FIKIH Tentang BERQURBAN
Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan
pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan
darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi,
Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam,
IV/450)
Pengertian Udh-hiyah
Udh-hiyah
adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat
Al Wajiz,
405 dan Shahih
Fiqih Sunnah II/366)
Keutamaan
Qurban
Menyembelih
qurban termasuk amal salih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha
menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidaklah
anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih
dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian
merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim
dengan sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)
Hadis di
atas didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun
kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban.
Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul
Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau
bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud
terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu,
menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan
sunnah. (lih. Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul
Mumthi’ 7/521)
Hukum
Qurban
Dalam
hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:
Pertama, wajib
bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah
(guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu
pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin
mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak
lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu
hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul
Mumti’, III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang
menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa
yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali
mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672
dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Pendapat
kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Dan
ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan
lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu
Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau
mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban.
Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir
kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.”
(HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan
oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara
mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi,
sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang
sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” (lihat Shahih
Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454)
Dalil-dalil
di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika
dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian
ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan: “…selayaknya
bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban
akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.”
(Tafsir
Adwa’ul Bayan, 1120)
Yakinlah…!
bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban
yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu
berdo’a: “Yaa
Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua
berdo’a: “Yaa
Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).”
(HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).
Hewan
yang Boleh Digunakan Untuk Qurban
Hewan
qurban hanya boleh dari kalangan Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak
tertentu) yaitu onta, sapi atau kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan
sekelompok ulama menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak
sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz
406) Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, “Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan
berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada
kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam).” (QS. Al
Hajj: 34) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Bahkan jika seandainya ada orang yang
berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak
tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban
seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300
real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah…” (Syarhul
Mumti’, III/409)
Seekor
Kambing Untuk Satu Keluarga
Seekor
kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh
anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal
dunia. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, “Pada
masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih
seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR.
Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266).
Oleh
karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu
anggota keluarganya tertentu, misalnya kambing 1 untuk anak si A, kambing 2
untuk anak si B, karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu
dibatasi.
Bahkan
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berqurban untuk seluruh dirinya dan seluruh umatnya.
Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih
beliau mengatakan:”Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku
yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan
dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 4/349). Berdasarkan hadis
ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban,
mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.”
Adapun
yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi
untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” adalah biaya pengadaannya.
Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya
boleh dari maksimal tujuh orang dst.
Namun
seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya
untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status
qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban. Apakah
harus izin terlebih dahulu kepada pemilik hewan?
Jawab: Tidak
harus, karena dalam transaksi hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada
orang yang diberi sedekah.
Ketentuan
Untuk Sapi & Onta
Seekor
Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu
beliau mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun
berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi
kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz,
hal. 406)
Dalam
masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing.
Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh
anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.
Arisan Qurban
Kambing?
Mengadakan
arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban.
Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk
berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana
dinukil oleh Ibn Katsir dari Sufyan At Tsauri (Tafsir Ibn Katsir, surat Al
Hajj:36)(*) Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan
agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka
menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.
(*)
Sufyan At Tsauri rahimahullah mengatakan: Dulu Abu
Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya: “Kamu
berhutang untuk beli unta qurban?” beliau jawab: “Saya
mendengar Allah berfirman: لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ (kamu memperoleh kebaikan yang banyak pada
unta-unta qurban tersebut) (QS: Al Hajj:36).” (lih. Tafsir
Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36).
Sebagian
ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.
Di antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net di
bawah pengawasan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198
& 28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Jika orang punya hutang maka selayaknya
mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.” (Syarhul
Mumti’ 7/455). Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang
yang tidak jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang
terlilit hutang, dan beliau jawab: “Jika di hadapkan dua permasalahan antara
berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang,
lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat
dekat.” (lih. Majmu’ Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin
18/144).
Namun
pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena
perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang
berhutang. Sikap ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban dipahami
untuk kasus orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau kasus hutang
yang jatuh temponya masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk
mendahulukan pelunasan hutang dari pada qurban dipahami untuk kasus orang yang
kesulitan melunasi hutang atau hutang yang menuntut segera dilunasi. Dengan
demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya
panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah
satu hal yang baik. Wallahu a’lam.
Qurban
Kerbau?
Para
ulama’ menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya disikapi
sebagai satu jenis (Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah
2/2975). Ada beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan
kerbau, dari kalangan Syafi’iyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami) maupun dari
Hanafiyah (lih. Al ‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan
Fathul
Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis.
Syaikh
Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.
Pertanyaan:
“Kerbau
dan sapi memiliki perbedaan dalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan
domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak
merinci penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al
An’am 143. Apakah boleh berqurban dengan kerbau?”
Beliau
menjawab:
“Jika
hakekat kerbau termasuk sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka
(jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqur’an adalah jenis hewan yang dikenal
orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab.” (Liqa’
Babil Maftuh 200/27)
Jika
pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di atas maka
bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan
sapi. Wallahu
a’lam.
Urunan
Qurban Satu Sekolahan
Terdapat
satu tradisi di lembaga pendidikan di daerah kita, ketika iedul adha tiba
sebagian sekolahan menggalakkan kegiatan latihan qurban bagi siswa.
Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan
untuk membeli kambing dan disembelih di hari-hari qurban. Apakah
ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?
Perlu
dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam islam yang memiliki aturan
tertentu sebagaimana yang digariskan oleh syari’at. Keluar dari aturan ini maka
tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban alias qurbannya tidak sah. Di antara
aturan tersebut adalah masalah pembiayaan. Sebagaimana dipahami di muka, biaya
pengadaan untuk seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh
karena itu kasus tradisi ‘qurban’ seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai
qurban.
Berqurban
Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?
Berqurban
untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
- Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya meskipun ada yang sudah meninggal.
- Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuknya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51.
Manakah
yang Lebih Baik, Ikut Urunan Sapi atau Qurban Satu Kambing?
Sebagian
ulama menjelaskan qurban satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi
atau onta, karena tujuh kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi
(lih. Shahih
Fiqh Sunnah, 2/375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 & Syarhul
Mumthi’ 7/458). Disamping itu, terdapat alasan lain diantaranya:
- Qurban yang sering dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh satu ekor, baik kambing, sapi, maupun onta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 onta.
- Kegiatan menyembelihnya lebih banyak. Lebih-lebih jika hadis yang menyebutkan keutamaan qurban di atas statusnya shahih. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh penulis kitab Al Muhadzab Al Fairuz Abadzi As Syafi’i. (lih. Al Muhadzab 1/74)
- Terdapat sebagian ulama yang melarang urunan dalam berqurban, diantaranya adalah Mufti Negri Saudi Syaikh Muhammad bin Ibrahim (lih. Fatwa Lajnah 11/453). Namun pelarangan ini didasari dengan qiyas (analogi) yang bertolak belakang dengan dalil sunnah, sehingga jelas salahnya.
Apakah
Harus Jantan?
Tidak ada
ketentuan jenis kelamin hewan qurban. Boleh jantan maupun betina. Dari Umu
Kurzin radliallahu
‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Aqiqah
untuk anal laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi
masalah jantan maupun betina.” (HR. Ahmad 27900 & An Nasa’i
4218 dan dishahihkan Syaikh Al Albani). Berdasarkan hadis ini, Al Fairuz Abadzi
As Syafi’i mengatakan: “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina
ketika aqiqah berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk
berqurban.” (Al Muhadzab 1/74)
Namun
umumnya hewan jantan itu lebih baik dan lebih mahal dibandingkan hewan betina.
Oleh karena itu, tidak harus hewan jantan namun diutamakan jantan.
Larangan
Bagi yang Hendak Berqurban
Orang
yang hendak berqurban dilarang memotong kuku dan memotong rambutnya (yaitu
orang yang hendak qurban bukan hewan qurbannya). Dari Ummu Salamah dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari
pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin berqurban maka
janganlah dia menyentuh sedikitpun bagian dari rambut dan kulitnya.”
(HR. Muslim). Larangan tersebut berlaku untuk cara apapun dan untuk bagian
manapun, mencakup larangan mencukur gundul atau sebagian saja, atau sekedar
mencabutinya. Baik rambut itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan maupun
di ketiak (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/376).
Apakah
larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga ataukah
berlaku juga untuk anggota keluarga shohibul qurban?
Jawab: Larangan
ini hanya berlaku untuk kepala keluarga (shohibul qurban) dan tidak berlaku
bagi anggota keluarganya. Karena 2 alasan:
- Dlahir hadis menunjukkan bahwa larangan ini hanya berlaku untuk yang mau berqurban.
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berqurban untuk dirinya dan keluarganya. Namun belum ditemukan riwayat bahwasanya beliau menyuruh anggota keluarganya untuk tidak memotong kuku maupun rambutnya. (Syarhul Mumti’ 7/529)
Waktu
Penyembelihan
Waktu
penyembelihan qurban adalah pada hari Iedul Adha dan 3 hari sesudahnya (hari
tasyriq). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Setiap
hari taysriq adalah (hari) untuk menyembelih (qurban).” (HR. Ahmad
dan Baihaqi) Tidak ada perbedaan waktu siang ataupun malam. Baik siang maupun
malam sama-sama dibolehkan. Namun menurut Syaikh Al Utsaimin, melakukan
penyembelihan di waktu siang itu lebih baik. (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi,
hal. 33). Para ulama sepakat bahwa penyembelihan qurban tidak boleh dilakukan
sebelum terbitnya fajar di hari Iedul Adha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa
yang menyembelih sebelum shalat Ied maka sesungguhnya dia menyembelih untuk
dirinya sendiri (bukan qurban). Dan barangsiapa yang menyembelih sesudah shalat
itu maka qurbannya sempurna dan dia telah menepati sunnahnya kaum muslimin.”
(HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/377)
Tempat
Penyembelihan
Tempat
yang disunnahkan untuk menyembelih adalah tanah lapangan tempat shalat ‘ied
diselenggarakan. Terutama bagi imam/penguasa/tokoh masyarakat, dianjurkan untuk
menyembelih qurbannya di lapangan dalam rangka memberitahukan kepada kaum
muslimin bahwa qurban sudah boleh dilakukan dan mengajari tata cara qurban yang
baik. Ibnu ‘Umar mengatakan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa menyembelih kambing dan onta (qurban) di lapangan tempat shalat.”
(HR. Bukhari 5552).
Dan
dibolehkan untuk menyembelih qurban di tempat manapun yang disukai, baik di
rumah sendiri ataupun di tempat lain. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378)
Penyembelih
Qurban
Disunnahkan
bagi shohibul qurban untuk menyembelih hewan qurbannya sendiri namun boleh
diwakilkan kepada orang lain. Syaikh Ali bin Hasan mengatakan: “Saya
tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam masalah
ini.” Hal ini berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu di dalam Shahih Muslim yang menceritakan
bahwa pada saat qurban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah menyembelih beberapa onta qurbannya dengan tangan beliau sendiri
kemudian sisanya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu untuk disembelih. (lih. Ahkaamul Idain, 32)
Tata
Cara Penyembelihan
- Sebaiknya pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri.
- Apabila pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut datang menyaksikan penyembelihannya.
- Hendaknya memakai alat yang tajam untuk menyembelih.
- Hewan yang disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke kiblat. Kemudian pisau ditekan kuat-kuat supaya cepat putus.
- Ketika akan menyembelih disyari’akan membaca “Bismillaahi wallaahu akbar” ketika menyembelih. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, sedangkan menurut Imam Syafi’i hukumnya sunnah. Adapun bacaan takbir – Allahu akbar – para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:
- hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud 2795) Atau
- hadza minka wa laka ‘anni atau ‘an fulan (disebutkan nama shahibul qurban).” atau
- Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, “Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban)” (lih. Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 92)Catatan: Tidak terdapat do’a khusus yang panjang bagi shohibul qurban ketika hendak menyembelih. Wallahu a’lam.
Pemanfaatan
Hasil Sembelihan
Bagi
pemilik hewan qurban dibolehkan memanfaatkan daging qurbannya, melalui:
- Dimakan sendiri dan keluarganya, bahkan sebagian ulama menyatakan shohibul qurban wajib makan bagian hewan qurbannya. Termasuk dalam hal ini adalah berqurban karena nadzar menurut pendapat yang benar.
- Disedekahkan kepada orang yang membutuhkan
- Dihadiahkan kepada orang yang kaya
- Disimpan untuk bahan makanan di lain hari. Namun penyimpanan ini hanya dibolehkan jika tidak terjadi musim paceklik atau krisis makanan.
Dari
Salamah bin Al Akwa’ dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa
diantara kalian yang berqurban maka jangan sampai dia menjumpai subuh hari
ketiga sesudah Ied sedangkan dagingnya masih tersisa walaupun sedikit.”
Ketika datang tahun berikutnya maka para sahabat mengatakan, “Wahai
Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu ?”
Maka beliau menjawab, “(Adapun sekarang) Makanlah sebagian, sebagian
lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu
masyarakat sedang mengalami kesulitan (makanan) sehingga aku berkeinginan
supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.” (HR. Bukhari dan
Muslim). Menurut mayoritas ulama perintah yang terdapat dalam hadits ini
menunjukkan hukum sunnah, bukan wajib (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378) Oleh
sebab itu, boleh mensedekahkan semua hasil sembelihan qurban. Sebagaimana diperbolehkan
untuk tidak menghadiahkannya (kepada orang kaya, ed.) sama sekali kepada orang
lain (Minhaajul
Muslim, 266). (artinya hanya untuk shohibul qurban dan sedekah pada
orang miskin, ed.)
Larangan
Memperjual-Belikan Hasil Sembelihan
Tidak
diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit,
kepala, teklek, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga
memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya.
Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang
jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan terdapat ancaman keras
dalam masalah ini, sebagaimana hadis berikut:
من باع
جلد أضحيته فلا أضحية له
Dari Abu
Hurairah radhiallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Barang
siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah
qurbannya tidak ada nilainya.”
(HR. Al Hakim 2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan: Hasan)
Tetang
haramnya pemilik hewan menjual kulit qurban merupakan pendapat mayoritas ulama,
meskipun Imam Abu Hanifah menyelisihi mereka. Namun mengingat dalil yang sangat
tegas dan jelas maka pendapat siapapun harus disingkirkan.
Catatan:
- Termasuk memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau kepala dengan daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing. Karena hakekat jual-beli adalah tukar-menukar meskipun dengan selain uang.
- Transaksi jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak sah. Artinya penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit dan pembeli tidak berhak menerima kulit yang dia beli. Hal ini sebagaimana perkataan Al Baijuri: “Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban) disamping transaksi ini adalah haram.” Beliau juga mengatakan: “Jual beli kulit hewan qurban juga tidak sah karena hadis yang diriwayatkan Hakim (baca: hadis di atas).” (Fiqh Syafi’i 2/311).
- Bagi orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan (disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun shohibul qurban.
Larangan
Mengupah Jagal Dengan Bagian Hewan Sembelihan
Dari Ali
bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwa
“Beliau pernah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurusi
penyembelihan ontanya dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan onta
tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan dia tidak
boleh memberikannya kepada jagal barang sedikitpun.” (HR. Bukhari
dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya beliau berkata, “Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.”
(HR. Muslim). Danini merupakan pendapat
mayoritas ulama (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/379)
Syaikh
Abdullah Al Bassaam mengatakan, “Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau
kulitnya sebagai bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan
para ulama. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika
dia termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah
miskin…..” (Taudhihul Ahkaam, IV/464).
Pernyataan beliau semakna dengan pernyataan Ibn Qosim yang mengatakan: “Haram
menjadikan bagian hewan qurban sebagai upah bagi jagal.” Perkataan
beliau ini dikomentari oleh Al Baijuri: “Karena hal itu (mengupah jagal) semakna dengan
jual beli. Namun jika jagal diberi bagian dari qurban dengan status sedekah
bukan upah maka tidak haram.” (Hasyiyah Al Baijuri As Syafi’i
2/311).
Adapun
bagi orang yang memperoleh hadiah atau sedekah daging qurban diperbolehkan
memanfaatkannya sekehendaknya, bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. Akan
tetapi tidak diperkenankan menjualnya kembali kepada orang yang memberi hadiah
atau sedekah kepadanya (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, 69)
Nasehat
& Solusi Untuk Masalah Kulit
Satu
penyakit kronis yang menimpa ibadah qurban kaum muslimin bangsa kita, mereka
tidak bisa lepas dari ‘fiqh praktis’ menjual kulit atau menggaji jagal dengan
kulit. Memang kita akui ini adalah jalan pintas yang paling cepat untuk
melepaskan diri dari tanggungan mengurusi kulit. Namun apakah jalan pintas
cepat ini menjamin keselamatan??? Bertaqwalah kepada Allah wahai kaum muslimin…
sesungguhnya ibadah qurban telah diatur dengan indah dan rapi oleh Sang Peletak
Syari’ah. Jangan coba-coba untuk keluar dari aturan ini karena bisa jadi qurban
kita tidak sah. Berusahalah untuk senantiasa berjalan sesuai syari’at meskipun
jalurnya ‘kelihatannya’ lebih panjang dan sedikit menyibukkan. Jangan pula
terkecoh dengan pendapat sebagian orang, baik ulama maupun yang ngaku-ngaku
ulama, karena orang yang berhak untuk ditaati secara mutlak hanya satu yaitu
Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka
semua pendapat yang bertentangan dengan hadis beliau harus dibuang jauh-jauh.
Tidak
perlu bingung dan merasa repot. Bukankah Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu pernah mengurusi qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
jumlahnya 100 ekor onta?! Tapi tidak ada dalam catatan sejarah Ali bin Abi
thalib radhiallahu
‘anhu bingung ngurusi kulit dan kepala. Demikianlah kemudahan yang
Allah berikan bagi orang yang 100% mengikuti aturan syari’at. Namun bagi mereka
(baca: panitia) yang masih merasa bingung ngurusi kulit, bisa dilakukan
beberapa solusi berikut:
- Kumpulkan semua kulit, kepala, dan kaki hewan qurban. Tunjuk sejumlah orang miskin sebagai sasaran penerima kulit. Tidak perlu diantar ke rumahnya, tapi cukup hubungi mereka dan sampaikan bahwa panitia siap menjualkan kulit yang sudah menjadi hak mereka. Dengan demikian, status panitia dalam hal ini adalah sebagai wakil bagi pemilik kulit untuk menjualkan kulit, bukan wakil dari shohibul qurban dalam menjual kulit.
- Serahkan semua atau sebagian kulit kepada yayasan islam sosial (misalnya panti asuhan atau pondok pesantren). (Terdapat Fatwa Lajnah yang membolehkan menyerahkan bagian hewan qurban kepada yayasan).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, Maka
shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan.” (QS. Al Kautsar: 2)
JAKARTA 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar