al-Afghani.[1][4]
Abduh memulai studinya di Masjid al-Ahmadi di Thanta dengan mempelajari ilmu al-Qur’an dan ilmu Tajwid. Beliau belajar di majelis milik pamannya Syekh Mujahid. Kemudian karena beliau tidak mengerti metode belajarnya, beliau melanjutkan studinya bersama pamannya juga yaitu Syekh Darwis Khidr di desa Syibril Khoir, beliau adalah seorang ulama yang benar-benar memahami al-Qur’an dan menganut tarekat al-Ayadzaliyah.[5]
Syaikh Muhammad Abduh telah merintis benih-benih kebangkitan yang berpusat pada kesadaran Islami, upaya pemahaman ajaran sosiologis Islam dan pemecahan agama terhadap problematika kehidupan masa kini. Kebangkitan ini dimulai dengan gerakan Jamaludddin al-Afghani, yakni guru Muhammad Abduh.[6]
Biografi  Muhammad Rasyid Ridha
Muhammad Rasyid Ridha memiliki nama lengkap Sayyid Muhammad Rasyid Ridha ibn ‘Ali Rida ibn Muhammad Syamsuddin ibn al-Sayyid Baha’uddin ibn al-Sayyid Manlan ‘Ali Khalifah al-Bagdadi.[3] Ia dilahirkan pada hari rabu, tanggal 27 Jumadi al-Ula 1282 H atau 18 Oktober 1865 M di Qalamun, sebuah desa yang terletak di pantau Laut Tengah, sekitar tiga mil jauhnya di sebelah selatan kota Tripoli, Libanon.[4] Ayah dan ibunya berasal dari keturunan al-Husayn, putera Ali ibn Abi al-Thalib dengan Fatimah, puteri Rasulallah Saw. Itulah sebabnya ia menyandang gelar al-Sayyid di depan namanya.
Gelar ”Sayyid” pada permulaan namanya adalah gelar yang bisa diberikan kepada semua yang mempunyai garis keturunan tersebut. Keluarga Rasyid Ridha dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang sangat taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga dikenal dengan sebutan ”Syaikh”.[13] Rasyid Rasyid di kenal seorang penulis dan penuntut ilmu yang rajin, dan di Mesir beliau berguru kepada Muhammad Abduh seorang ulama revolusioner dalam ilmu dan ide-idenya dibidang revormasi dan social dan menerbitkan banyak karya-karya beliau.
Tafsir Al-Manar
Al-Manar adalah salah satu kitab tafsir yang banyak berbicara tentang sastra-budaya dan kemasyarakatan. Suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayat Al-Qur'an pada segi-segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penekanan pada tujuan utama turunnya Al-Qur'an, yakni memberikan petunjuk bagi kehidupan manusia, dan merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan kemajuan peradaban manusia.
Tafsir ini bersumber dari perkuliahan Muhammad Abduh tentang Tafsir al-Qur’an yang disampaikan di Universitas al-Azhar, yang disusun setelah ia wafat (tahun 1905) oleh Muhammad Rashid Ridha dengan judul Tafsir al-Qur’an al-Hakim. Namun kemudian, kitab ini lebih populer dengan sebutan Tafsir al-Manar yang pernah diterbitkan secara serial dan periodik.
Kitab ini terdiri dari 12 juz pertama dari al-Qur’an, yaitu surat al-Fatihah sampai dengan ayat 53 surat Yusuf. Penafsiran dari awal sampai ayat 126 surat An-Nisa’ diambil dari pemikiran tafsir Muhammad Abduh, selebihnya dilakukan oleh Rasyid Ridha dengan mengikuti metode yang digunakan Abduh.
Dalam penafsirannya Abduh cenderung mengkombinasikan antara riwayat yang shahih dan nalar yang rasional, yang diharapkan bisa menjelaskan hikmah-hikmah syari’at sunnatullah, serta eksistensi al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia. Selain itu, juga merujukkan penafsirannya pada Tafsir Jalalain. Sedangkan yang khas dari penafsiran Rasyid Ridha – yang tidak terdapat pada Muhammad Abduh -- yaitu: Pertama, tergantung pada riwayat dari Nabi Saw; dan Kedua, banyak menukil pemikiran para mufassir lain. Hal ini dilakukan Ridha, karena ia menilai bahwa Syekh Muhammad Abduh setiap kali dihadapkan dengan masalah selalu mengikuti kata pikiran dan hatinya saja, serta sesuai dengan apa yang beliau baca dan renungkan dalam al-Qur’an.
Metodologi Tafsir al-Manar
Secara global dapat dikemukakan bahwa Muhammad Abduh (guru Muhammad Rasyid Ridha)[8] hidup dalam suatu masyarakat yang tengah disentuh oleh berbagai perkembangan yang ada di Eropa, dimana masyarakatnya sangat kaku, beku dan menutup pintu ijtihad, hal ini muncul karena adanya kecenderungan umat yang merasa cukup dengan produk ulama-ulam terdahulu, sehingga akal mereka beku (jumud), sementara di Eropa sendiri sedang berkembang biak pola kehidupan yang mendewakan akal.[9] Sehingga muncul kelompok yang taqlid (mayoritas jumlahnya) dan kelompok tajdid (minoritas jumlahnya).
Berdasarkan kondisi di atas, Muhammad Abduh bermaksud dalam setiap penuangan pikirannya termasuk dalam kitab tafsirnya berkeinginan untuk selalu mengingatkan sekaligus menyadarkan umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Seruan ini pula yang mengajak umat kepada fungsionalisasi akal dalam memahami al-Qur’an.
Secara umum sebenarnya metode yang dipakai dalam tafsir al-Manar tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab tafsir yang lain yang menggunakan metode Tahlili[12] dengan menerapkan sistematika tertib Mushafi. Namun karena penekanannya terhadap operasionalisasi petunjuk al-Qur’an dalam kehidupan umat Islam secara nyata, maka tafsir ini bisa dikatakan berbeda dengan tafsir-tafsir sebelumnya. Metode yang dirintis oleh Muhammad Abduh ini selanjutnya dikembangkan oleh murid-muridnya, seperti Rasyid Ridha, al-Maraghi dan Amin Khuli.[13]
Pada dasarnya Muhammad Rasyid Ridha mengikuti metode dan ciri-ciri pokok yang digunakan oleh gurunya, Muhammad Abduh. Persamaannya yaitu:
1. Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi
2. Ayat Al-Qur’an bersifat umum
3. Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum
4. Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an
5. Bersikap hati-hati terhadap hadits Nabi saw.
6. Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat
Ide Pembaharuan dalam Tafsir al-Manar
Salah satu ide pembaruan Rasyid Ridha dalam tafsirnya disebabkan adanya kemunduran umat Islam dalam berbagai aspek dan kehidupan lantaran mereka tidak lagi menganut ajaran Islam yang sebenarnya. Perilaku umat Islam juga sudah banyak yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Bid’ah yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat sudah banyak masuk ke dalam Islam. Misalnya, anggapan yang menyatakan bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan rohani yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang dikehendakinya. Padahal menurut ajaran agama, kebahagiaan dunia dan akhirat hanya dapat diperoleh melalui amal usaha yang sesuai dengan sunatullah.[14]
Sebagai tafsir yang membawa pembaharuan, tafsir al-Manar banyak berbicara tentang sunatullah dan menggugah kesadaran umat terhadapnya. Hal tersebut terlihat dengan jelas ketika menafsirkan ayat-ayat akidah (teologis) khususnya yang berkenaan dengan hubungan antara takdir, kehendak, kekuasaan, dan keadilan Allah dengan kehendak, kebebasan, dan kemampuan manusia. Karena itu, maju-mundurnya suatu bangsa, berkembang-runtuhnya suatu negara, bahagia-sengsaranya seseorang dan kalah menangnya suatu kaum di dalam peperangan menurut teologi yang dikembangkan oleh Rasyid Ridha, tidak tergantung pada nasib, tetapi tergantung pada sejauh mana adanya keserasiannya antara perilaku mereka dengan sunatullah.[15]
Profil  dan Tujuan Pokok Tafsir Al-Manar
Tafsir al-Manar yang bernama tafsir al-Qur’an al-Hakim memperkenalkan dirinya sebagai ”Kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syariah serta sunnatullah (hukum Allah yang berlaku) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi al-Quran sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, disetiap waktu dan tempat, serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum Muslim dewasa ini (pada masa diterbitkannya) yang telah berpaling dari petunjuk itu.” tafsir ini disusun dengan redaksi yang mudah sambil berusaha menghindari istilah-istilah ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang awam, tetapi tidak dapat diabaikan oleh orang-orang khusus (cendikiawan). Itulah cara yang ditempuh oleh filosof Islam Syaikh Muhammad Abduh dalam pengajaran di al-Azhar.
Karya-karya Muhammad Abduh dalam bidang Tafsir[7]
1.      Tafsir Juz ‘Amma, yang dikarangnya untuk menjadi pegangan para guru mengaji di Maroko pada tahun 1321 H.[8]
2.      Tafsir Surah Wal ‘Ashr, karya ini berasal dari kuliyah atau pengajian-pengajian yang disampaikannya di hadapan ulama dan pemuka-pemuka masyarakat Al-Jazair.[9]
3.      Tafsir ayat-ayat surah an-Nisa ayat 77 dan 87, al-Hajj ayat 52 sampai 54 dan al-Ahzab ayat 37. Karya ini dimaksudkan untuk membantah tanggapan-tanggapan negativ terhadap Islam dan nabinya.[10]
4.      Tafsir al-Quran bermula dari al-Fatihah sampai dengan surah an-Nisa ayat 129 yang disampaikannya di Masjid al-Azhar, Kairo, sejak awal Muharram 1317 H sampai dengan pertengahan Muharram 1332 H. walaupun penafsiran ayat-ayat tersebut tidak ditulis langsung oleh Syaikh Muhammad Abduh, namun itu dapat dikatakan sebagai hasil karyanya, karena muridnya (M. Rasyid Ridha) yang menulis kuliah-kuliah tafsir tersebut menunjukan artikel yang dimuatnya ini kepada Abduh yang terkadang memperbaikinya dengan penambahan dan pengurangan satu atau beberapa kalimat, sebelum disebarluaskan dalam majalah Al-Manar.[11]
Karya-karya Rasyid Ridha
Disamping tafsir al-Manar Muhammad Rasyid Ridha berhasil menulis banyak karya ilmiah. Beberapa karyanya yang patut dicatat antara lain: Al-Hikmah Asy-Syar’iyyah fi Muhakamati Al-Qadariyyah wa ar-Rifa’iyyah (buku ini adalah awal kitab yang disusunnya ketika beliau masih pelajar di Tripoli negeri Syam), Tarikh al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh (terdiri 3 jilid), Nida al-Jins al-Latif (Huqûq an-Nisâ fi al-Islâm), Al-Wahyu al-Muhammady, Al-Manâr wa al-Azhar, Dzikrâ al-Maulid an-Nabawy, Al-Wihdatu al-Islâmiyyah, Yusru al-Islâm wa ushûl al-Tasyri’ al-Âm, Al-Khilafatu au al-Imamah al ‘Udma, Al-Wahabiyyun wa al-Hijaz, Haqiqatu ar-Riba, Muswatu ar-Rajul bi al-Mar’ah, As-Sunnah wa asy-Syi’ah, Manasik al-Haj, Ahkamuhu wa Hukmuhu, Risalah fi Hujjati al-Islam al-Ghazali, Al-Maqshuratu ar-Rasyidiyyah, Syubhatu an-Nashara wa Hujjaju al-Islam, ‘Aqidatu ash-Shulbi wa al-Fida, Al-Muslimun wa al-Qibti wa al-Muktamar al- Mashry, Muhawaratu al-Mushallih wa al-Muqallid.[6]
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mengalami kecalakaan ketika dalam perjalanan pulang setelah mengantarkan pangeran Sa’ud al-Faisal. Ia menderita gegar otak, kemudian wafat pada tanggal 22 Agustus 1935 M.[7]
1.      Majalah al-Manar, adalah karya yang bahannya bersumber dari uraian yang Muhhammad Abduh uraikan dibeberapa kesempatan ilmiah  yang diterbitkan sebanyak 34 jilid, dalam kisaran tahun 1315 H/1898 M sampai 1354 H /1935 M.
2.      Al-Hikmah Asy-Syar’iyah fii muhakkmat ad-Dadiriyah wa al-Rifa’iyah, buku ini adalah karya pertamanya sewaktu dia masih belajar, isinya adalah bantahan kepada ‘Abd al-Hadi Asy-Syath yang mengecilkan tokoh-tokoh sufi besar seperti Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jailani, juga menjelaskan kekeliruan yang dilakukan oleh para sufi, tentang busana muslim, sikap meniru non-muslim, Imam Mahdi, dan masalah dakwah dan kekeramatan.
3.      Al-Azhar dan al-Manar isinya antara lain : sejarah al-Azhar, perkembangan dan misinya, serta bantahan terhadap ulama yang menentang pendapat ulama-ulama al-Azhar.
4.      Tarikh al-Ustadz al-Imam, berisi riwayat hidup Muhammad Abduh dan perkembangan masyarakat Mesir pada masanya.
5.      Nida’ li al-Jins al-lathif, berisi tentang uraian tentang hak dan kewajiban wanita.[15]
Sumber Penafsiran
Dengan melihat dan mencermati kandungan tafsir al-Manar, bisa dikatakan  bahwa tafsir itu merupakan kolaborasi antara tafsir bi al-matsur/bi al-riwayat dan tafsir bi al-Ra’yi/logika. Dalam penjelasan-penjelasannya, ayat-ayat al-Qur’an menjadi sumber utama dalam penafsirannya. Dan hadits-hadits Nabi yang shahih menurut ilmu-ilmu hadits menjadi sumber berikutnya  dan  semuanya dikaitkan dengan al-Qur’an  sesuai dengan problema yang terjadi di masyarakat.[24]
Karakteristik tafsir al-Manar
Menurut Syahata, sistematika penulisan tafsir Muhammad Abduh memiliki Sembilan ciri:[28]
1.      Melihat setiap surat sebagai satu kesatuan ayat yang  serasi
2.      Ayat al-Qur’an bersifat umum.
3.      Al-Qur’an sumber aqidah dan hukum.
4.      Penggunaan secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an
5.      Menentang dan memberantas taqlid
6.      Tidak memerinci yang mubham
7.      Selektif dalam memasukan hadits
8.      Kritis terhadap pendapat sahabat dan menolak israiliyyat
9.      Mengaitkan tafsir al-Qur’an dengan kehidupan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
·         Faizah Ali Syibromalisi, MA dan Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern”. Jakarta: LITBANG UIN. 2011
·         Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsi. Bandung: Tafakur. 2011
·         Mani’ Abd Halim Mahmud. “Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir”. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006
·         al-Qattan, Manna’. Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an. Kairo: Maktabah Wahdah. 2007
·         Nawawi, Rif’at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Jakarta: Paramadina, 2002
·         al-Khalidi, Sholah Abdul Fatah. Ta’rif ad-DarisÎn bi Manahij al-MufassirÎn. Beirut: Dar al-Syamiyah. 2002
·         Shihab, Qurais, rasionalitas Al-Quran. Tangerang: lentera Hati. 2006.
·        ‘Abd Halim Mahmud, Mani’. Metodologi Tafsir, kajian komprehensif metode para ahli tafsir. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2003.
JAKARTA  8/4/2013



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman