Rabu, 13 Februari 2013

mesteri KEBAHAGIAAN




                              BAHAGIA  Dunia Akhirat

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (Qs. Al Qoshos : 77).
MENERIMA TAUFIQ DAN HIDAYAH

Allah SWT berfirman: "Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.... (QS. al-Anfal: 24).
Di dalam ayat yang lain Allah SWT juga berfirman: "Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan yang kekal lagi sholeh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan" (QS. Al Kahfi: 46).

Ingin Bahagia ?

Hidup bahagia adalah dambaan dari setiap orang. Bahagia merupakan suatu hal tiada taranya. Dikala kita bahagia segalanya akan terasa indah dan hati pun terasa tentram dan damai. Tiada kesusahan pun yang meliputi kita tatkala bahagia menghampiri kita. Bahagia itu indah dan menyenangkan. Tapi, apa sih sebenarnya Makna dari Bahagia atau kebahagiaan itu sendiri??

Hidup dalam pandangan Islam adalah kesinambungan antara dunia dan akhirat dalam keadaan bahagia, kesinambungan kebahagiaan hingga melampaui usia dunia ini. Di dalam kehidupan ini kita sering salah persepsi menilai kebahagiaan. Ada yang beranggapan bahwa orang yang bahagia itu adalah orang yang memiliki harta berlimpah, rumah yang megah, kenderaan mewah, pangkat dan jabatan. Meski tidak dapat disangkal juga bahwa memiliki harta yang banyak juga merupakan suatu kebahagiaan tersendiri apalagi harta tersebut diperoleh dengan cara yang halal, ada juga orang yang hidup pas-pasan tetapi juga bahagia, bahkan ada sebagian orang kaya yang merasa iri dengan kebahagiaan orang yang hidupnya serba sederhana. Lalu apa sebenarnya bahagia itu? Kehidupan dunia beserta kesenangannya atau akhirat yang kekal dan abadi?

Pada suatu ketika Aisyah ra. bertanya kepada Rasulullah saw: "Ya Rasulullah, dengan apakah kelebihan sebagian manusia dengan sebagian yang lainnya? Baginda saw menjawab: "Dengan akal" Kata Aisyah lagi: "Dan di akhirat? "Dengan akal juga" Kata baginda. Bukankah seseorang itu lebih dari yang lainnya dalam hal pahala lantaran amal ibadahnya? Tanya "Aisyah lagi. "Wahai Aisyah, bukankah amal ibadah yang mereka kerjakan itu semata-mata mengikut kadar akal mereka? Mengikut ketinggian derajat akal mereka, begitulah ibadah mereka, dan menurut itulah pahala yang diberikan kepada mereka".

Rasulullah saw juga bersabda: "Allah telah membagi akal kepada tiga bagian. Siapa yang cukup memiliki ketiga bagiannya, sempurnalah akalnya, jika kurang walau sebagian, tidaklah ia dikira orang yang berakal!" Lalu seseorang bertanya: "Ya Rasulullah, apakah bagian yang tiga itu? Sabda Rasulullah saw: "Pertama, baik ma’rifahnya (pengenalannya) kepada Allah, kedua, baik taatnya kepada Allah dan ketiga, baik pula sabarnya atas ketentuan Allah.

Arti  Kebahagiaan ?
Kebahagiaan berasal dari kata  bahagia yang telah diberi awalan ke dan akhiran an. Menurut Kamus Bahasa Indonesia sendiri bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tentaram (bebas dari segala yang menyusahkan).
Sementara Dr. Hasan Syamsi Basya dalam bukunya “Menemukan Kebahagiaan “ mengatakan bahwa “Kebahagiaan tidak terletak pada apa yang anda miliki, tapi dalam kebaikan manfaat apa yang Anda Miliki. Tidak pula dalam memperoleh segala apa yang Anda inginkan, tapi hendaknya Anda mengetahui bagaimana memperoleh manfaat dari apa yang Anda inginkan”.
Jenjang Kebahagiaan ?
Sedangkan Ibnu Qoyyim Al-Jauziah dalam bukunya “Ighatsah Al- Lahfan fi Masha Asy-Syaitan” menyebutkan ragam kebahagiaan yang mempengaruhi kondisi jiwa manusia ada tiga, yakni. (1); Kebahagiaan yang bersifat eksternal: kebahagiaan yang lebih bersifat pada pemenuhan materi dan hidup terkadang pupus dengan restorsi artifisial. (2) Kebahagiaan Fisik; tubuh yang sehat, emosi yang seimbang, anggota tubuh proposional, dan warna kulit cerah. Kebahagiaan jenis ini lebih dekat dari jenis sebelumnya, namun pada hakikatnya bersifat eksternal.(3) Kebahagiaan hakiki; kebahagiaan internal jiwa. Kebahagiaan ini merupakan buah dari ilmu yang bermanfaat, bersifat abadi dalam kondisi yang berubah-rubah, serta selalu menemani individu dalam setiap perjalanan ke berbagai alam
Ibnu Qoyyim menafsirkan bahwa kebahagiaan merupakan konsekuensi hidayah, sedangangkan kesengsaraan merupakan konsekuensi ketidakpatuhan terhadap perintah Allah SWT. Menurut pandangan beliau “ Perasaan aman, damai, senang, tentram, dan bahagia yang timbul saat mendapatkan keimanan dan hidayah akan menuntun seseorang memperoleh keselamatan dan kebahagiaan. Sebaliknya perasaan takut, kalut, sedih, tersiksa, dan gelisah akan timbul ketika tersesat dan bingung.
Dr. Kamil Ya’kub berkata : “Kenyataan yang aku rasakan dalam hidupku sebagai seorang dokter adalah orang yang paling tenang jiwanya tidak lain yang paling kuat imannya, dan yang paling kuat bergantung pada rumbai-rumbai agama.”
Islam menyatakan bahwa "Kesejahteraan' dan "kebahagiaan" itu bukan merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan hayali insan yang hanva dapat dinikmati dalam alam fikiran belaka.
Keselahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan hakikat terakhir yang mutlak yang dicari-cari itu — yakni: keyakinan akan Hak Ta'ala — dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.'
Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan (iman) dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara. Para sahabat nabi, rela meninggalkan kampung halamannya demi mempertahankan iman. Mereka bahagia. Hidup dengan keyakinan dan menjalankan keyakinan.
Menurut Hamka, Islam mengajarkan pada manusia empat jalan untuk menuju kebahagiaan.
Pertama, harus ada i’tiqad, yaitu motivasi yang benar-benar berasal dari dirinya sendiri
Kedua, yaqin, yaitu keyakinan yang kuat akan sesuatu yang sedang dikerjakannya.
Ketiga, iman, yaitu yang lebih tinggi dari sekedar keyakinan, sehingga dibuktikan oleh lisan dan perbuatan.
Tahap terakhir adalah ad-diin, yaitu penyerahan diri secara total kepada Allah, penghambaan diri yang sempurna. Mereka yang menjalankan ad-diin secara sempurna tidaklah merasa sedih berkepanjangan, lantaran mereka benar-benar yakin akan jalan yang telah Allah pilihkan untuknya.
Ada pula sifat-sifat yang menjauhkan manusia dari kebahagiaan, antara lain adalah takut mati. Pada dasarnya perasaan ini menimpa mereka yang tak tahu mati. Mereka tidak tahu kemana jiwa raganya pergi sesudah mati, atau disangka setelah tubuhnya hancur maka jiwanya pun ikut hancur, sedangkan alam ini kekal dan orang lain terus mengecap nikmat, sementara dirinya tak ada lagi di sana. Ada juga yang menyangka bahwa kematian itu adalah penyakit yang paling hebat. Akan tetapi semua penyakit ada obatnya, kecuali kematian, karena kematian itu bukanlah penyakit. Sebagian orang memang suka hidup lama tetapi tak suka tua.
Pikiran semacam ini, menurut Hamka, tidaklah waras. Dalam ajaran Islam, kematian adalah belas kasihan Tuhan kepada hamba-hamba-Nya. Manusia disuruh pergi ke dunia, dan kemudian dipanggil pulang. Agama menyadarkan kita bahwa kematian itu telah pasti bagi kita, dan karenanya, kita sungguh-sungguh berusaha memperbaiki hidup, agar sesudah hidup itu kita beroleh kematian yang nikmat adanya, yaitu kematian dalam keadaan memperoleh ridha Allah.
Orang seringkali membayangkan apa yang akan dijumpainya sesudah mati. Mereka yang takut mati barangkali sudah menyadari dosanya lebih banyak daripada kebaikannya, sehingga takut kalau harus di-hisab.
Tetapi ada pula orang seperti Bilal bin Rabah ra. yang mengatakan dirinya bahagia di saat menghadapi sakaratul mautnya, lantaran dengan kematian itulah ia bisa berkumpul kembali dengan Rasulullah saw. yang sangat ia cintai.
Oleh karena itu, pesan Hamka, jika ingin jadi orang kaya, maka cukupkanlah apa yang ada, peliharalah sifat qana’ah, jangan bernafsu mendapatkan kepunyaan orang lain, hiduplah sepenuhnya dalam ketaatan kepada Allah saja.
Kekayaan hakiki ialah mencukupkan apa yang ada, baik banyak maupun sedikitnya, sebab ia adalah nikmat dari Allah. Jika kekayaan melimpah, ingatlah bahwa harta itu untuk menyokong amal dan ibadah. Harta tidak dicintai karena ia harta, melainkan hanya karena ia pemberian Allah, dan ia dipergunakan untuk sesuatu yang bermanfaat. Inilah jiwa yang bahagia!
Menggapai Kebahagiaan ?
Ada beberapa cara yg diajarkan agama ini utk dapat mencapai hidup bahagia di antaranya disebutkan oleh
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah dalam kitabnya Al-Wasailul Mufidah lil Hayatis Sa‘idah:1. Beriman dan beramal shalih. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَياَةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ ماَ كَانُوا يَعْمَلُوْنَ“Siapa yg beramal shalih baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan ia beriman maka Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yg baik dan Kami akan membalas mereka dengan pahala yg lbh baik daripada apa yg mereka amalkan.”
Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini adl janji dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada orang yg beramal shalih yaitu amalan yg mengikuti Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan dari keturunan Adam sementara hatinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berjanji utk memberikan kehidupan yg baik baginya di dunia dan membalasnya di akhirat dgn pahala yg lbh baik daripada amalannya.
Kehidupan yg baik mencakup seluruh kesenangan dari berbagai sisi.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan sekelompok ulama bahwa mereka menafsirkan kehidupan yg baik dgn rezki yg halal lagi baik
sementara Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menafsirkannya dgn sifat qana’ah demikian pula yang dikatakan Ibnu ‘Abbas ‘Ikrimah dan Wahb bin Munabbih. Berkata ‘Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas: “Sesunggguhnya kehidupan yg baik itu adl kebahagiaan.”
Al-Hasan Mujahid dan Qatadah berkata: “Tidak ada bagi seorang pun kehidupan yg baik kecuali di surga.”
Sedangkan Adh-Dhahhak mengatakan:
1.“Ia adl rizki yg halal dan ibadah di dunia serta beramal ketaatan dan lapang dada utk taat.” Yang benar dalam hal ini adl kehidupan yg baik mencakup seluruh perkara tersebut.”
 2. Banyak mengingat Allah krn dgn dzikir kepada-Nya akan diperoleh kelapangan dan ketenangan yg berarti akan hilang kegelisahan dan kegundah gulanaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبِ“Ketahuilah dgn mengingat kepada Allah akan tenang hati itu.”
 3. Bersandar kepada Allah dan tawakkal pada-Nya yakin dan percaya kepada-Nya dan bersemangat utk meraih keutamaan-Nya. Dengan cara seperti ini seorang hamba akan memiliki kekuatan jiwa dan tidak mudah putus asa serta gundah gulana. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ“Siapa yg bertawakkal kepada Allah maka Allah akan mencukupinya.”
4. Berbuat baik kepada makhluk dalam bentuk ucapan maupun perbuatan dgn ikhlas kepada Allah dan mengharapkan pahala-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:لاَ خَيْرَ فِي كَثِيْرٍ مِّنْ نَجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوْفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغآءَ مَرْضَاةِ اللهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ أَجْرًا عَظِيْماً“Tidak ada kebaikan dalam kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh utk bersedekah atau berbuat kebaikan dan ketaatan atau memperbaiki hubungan di antara manusia. Barangsiapa melakukan hal itu krn mengharapkan keridhaan Allah niscaya kelak Kami akan berikan padanya pahala yg besar.” Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah berkata menafsirkan ayat di atas: “Yakni tidak ada kebaikan dalam kebanyakan pembicaraan di antara manusia dan tentunya jika tidak ada kebaikan maka bisa jadi yg ada adl ucapan tak berfaedah seperti berlebih-lebihan dalam pembicaraan yg mubah atau bisa jadi kejelekan dan kemudlaratan semata-mata seperti ucapan yg diharamkan dgn seluruh jenisnya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengecualikan: “Kecuali bisikan-bisikan dari orang yg menyuruh utk bersedekah” dari harta ataupun ilmu atau sesuatu yg bermanfaat bahkan bisa jadi masuk pula di sini ibadah-ibadah seperti bertasbih bertahmid dan semisalnya sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya tiap tasbih adl sedekah tiap takbir adl sedekah dan tiap tahlil adl sedekah. Demikian pula amar ma‘ruf merupakan sedekah nahi mungkar adl sedekah dan dalam kemaluan salah seorang dari kalian ada sedekah ….”

5. Menyibukkan diri dgn mempelajari ilmu yg bermanfaat.
6. Mencurahkan perhatian dgn apa yg sedang dihadapi disertai permintaan tolong kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa banyak berangan-angan utk masa yang akan datang krn akan berbuah kegelisahan disebabkan takut/ khawatir menghadapi masa depan dan juga tanpa terus meratapi kegagalan dan kepahitan masa lalu krn apa yg telah berlalu tidak mungkin dapat dikembalikan dan diraih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجزْ، وَإِذَا أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَل الشَّيْطَانِ“Bersemangatlah utk memperoleh apa yg bermanfaat bagimu dan minta tolonglah kepada Allah dan janganlah lemah. Bila menimpamu sesuatu janganlah engkau berkata: “Seandainya aku melakukan ini niscaya akan begini dan begitu” akan tetapi katakanlah: “Allah telah menetapkan dan apa yg Dia inginkan Dia akan lakukan” krn sesungguhnya kalimat ‘seandainya’ itu membuka amalan syaithan.”
7. Senantiasa mengingat dan menyebut ni’mat yg telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala baik ni’mat lahir maupun batin. Dengan melakukan hal ini seorang hamba terdorong utk selalu bersyukur kepada-Nya sampaipun saat ia ditimpa sakit atau berbagai musibah lainnya. Karena bila ia membandingkan keni’matan yg Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan padanya dgn musibah yg menimpanya sungguh musibah itu terlalu kecil. Bahkan musibah itu sendiri bila dihadapi dgn sabar dan ridha merupakan keni’matan krn dengannya dosa-dosa akan diampuni dan pahala yg besar pun menanti.
8. Selalu melihat orang yg di bawah dari sisi kehidupan dunia misalnya dalam masalah rezki karena dgn begitu kita tidak akan meremehkan ni’mat Allah yg diberikan-Nya kepada kita.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ“Lihatlah orang yg di bawah kalian dan jangan melihat orang yg di atas kalian krn dgn lbh pantas utk kalian tidak meremehkan ni’mat Allah yg dilimpahkan- Nya kepada kalian.”
9. Ketika melakukan sesuatu utk manusia jangan mengharapkan ucapan terima kasih ataupun balasan dari mereka namun berharaplah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga engkau tidak peduli mereka mau berterima kasih atau tidak dgn apa yg telah engkau lakukan sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang ucapan hamba-hamba-Nya yang khusus:إِنَّماَ نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللهِ لاَ نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزآءً وَلاَ شُكُوْراً“Kami memberi makan kepada kalian hanyalah krn mengharap wajah Allah kami tidak menginginkan dari kalian balasan dan tidak pula ucapan terima kasih.” Demikian beberapa hal yg bisa dilakukan utk mencapai ketenangan dan kebahagiaan hidup.

Sebagai akhir teruntai doa kepada Rabbul ‘Izzah :اللّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِيْنِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيْهَا مَعَاشِي، وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي إِلَيْهَا مَعَادِيْ وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلَِّ خَيْرٍ وَالْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ“Ya Allah perbaikilah bagiku agamaku yg agama ini merupakan penjagaan perkaraku dan perbaikilah bagiku duniaku yg aku hidup di dalamnya dan perbaikilah bagiku akhiratku yg merupakan tempat kembaliku dan jadikanlah hidup ini sebagai tambahan bagiku dalam seluruh kebaikan dan jadikanlah kematian sebagai peristirahatan bagiku dari seluruh kejelekan.” {HR.
Muslim}
Abdurrahman As-Sa’di dalam mukadimah risalah Al-Wasailul Mufiidah lil hayati As-Sa’idah hal. 5 mengatakan: “Sesungguhnya ketenangan dan ketenteraman hati serta hilangnya kegundahgulanaan darinya, itulah yang dicari oleh setiap orang. Karena dengan dasar itulah akan didapati kehidupan yang baik dan kebahagiaan yang hakiki.”
Allah I berfirman:
“Barangsiapa yang melakukan amal shalih dari kalangan laki-laki dan perempuan dan dia dalam keadaan beriman, maka Kami akan memberikan kehidupan yang baik dan membalas mereka dengan ganjaran pahala yang lebih baik dikarenakan apa yang telah dilakukannya.” (An-Nahl: 97)
As-Sa’di dalam Al-Wasailul Mufiidah lil hayati As Sa’idah hal. 9 mengatakan: “Allah I memberitahukan dan menjanjikan kepada siapa saja yang menghimpun iman dan amal shalih dengan kehidupan yang bahagia di dunia ini dan membalasnya dengan pahala di dunia dan akhirat.”
Dari kedua dalil ini, kita bisa menyimpulkan bahwa kebahagiaan hidup terletak pada dua hal yang sangat mendasar: Baiknya jiwa yang dilandasi iman yang benar dan baiknya amal seseorang yang dilandasi keikhlasan dan kesesuaian dengan Sunnah Rasulullah saw.

Jakarta 14/2/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman