Nama
Surat
Surah al-Fajr terdiri dari 30 ayat. Kata AL-FAJR, yang berarti “Fajar”,diambil dari ayat pertama. Ayat-ayat surah ini disepakati turun sebelum Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah. Namanya adalah al-Fajr, tanpa wauw, sedikit berbeda dengan bunyi ayatnya yang pertama. Penamaan ini disepakati juga oleh para penulis mushhaf, para perawi hadis, dan para pakar tafsir. Tidak ada nama lain bagi kumpulan ayat-ayat ini kecuali nama tersebut. Uraian utama surah ini adalah ancaman kepada kaum musyrikin Mekkah jangan sampai mengalami siksa yang telah dialami oleh para pendurhaka yang jauh lebih perkasa daripada mereka, sekaligus berita gembira serta pengukuhan hati Nabi SAW dan kaum muslimin yang pada masa turunnya ayat-ayat surah ini masih tertindas oleh kaum musyrikin Mekkah.
Surah al-Fajr terdiri dari 30 ayat. Kata AL-FAJR, yang berarti “Fajar”,diambil dari ayat pertama. Ayat-ayat surah ini disepakati turun sebelum Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah. Namanya adalah al-Fajr, tanpa wauw, sedikit berbeda dengan bunyi ayatnya yang pertama. Penamaan ini disepakati juga oleh para penulis mushhaf, para perawi hadis, dan para pakar tafsir. Tidak ada nama lain bagi kumpulan ayat-ayat ini kecuali nama tersebut. Uraian utama surah ini adalah ancaman kepada kaum musyrikin Mekkah jangan sampai mengalami siksa yang telah dialami oleh para pendurhaka yang jauh lebih perkasa daripada mereka, sekaligus berita gembira serta pengukuhan hati Nabi SAW dan kaum muslimin yang pada masa turunnya ayat-ayat surah ini masih tertindas oleh kaum musyrikin Mekkah.
Panggilan Bagi
Jiwa Yang Tenang
يَا
أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً
مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي ﴿٢٩﴾ وَادْخُلِي جَنَّتِي ﴿٣٠﴾
Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu
dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke dalam jemaah
hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS al-Fajr [89]: 27-30).
Dalam ayat-ayat
sebelumnya dijelaskan tentang celaan dan ancaman terhadap para pelaku maksiat.
Ancaman itu benar-benar akan menjadi kenyataan ketika datang Hari Kiamat.
Mereka harus menerima siksaan yang amat dahsyat. Demikian dahsyatnya hingga
tidak satu pun siksaan manusia di dunia yang menyamainya. Mereka pun menyesali
perbuatan mereka. Namun, penyesalan itu sudah terlambat sehingga tidak
bermanfaat sama sekali bagi mereka.
Kemudian dalam
ayat ini diberitakan tentang adanya golongan lain dari kalangan manusia. Mereka
tidak termasuk yang ditimpa siksaan tiada tara itu. Mereka justru mendapat
kabar gembira dan dimasukkan ke dalam surga-Nya.
Siapa Jiwanya Tenang ?
Siapa
yang dimaksud dengan orang yang berjiwa tenang dalam ayat ini? Ada beberapa
penjelasan.
Menurut
Ibnu Abbas, dia adalah al-muthmainnah bi tsawâbil-Lâh (jiwa
yang tenteram dengan pahala Allah); juga bermakna jiwa yang mukmin.
Al-Hasan
menafsirkannya sebagai al-mu’minah al-mûqînah (jiwa yang
mukmin dan yakin). Athiyah berpendapat, ia adalah jiwa yang ridha terhadap
qadha Allah.
Dikemukakan
al-Khazin, yang dimaksud dengannya adalah jiwa yang
teguh di atas iman dan keyakinan, membenarkan apa yang difirmankan Allah SWT,
meyakini Allah SWT sebagai Tuhannya, serta tunduk dan taat terhadap
perintah-Nya.
Ibnu
Jarir ath-Thabari memaknainya sebagai orang yang tenteram dengan
janji Allah SWT yang disampaikan kepada ahli iman di dunia berupa kemuliaan
bagi dirinya di akhirat, kemudian dia membenarkan janji itu.
Abu
Hayyan al-Andalusi menyatakan, al-muthmainah adalah al-âminah
(orang yang aman dan tenteram) tidak diliputi oleh ketakutan dan
kekhawatiran; atau tenteram dengan kebenaran dan tidak dicampuri dengan
keraguan.
Diterangkan
Fakhruddin ar-Razi, al-itmi’nân berarti al-istiqrâr
wa ats-tsabbât (kekokohan dan keteguhan). Bentuk keteguhan itu ada
beberapa. Pertama:
meyakini kebenaran dengan pasti (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 260).
Kedua: an-nafs
al-âminah (jiwa yang aman dan tenteram) tidak bercampur dengan
ketakutan dan kekhawatiran (Lihat: QS Fushilat [41]: 30).
Jika
diperhatikan, sekalipun menggunakan redaksional yang berbeda-beda, sesungguhnya
obyek yang ditunjuk tidak berbeda, yakni orang Mukmin yang taat dan ikhlas. Ini
juga ditegaskan oleh al-Qurthubi, bahwa yang benar adalah jiwa tersebut
bersifat umum mencakup semua jiwa yang mukmin, muklish dan taat.
Kepada
jiwa yang tenang itu diserukan: Irji’î ilâ Rabbika râdhiyah mardhiyyah (kembalilah
kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai). Jiwa itu dipanggil untuk
kembali kepada Rabbiki. Yang dimaksud dengan Rabbiki di
sini adalah Allah SWT. Digunakan kata Rabbiki, menurut al-Alusi, untuk
menambah kelembutan.Di-mudhâf-kan kepada dhamîr
an-nafs al-mukhâthah—yakni kata ganti orang kedua yang menunjuk
pada an-nafs—berguna
sebagai tasyrîf[an]
lahu (untuk memuliakannya).Menurut Ibnu Zaid, perkataan ini
disampaikan ketika mati dan keluarnya ruh dari jasad seorang Mukmin di dunia.Dari
Said berkata, “Saya membaca ayat ini (Yâ ayyatuhâ an-nafsu al-muthmainnah; Irji’î ilâ
Rabbiki râdhiyah mardhiyyah) di samping Rasulullah saw., lalu
Abu Bakar ra. berkata, “Sungguh ini sesuatu yang bagus.” Kamudian Rasulullah
saw. bersabda:
أما إنَّ
المَلَكَ سَيَقُولُهَا لَكَ عِنْدَ المَوتِ
Adapun
sesungguhnya malaikat akan mengatakan itu kepadamu ketika mati (HR ath-Thabari).
Ada juga
yang menafsirkan Rabbiki di sini adalah
jasadnya. Artinya, an-nafs dimaknai sebagai ar-rûh
lalu dikembalikan pada jasadnya.
Di antara
yang berpendapat demikian adalah Ibnu ‘Abbas, Ikrimah dan ‘Atha`; juga ath-Thabari
dan al-Qurthubi.Menurut ath-Thabari, perkataan itu disampaikan pada Hari
Kebangkitan. Dalilnya adalah kalimat berikutnya: Fa [i]dkhulî fî ‘ibâdî Wa [id]khulî jannatî.
Disebutkan
bahwa jiwa tersebut kembali dalam keadaan râdhiyat[an] mardhiyyat[an]. Kata râdhiyah
berarti râdhiyah bimâ ûtiyatihi (jiwa itu
puas dengan apa yang diberikan kepadanya). Adapun mardhiyyah berarti mardhiyyah
‘indal-Lâh bi ‘amalika (jiwa itu diridhai di sisi Allah dengan amal
kalian). Dengan kata lain, jiwa tersebut ridha kepada Allah beserta kemuliaan
yang diberikan kepadanya berupa pahala dan Allah pun ridha terhadap jiwa itu.
“Wahai
jiwa yang telah mencapai ketentraman.” (ayat 27). Yang telah menyerah penuh dan
tawakkal kepada Tuhannya: Telah tenang, karena telah mencapai yakin: terhadap
Tuhan.
Berkata
Ibnu ‘Atha’: “Yaitu jiwa yang telah mencapai ma’rifat
sehingga tak sabar lagi bercerai dari Tuhannya walau sekejap mata.” Tuhan itu
senantiasa ada dalam ingatannya, sebagai tersebut dalam Surah Ar-Ra’ad ayat 38.
“Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang
Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi
tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu).” (Q.S. Ar Ra’ad: 38)
Berkata
Hasan Al-Bishri tentang muthmainnah ini: “Apabila Tuhan Allah
berkehendak mengambil nyawa hamba-Nya yang beriman, tenteramlah jiwanya
terhadap Allah, dan tenteram pula Allah terhadapnya.”
Berkata
sahabat Rasulullah SAW ‘Amr bin Al-‘Ash (Hadis mauquf): “Apabila seorang hamba yang
beriman akan meninggal, diutus Tuhan kepadanya dua orang malaikat, dan dikirim
beserta keduanya suatu bingkisan dari dalam surga. Lalu kedua malaikat itu
menyampaikan katanya: “Keluarlah, wahai jiwa yang telah mencapai
ketentramannya, dengan ridha dan diridhai Allah. Keluarlah kepada Roh dan
Raihan. Tuhan senang kepadamu, Tuhan tidak marah kepadamu.” Maka keluarlah Roh
itu, lebih harum dari kasturi.”
“Kembalilah kepada Tuhanmu, dalam keadaan
ridha dan diridhai.” (ayat 28). Artinya: setelah payah engkau dalam perjuangan
hidup di dunia yang fana, sekarang pulanglah engkau kembali kepada Tuhanmu,
dalam perasaan sangat lega karena ridha; dan Tuhan pun ridha, karena telah
menyaksikan sendiri kepatuhanmu kepadaNya dan tak pernah mengeluh.
“Maka
masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu.” (ayat 29). Di sana telah menunggu
hamba-hamba-Ku yang lain, yang sama taraf perjuangan hidup mereka dengan kamu;
bersama-sama di tempat yang tinggi dan mulia. Bersama para Nabi, para Rasul,
para shadiqqin dan syuhadaa. “Wa hasuna ulaa-ika rafiiqa”; Itulah semuanya yang
sebaik-baik teman.
“Dan
masuklah ke dalam surgaKu.” (ayat 30). Di situlah kamu berlepas menerima
cucuran nikmat yang tiadakan putus-putus daripada Tuhan. Nikmat yang belum
pernah mata melihatnya, belum pernah telinga mendengarnya, dan lebih daripada
apa yang dapat dikhayalkan oleh hati manusia.
Dan ada
pula satu penafsiran yang lain dari yang lain, yaitu annafs diartikan dengan
roh manusia, dan rabbiki diartikan tubuh tempat roh itu dahulunya bersarang.
Maka diartikannya ayat ini: “Wahai Roh yang telah mencapai tenteram, kembalilah
kamu kepada tubuhmu yang dahulu telah kamu tinggalkan ketika maut memanggil.”
sebagai pemberitahu bahwa di hari kiamat nyawa dikembalikan ke tubuhnya yang
asli. Penafsiran ini didasarkan kepada qiraat (bacaan) Ibnu Abbas, Fii
‘Abdii dan qiraat umum Fii “Ibaadil. Amin Ya Rabbal Alamin
Wallah A’lam
Bimuradih
Jakarta 26/3/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar