Rabu, 17 April 2013

TAFSIR ADH-DHUHA




                       MENSYUKURI NI’MAT TUHAN
1. Demi waktu matahari sepenggalahan naik, 2. Dan demi malam apabila telah sunyi (gelap) 3. Rabbmu tiada meninggalkan kamu dun tiada (pula) benci kepadamu 4. Dan sesungguhnya hari Kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan) 5. Dan kelak Rabbmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas 6. Bukankah dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu dia melindungimu? 7. Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu dia memberikan petunjuk 8. Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu dia memberikan kecukupan 9. Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang 10. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya 11. Dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu siarkan (QS. Adh-Dhuha [93]: 1-11)
Muqaddimah
Surat Adh-Dhuha memberikan pengajaran dengan sangat mendalam tentang Berpikir Positif. Di lain pihak, Shalat Sunnah Dhuha banyak dianggap sebagai Shalat Sunnah mohon rezki. Lantas apa hubungan dari hal itu semua?
Arti dari Dhuha adalah saat matahari naik di pagi hari. Oleh karena itu waktu ideal melaksanakan shalat Dhuha adalah ketika matahari naik sepenggalan atau sekitar pukul 8, walaupun diperkenankan sejak matahari mulai terbit (sekitar pukul 6.00 s.d 6.30).
Surat ini dimulai dengan qasam (sumpah) dengan huruf wâw (و) dan dhuhâ (ضُحَى) sebagai muqsamu bih-nya (مُقْسَمٌ بِهِ, obyek yang digunakan untuk bersumpah). Pendapat yang berlaku di kalangan ulama terdahulu mengatakan bahwa sumpah al-Qur’an dengan wâw mengandung makna pengagungan terhadap muqsamu bih (مُقْسَمٌ بِهِ). Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan bahwa sumpah Allah dengan sebagian makhluk-Nya menunjukkan bahwa ia termasuk tanda-tanda kekuasaan-Nya yang besar. Menurut Muhammad Abduh, sumpah dengan dhuhâ (cahaya matahari di waktu pagi) dimaksudkan untuk menunjukkan pentingnya dan besarnya kadar kenikmatan di dalamnya. Berarti pada saat matahari naik di pagi hari (Dhuha) dan pada saat sunyinya malam ada rahasia penting tentang nikmat Allah di dalamnya.
Tafsir Ayat
“Bukankah Dia dapati engkau dalam keadaan yatim, lalu Dia pelihara engkau?” (ayat 6).
Ini adalah lanjutan bujukan Tuhan pada ayat sebelumnya, bahwa Allah akan memberi kurnia kepada beliau sebanyak-banyaknya, sehingga beliau merasa ridha, senang gembira. Yang demikian itu adalah kurnia yang dijanjikan. Adapun sebelum nikmat itu pun telah banyak, banyak sekali. Lalu Tuhan Allah memperingatkan nikmat yang beliau terima sejak beliau kecil. Ayah beliau telah meninggal semasa beliau lagi dalam kandungan ibunya 2 bulan. Setelah dia lahir ke dunia, sejak dari penjagaan ibu yang menyusukan beliau di desa Bani Sa’ad, yang bernama Halimatus-Sa’diyah, sampai pulangnya ke Makkah dalam usia 4 tahun, sampai dalam pemeliharaan neneknya Abdul Muthalib, sampai pula kepada sambutan pemeliharaan Abu Thalib saudara ayahnya, jelas sekali pada semuanya itu bahwa beliau tidak pernah lepas dari pemeliharaan dan pengasuhan Allah.
“Dan didapati-Nya engkau dalam keadaan bingung, lalu Dia pimpin?” (ayat 7). Sejak masa muda belianya telah kelihatan beliau tidak menyukai perbuatan-perbuatan kaumnya, menyembah berhala, menternakkan uang dengan riba, memperbudak sesama manusia dengan sesuka hati, menguburkan anak-anak perempuan hidup-hidup. Kadang-kadang berperang di antara satu kabilah dengan kabilah yang lain hanya karena soal-soal kecil. Beliau menolak semuanya itu. Tetapi beliau bingung, tak tahu jalan, bagaimana memperbaiki kebobrokan yang didapatinya dalam masyarakat ini. Lalu tertariklah hatinya hendak menyisihkan diri, menjari kejernihan pada jiwa, memohonkan petunjuk kepada Allah, maka datanglah wahyu. Dan diceritakan pula bahwa wahyu itu datang bertingkat-tingkat. Mulanya berupa suatu mimpi yang benar, kemudian sebagai bunyi lonceng. Akhirnya datanglah malaikat membawa wahyu pertama di gua Hira’. Dengan datangnya wahyu sebagai hidayat daripada Allah, hilanglah kebingungan beliau dan dapatlah beliau memimpin kaumnya dan bangsa dan dunia seluruhnya.
“Dan didapati-Nya engkau dalam keadaan miskin, lalu Dia cukupkan.” (ayat 8). Miskin hartabenda meskipun kaya budi, sampai akhirnya menerima sambutan kekayaan Khadijah dan berniaga ke Syam. Akhirnya pulang dari Syam kawin dengan janda kaya itu, sehingga sejak itu menjadi orang yang termasuk kayalah beliau di Makkah karena kekayaan isterinya.
Dari kecil yatim dipelihara oleh Tuhan. Dalam kebingungan diberi petunjuk oleh Tuhan. Dalam keadaan miskin, dinaikkan Tuhan jadi orang kaya. Ini semuanya adalah nikmat yang telah beliau terima lebih dahulu dan akan banyak nikmat lagi.
Untuk mensyukuri nikmat yang berganda lipat yang telah diterima dan akan diterima itu:
“(Oleh sebab itu), adapun anak yatim, janganlah engkau hinakan.” (ayat 9).
Oleh sebab engkau sendiri telah merasai keyatiman itu, dan Allah sendiri yang menanamkan kasih-sayang kepada pengasuh-pengasuhmu di waktu engkau kecil, hendaklah engkau tunjukkan pula kasih-sayang kepada anak-anak yatim. Jangan engkau bersikap keras kepadanya, jangan mereka dipandang hina. Tanamkanlah perasaan pada anak-anak yatim itu bahwa mereka dibela, dibelai dan dikasihi. Hartabenda mereka hendaklah terjamin baik sampai dapat mereka terima sendiri setelah mereka dewasa.
Ini berlaku sendiri dalam kehidupan Rasulullah. Bagaimana beliau memperlakukan anak-anak yatim, yang ayah mereka mati dalam perjuangan, jihad fi sabilillah. Ketika beliau meminang Ummi Salamah yang suaminya Abu Habsyi Salamah telah turut berjuang mendampingi Rasulullah, sampai hijrah ke Habsyi dan kemudian hijrah ke Madinah dan mati dalam jihad, meninggalkan anak-anak yatim, beliau katakan kepada Ummi Salamah, bahwa anak-anak yatim itu akan diasuh dan dididik bersama. Di antara anak-anak itu ialah Zainab. Beliau ini terkenal cerdas fikiran dalam ilmu fiqh. Selalu disebut namanya Zainab binti Abu Salamah, rabibatu Rasulillah, (anak tiri atau anak didik Rasulullah). Berkata Abu Rafi’ Ash-Shaaigh: “Kalau aku terkenang ahli-ahli fiqh di negeri Madinah, selalu aku teringat akan Zainab. Dia adalah perempuan yang paling ahli fiqh di Madinah.”
Ja’far bin Abu Thalib adalah kepala rombongan yang hijrah ke negeri Habsyi dan tinggal di sana bertahun-tahun. Setelah dia pulang di tahun ketujuh hijrah, dia turut pergi ke berperang ke Mut’ah dan tewas syahid dalam peperangan itu bersama dengan Zaid bin Haritsah dan Abdullah bin Rawahah.
Tiga hari setelah berita kematian Ja’far itu Rasulullah SAW pergi melihati anak-anak yatim yang ditinggal mati oleh Ja’far itu. Lalu beliau berkata: “Jangan kalian menangis juga mengingati saudaraku Ja’far mulai hari ini.”
“Sejak hari itu kami beliau panggilkan “Ibnu Akhi” anak saudaraku” , kata Abdullah bin Ja’far. Anak yatim Ja’far bin Abu Thalib itu dua orang; Muhammad dan Abdullah. Ketika ayahnya syahid anak-anak itu masih amat kecil-kecil, seorang digendong dan seorang dibimbing oleh ibunya. Lalu beliau SAW menyuruh memanggil tukang cukur, beliau suruh cukur kepala anak-anak itu. Setelah itu beliau pegangi dan beliau kemban keduanya. Kepada Muhammad beliau katakan: “Muhammad ini menyerupai paman kami Abu Thalib. Tetapi Abdullah (yang kecil) menyerupai aku, baik rupanya atau bentuk badannya.” Kemudian beliau ambil tanganku kata Abdullah, diangkatkannya ke langit lalu beliau berdoa: “Ya Allah, turunkanlah pengganti Ja’far dalam kalangan putera-puteranya, dan beri berkatlah Abdullah dalam segala usahanya.”
Maka mendekatlah ibu anak-anak itu kepada beliau dan airmatanya berlinang, sedih memikirkan anak-anak ini. Lalu beliau bersabda pula: “Jangan kau takut dan cemaskan keadaan mereka. Aku akan menjadi pengasuh mereka dunia dan akhirat.”
Kemudian hari, lama setelah Rasulullah SAW meninggal, terkenallah Abdullah bin Ja’far karena kekayaannya dan kedermawanannya.
Makbul padanya doa Rasulullah.
“Dan adapun orang yang datang bertanya, janganlah engkau hardik.” (ayat 10). As-Saail mempunyai dua arti. Yaitu bertanya dan meminta.
Dalam tafsiran menurut yang pertama, kalau datang orang menayakan soal-soal agama yang musykil baginya dan dia tidak tahu, hendaklah beri dia jawaban yang memuaskan. Janganlah jengkel atau marah kepadanya jika ternyata dia bodoh. Inilah menurut tafsir Ar-Razi.
Tafsir yang kedua: “Jika ada orang datang meminta tolong, meminta bantu karena dia berkurangan, jangan engkau sambut dengan sifat angkuh dan menghardik.” Ini menurut Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari.
“Dan adapun dengan nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau dermakan.” (ayat 11). Artinya syukurilah nikmat Tuhan yang telah engkau terima. Kekayaan yang bersifat benda atau bersifat kejiwaan, hendaklah engkau dermakan pula. Hendaklah engkau murah tangan dan hendaklah engkau nyatakan syukurmu kepada Tuhan atas nikmat itu. Janganlah engkau bakhil setelah beroleh kekayaan. Ingatlah betapa sakitnya hidup miskin sebagaimana telah engkau derita sebelum beristri Khadijah.
Ayat ini sangat pula mempengaruhi beliau. Sehingga kerapkalilah baju gamis atau jubah yang selalu beliau pakai sendiri, beliau hadiahkan kepada seseorang, setelah dilihatnya dengan mata yang kaya dengan firasat itu bahwa orang tersebut amat ingin akan pakaian yang beliau pakai.
Ini banyak diceritakan di dalam Hadis-hadis.
Berkata Ustazul Imam Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsir Juzu’ ‘Ammanya: “Sudah menjadi kebiasaan orang yang bakhil menyembunyikan bahwa dia orang kaya, untuk jadi alasan baginya menahan dari memberikan bantuan kepada orang lain atau untuk kepentingan umum. Biasa saja dia mengatakan bahwa dia sedang susah! Adapun orang yang telah melatih diri jadi dermawan senantiasalah memberikan harta kurnia Allah yang telah diterimanya. Dan selalu dia memuji Tuhan, karena telah mencurahkan rezeki kepadanya. Lantaran itulah maka mendermakan harta, memberi makanan fakir dan miskin dan membantu orang-orang yang sangat memerlukan bantuan, di ujung ayat ini disebut fahaddits, yang artinya secara harfiyah; hendaklah sebut-sebut! Bukan disebut–sebut dengan mulut, melainkan dibuktikan dengan perbuatan, sampai akhirnya mau tidak mau, jadi buah sebutan yang baik dari orang yang dibantu.
Ayat ini terhadap kepada Nabi Muhammad, perluaslah bantuan kepada fakir miskin. Bukanlah artinya menyebut-nyebut saya kaya, kekayaan saya sekian; karena itu namanya membangga dan menyombong. Bukan itulah yang disuruhkan Allah kepada Rasul-Nya. Tidak pernah tersebut dalam riwayat bahwa beliau membanggakan kekayaan. Yang tersebut hanyalah bagaimana cepatnya beliau mengeluarkan harta kekayaannya untuk membantu orang lain. Malahan kadang-kadang untuk keperluan dirinya sendiri dia lupa mengingatnya.” Demikian isi tafsir Syaikh Muhammad Abduh.
Dan kita lihatlah Siirah atau riwayat hidup beliau SAW. Di waktu di Makkah memang beliau kaya dengan hartabenda yang ditinggalkan Khadijah. Hartabenda itu pulalah yang menjaga muruah beliau, sehingga bagaimanapun besarnya rintangan kaum Quraisy, beliau tetap dapat menjaga gengsi dan martabat diri. Dan kemudian setelah hijrah ke Madinah terbukalah dunia Arab di hadapannya, seluruh masyriq dan maghrib telah jatuh ke bawah kuasanya, dan Tuhan memberikan seperlima bahagian dari harta rampasan perang (ghanimah)untuk beliau, dan yang empat perlima lagi untuk para mujahidin. Tetapi dicatatlah oleh riwayat bahwa pernah sebulan rumahnya tidak berasap, dan pernah beliau memulai niat puasa siang hari saja, karena persediaan makanan untuk sarapan pagi tidak ada di rumah. Dan seketika beliau meninggal dunia tidaklah ada pusaka warisan yang beliau tinggalkan selain dari setengah guni gandum, seekor unta tua dan sebuah tombak, tetapi tergadai pula di rumah seorang Yahudi.
Pernah beliau jelaskan: “Seperlima harta rampasan itu dijelaskan untuk aku. Tetapi dia pun aku kembalikan kepada kamu.” Yaitu fakir miskin, orang-orang tua, orang-orang lemah, orang sakit, anak-anak yatim yang semuanya itu tidak ada kesanggupan turut berperang fi Sabilillah.
***
Menurut riwayat mufassir Ibnu Katsir, ada beberapa Hadis menerangkan bahwa setelah kita selesai membaca Surat Adh-Dhuha, sunnatlah kita membaca takbir:
Allahu Akbar, Walillahilham
Setelah selesai membaca Takbir itu barulah kita teruskan membaca Surat Alam Nasyrah.
Syaikh Syihabuddin Abu Syamah di dalam kitabnya “Syarahusy-Syathibiyah” meriwayatkan dari Asy-Syafi’i, bahwa Asy-Syafi’i mendengar seseorang membaca Takbir sesudah membaca Surat Adh-Dhuha dalam sembahyang. Lalu beliau berkata: “Perbuatanmu itu baik dan telah tepat menurut sunnah.”
Perlindungan Allah swt dan Anugerah Kepada Rasulullah saw
Pertama: Allah عزّوجلّ berfirman: أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيماً فَآوَى “Bukankah Allah mendapatimu dalam keadaan yatim lantas Allah yang memberikan perlindunganNya?” (QS. Adh-Dhuha [93]: 6) Ath-Thabari رحمه الله menafsirkan "dalam keadaan yatim kemudian Allah menjadikan orang-orang yang melindungi dan menjagamu agar engkau ternteram padanya. Yakni kematian keluarga terdekat namun Allah عزّوجلّ terus memberikan pertolongan dan kemenangan kepadaNya?1 Kedua: Allah سبحانه و تعالي berfirman: وَوَجَدَكَ ضَالّاً فَهَدَى “Dan Allah mendapatimu sebagai seorang yang bingung lalu Dia memberikan petunjuk".(QS. Adh-Dhuha [93]: 7) Yakni dalam kondisi tidak berilmu, kemudian Allah mengajarkanmu ilmu yang belum engkau ketahui? Bahkan Allah menganugerahkan taufikNya agar engkau memiliki akhlak yang sangat agung nan mulia?2 Ketiga: وَوَجَدَكَ عَائِلاً فَأَغْنَى “Dan mendapatkanmu fakir, maka Dia menjadikan(mu) kaya.” (QS. Adh-Dhuha [93]: 8) Syaikh Sa'di رحمه الله berkata dalam tafsirnya, "Allah سبحانه و تعالي mendapatimu dalam keadaan fakir, kemudian Allah عزّوجلّ memberikan kecukupan kepadamu? ... Dia lah yang membuatmu kaya, melindungimu, memberikan petunjuk bagimu dan memberikanmu kemenangan,. Kemudian Dia عزّوجلّ menerima balasan dengan engkau bersyukur kepadaNya.3 Kandungan makna firman Allah ini mengisyaratkan bahwa para Nabi adalah orang-orang yang kaya dalam kefakiran mereka, dan mereka fakir dalam kecukupan yang mereka terima. Kefakiran yang hakiki ialah konsistensi sikap sangat membutuhkan Allah سبحانه و تعالي dalam segala kondisi. Seorang hamba berikrar meyakini pada setiap urusannya sekecil apapun baik yang nampak maupun yang tersembunyi bahwa dirinya menyandang puncak kefakiran kepada Allah عزّوجلّ.4 Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله menjelaskan, "Ketahuilah, sesungguhnya kekayaan yang diiringi dengan sikap bersyukur adalah kebaikan ganda... dan sikap zuhud tidak menutup kesempatan menjadi kaya. Justru zuhud seorang yang kaya lebih sempurna dari pada sikap zuhud seorang yang fakir. Sebab zuhud dalam kondisi kaya adalah zuhud dari kelapangan (materi) dan kekayaan. Adapun zuhud dalam kondisi fakir ialah zuhud dari kekurangan dan keterbatasan. Aku mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata "Zuhud adalah sikapmu meninggalkan apapun yang tidak bermanfaat bagimu, adapun wara' adalah sikapmu meninggalkan segala hal yang mendatangkan keburukan bagimu. Maka zuhud adalah kosongnya hati dari (ambisi) dunia, bukan kehampaan dua tangan dari dunia, sehingga zuhud adalah lawan dari sikap kikir dan ketamakan". Sesungguhnya Rasulullah adalah sosok teladan yang paling sabar dalam semua kondisi yang menuntut kesabaran, dan beliau m adalah sosok teladan yang paling bersyukur dalam setiap kondisi yang menuntut sikap syukur. Allah سبحانه و تعالي. telah menyempurnakan budi pekerti dan akhlak beliau di puncak syukur di atas syukurnya orang-orang kaya, serta beliau mencapai puncak kesabaran di atas kesabaran orang-orang yang miskin...5 1 Jami'ul
Pelajaran Dari Surat Adh-Dhuha
BEBERAPA PELAJARAN DARI SURAT ADH-DHUHA, DI ANTARANYA: 1. Allah سبحانه و تعالي sangat mencintai Rasulullah صلي الله عليه وسلم. Allah عزّوجلّ tidak pernah marah kepada beliau, tidak pula meninggalkannya tanpa bimbingan. Sesungguhnya Allah عزّوجلّ tidak akan sedikit pun membiarkan Rasul-Nya tercinta berada dalam kondisi buruk karena Allah senantiasa mencintai dan melindunginya. 2. Allah menjanjikan kebaikan bagi Rasulullah صلي الله عليه وسلم di dunia dan di akhirat. Di dunia, dengan memberikan perlindungan, bimbingan petunjuk dan keluasan rezeki. Adapun di akhirat, dengan memberikan maqom mahmud (kedudukan mulia), syafaat, dan segala kenikmatan surga. 3. Dalam surat ini terdapat larangan menyakiti anak yatim atau berbuat semena-mena, baik terhadap hartanya maupun terhadap diri mereka. 4. Dalam surat ini juga terdapat larangan menghardik peminta-minta. Hendaknya, berbuat baik kepada mereka dengan memberinya sesuatu, atau tolaklah permintaan mereka dengan cara yang baik dan ungkapan yang santun. 5. Terdapat anjuran untuk mengutarakan kenikmatan kepada manusia sebagai bagian dari sikap bersyukur, namun bukan untuk bersombong diri. Syaikh al-'Utsaimin رحمه الله berkata, "Bersyukur dengan lisan dilakukan dengan mengutarakan kenikmatan tersebut dalam rangka berterimakasih (kepada Allah سبحانه و تعالي), bukan dengan maksud menyombongkan diri".1 Semoga Allah عزّوجلّ berkenan melimpahkan taufik dan perlindungan-Nya kepada kita untuk senantiasa melangkah di atas jalan yang diridhai-Nya. Amin. Wallahu a'lam. 1 Tafsir Syaikh Muhammad al-'Utsaimin Q.S. al-Baqoroh ayat: 152

Rujukan: 1.Tafsir HAMKA

                2.Tafsir Al-Utsaimi
JAKARTA  18/4/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman