Senin, 21 Januari 2013

TAQWAALLAH






                             BERIBADAH menuju TAQWA

Allah berfirman : "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang paling bertaqwa di antara kalian". (Q. s., al-Hujurat: 13).

Makna Taqwa
Kalau kita lacak akar kata 'taqwa' dalam bahasa Arab/Al-Qur'an, ia berasal dari kata 'waqaa-yaqii-wiqaayatan'. Ada pepatah bahasa Arab dalam hal ini yaitu "al-Wiqaayatu khayrun min al-'ilaaj" (Sikap berhati-hati/menjaga kesehatan lebih baik dari pada pergi ke dokter). Jadi makna 'taqwa' dari akar kata bahasa Arabnya adalah 'sikap berhati-hati menjaga diri dari perbuatan dosa sekecil apapun, apalagi dosa besar. Misalnya bagaimana kita yang hidup di kota besar dan bebas seperti Hongkong ini harus 'taqwa', artinya menjaga diri dan berhati-hati dari segala sesuatu yang membuat kita berdosa, seperti ingin coba makan babi, minuman keras, atau lain-lain.

Difinisi Taqwa
Taqwa yang sering di jelaskan oleh para ulama adalah Imtisal al-awaamir Wajtinabu al-Nawahi (melaksanakan apa yang diperintahkan Allah, dan menjauhi segala larangan-Nya). Seperti yang diungkapkan oleh Imam Hasan Al-Bashri bahwa taqwa adalah takut dan menghindari apa yang diharamkan Allah, serta menunaikan apa yang diwajibkan-Nya. Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengartikan taqwa dapat di raih oleh orang-orang yang mampu menjadikan tabir penjaga antara dirinya dan neraka. Pandangan ini secara tidak langsung menyatakan bahwa orang yang bertaqwa tahu hal-hal apa sajakah yang menyebabkan Allah murka dan menghukumnya kelak di neraka.
Suatu hari, seorang sahabat bertanya kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib k.w. tentang apa itu taqwa. Beliau menjelaskan bahwa taqwa itu adalah
1. Takut (kepada Allah) yang diiringi rasa cinta, bukan takut karena adanya neraka.
2. Beramal dengan Alquran yaitu bagaimana Alquran menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari seorang manusia
3. Ridho dengan yang sedikit, ini berkaitan dengan rizki. Bila mendapat rizki yang banyak, siapa pun akan ridho tapi bagaimana bila sedikit? Yang perlu disadari adalah bahwa rizki tidak semata-mata yang berwujud uang atau materi.
4. Orang yg menyiapkan diri untuk "perjalanan panjang", maksudnya adalah hidup sesudah mati.
Taqwa secara umum adalah memelihara diri dari ancaman siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-nya dan menjauhi larangan-Nya. Dapat juga dikatakan bahwa taqwa merupakan kumpulan dari beberapa kebaikan atau kebajikan. Kebajikan yang di maksud adalah menyuruh berbuat baik dan mencegah perbuatan yang mungkar. Dan ketaqwaan itu merupakan keseluruhan sikap yang terdiri dari aspek keimanan, ibadah, sosial, dan akhlak. Dengan demikian taqwa merupakan akumulasi dari hubungan dengan allah, sesama manusia, dengan diri sendiri dan dengan lingkunganya. Kemudian ketaqwaan itu tidak dapat dicapai kecuali dengan pendidikan.
Hakekat Taqwa
Para ulama rahimahullah telah mejelaskan apa yang dimaksud dengan taqwa. Di antaranya, Imam Ar-Raghib Al-Asfahani mendenifisikan : “Taqwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang dilarang, dan menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan” [Al-Mufradat Fi Gharibil Qur’an, hal 531]

Sedangkan Imam An-Nawawi mendenifisikan taqwa dengan “Menta’ati perintah dan laranganNya”. Maksudnya menjaga diri dari kemurkaan dan adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala [Tahriru AlFazhil Tanbih, hal 322]. Hal itu sebagaimana didefinisikan oleh Imam Al-Jurjani “ Taqwa yaitu menjaga diri dari siksa Allah dengan menta’atiNya. Yakni menjaga diri dari pekerjaan yang mengakibatkan siksa, baik dengan melakukan perbuatan atau meninggalkannya” [Kitabut Ta’rifat, hl.68]

Hakikat takwa adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Thalq bin Hubaib, “Takwa adalah engkau melakukan ketaatan kepada Allah berdasarkan nur (petunjuk) dari Allah karena mengharapkan pahala dari-Nya. Dan engkau meninggalkan maksiat kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah karena takut akan siksa-Nya." Sedangkan takwa secara lebih lengkapnya adalah, menjalankan segala kewajiban, menjauhi semua larangan dan syubhat (perkara yang samar), selanjutnya melaksanakan perkara-perkara sunnah (mandub), serta menjauhi perkara-perkara yang makruh(dibenci).

Perintah Bertaqwa

Shahabat Abdullah Ibnu Mas’ud berkata ketika menafsirkan firman Allah surat Ali Imran ayat 102, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya.” Beliau mengatakan, “Hendaklah Dia (Allah) ditaati dan tidak dimaksiati, diingat serta tidak dilupakan, disyukuri dan tidak diing-kari.” (ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 9/92 dan al-Mustadrak 2/294).

Adapun firman Allah surat at-Taghabun ayat 16, "Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”, menurut Imam al-Qurthubi adalah penjelasan dari firman Allah dalam surat Ali Imran 102 di atas. Jadi maknanya adalah, “Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa menurut kesanggupanmu.” Pendapat ini lebih tepat daripada yang mengatakan sebagai nasakh (penghapusan). Karena nasakh hanya dapat dilakukan apabila (dua masalah) sudah tidak mungkin lagi dikompromikan. Jika pengkompromian masih dapat dilakukan, maka itulah yang lebih utama.” (Al-Jami’ liahkamil Qur’an, al-Qurthubi 4/166).

"wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Alloh dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan kalian adalah orang-orang yang berserah diri".(QS. Ali Imron : 102).
Telah berkata Asy Syaikh Sholih Fauzan hafidhohulloh : ( حَقَّ تُقَاتِهِ ) maknanya bahwa manusia, janganlah dia meninggalkan sesuatu dari perkara-perkara yang Alloh Ta'ala telah perintahkan melainkan dia telah mengerjakannya dan bahwa janganlah dia mengerjakan sesuatu dari perkara-perkara yang Alloh Ta'ala telah larang dengan sebab dia menjauhi semua apa-apa yang Alloh telah larang.(wujuubu tatsabut minal akhbar 3)
Penafsiran Abdulloh bin Mas'ud rodhiyallohu 'anhu tentang ( اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ ) Bahwa Alloh itu ditaati dan jangan dimaksiati, Alloh diingat dan jangan dilupakan dan nikmatNya disyukuri dan jangan dikufuri (sanadnya shohih dan atsar ini mauquf kepada beliau, riwayat Ibnu Mardawaih dan Ibnu Abi Hatim di dalam tafsirnya dan Hakim dalam mustadrak 2/294) mauquf bukan marfu',dan telah berkata Ibnu Katsir rohimahulloh dan yang nampak adalah mauquf, lihat zaadul musiir li ibnil jauzy 1/431 surat Ali Imron, dan Ibnu Katsir 1/396.
Barangsiapa yang telah berbuat demikian maka sungguh dia telah bertaqwa kepada Alloh Ta'ala dengan sebenar-benarnya taqwa.
Taqwa ditinjau dari sisi kemampuan sebab tidak seorangpun mampu mengerjakan semua dari apa-apa yang Alloh Ta'ala perintahkan dan tidaklah seorangpun mampu meninggalkan semua dari apa yang telah Alloh Ta'ala larang. Oleh karena inilah QS. Ali Imron ayat 102 membuat para sebagian sahabat isykal (mengganjal) lalu Alloh Ta'ala turunkan perkataannya :
"Maka bertaqwalah kepada Alloh semampu kalian".(QS. At Taghobun : 16)
maka keberadaan ayat ini menjelaskan bagi perkataan Alloh Ta'ala :
"bertaqwalah kepada Alloh dengan sebenar-benarnya taqwa".(QS. Ali Imron : 102)
Maka ketika manusia telah melaksanakan sesuai dengan kemampuannya dari perintah-perintah Alloh Ta'ala dan telah berusaha meninggalkan larangan-laranganNya, maka sesungguhnya Alloh Ta'ala mengampuni terhadap apa yang dia tidak mampui, sebab Alloh Subhanahu tidaklah membebani setiap jiwa melainkan sesuai kemampuannya dan ini termasuk rahmatNya subhanahu wa Ta'ala terhadap hambanya dan bahwasannya Dia tidak membebani mereka dengan sesuatu yang tidak mereka mampui.
Wasiat Bertaqwa
Maka manusia apabila telah berusaha dengan sekuat tenaga untuk taat kepada Alloh 'azza wa jalla dan telah berusaha sekuat tenaga menjauhi dari apa-apa yang telah Alloh Ta'ala larang maka sesungguhnya Alloh Ta'ala memaafkan atas apa-apa yang diluar kemampuannya.
Pentingnya Takwa Ia Merupakan Wasiat Allah kepada Umat Terdahulu dan Umat Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Salam . Firman Allah Subhannahu wa Ta'ala,
“Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertaqwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir, maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. 4:131)

Ini merupakan wasiat yang amat agung kepada umat terdahulu dan yang datang kemudian, yaitu berupa ketakwaan yang di dalamnya mencakup perintah dan larangan, penerapan syari’at dan hukum serta balasan pahala bagi orang yang mau menegakkannya dan ancaman siksa bagi orang yang menyia-nyiakannya.

Makanya Allah menyatakan, “Tetapi jika kamu kafir, maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS. 4:131) Maksud dari firman Allah, Jika kamu kafir menurut al-’allamah as-Sa’di adalah dengan meninggalkan takwa kepada Allah dan menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang sama sekali tidak pernah ada hujah atasnya. Dan yang demikian itu, sama sekali tidak akan memberi madharat, kecuali terhadap diri kamu sendiri. Sedang kepada Allah, tidak sama sekali, tidak pula akan menyebabkan kekuasaan-Nya berkurang. Allah masih mempunyai hamba yang lebih baik daripada kamu, lebih agung dan banyak. Mereka semua taat, tunduk terhadap perintah-Nya. (Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, as-Sa’di hal. 171).


Ia Merupakan Perintah Allah yang Banyak diSebutkan di Dalam Al-Qur’an. Firman Allah Subhannahu wa Ta'ala,
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. 4:1)

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 59:18)

“Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikit pun dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfa’at sesuatu syafa’at kepadanya dan tidak (pula) mereka akan ditolong.” (QS. 2:123)

“Dan jagalah dirimu dari (‘azab) Hari (Kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa’at dan tebusan daripadanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.” (QS. 2:48)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang memerintahkan kita agar bertakwa, takut dan waspada terhadap siksa dan ancaman Allah Subhannahu wa Ta'ala.

Iman dan Taqwa
Dalam Al-Qur'an dijumpai beberapa perintah kepada orang-orang yang beriman agar bertaqwa kepada Allah sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah 278, Ali 'Imran 102, al-Maidah 35, al-Taubah 119, al-Ahzab 70, al-Hadid 28 dan al-Hasyr 18. Perintah-perintah ini mengindikasikan bahwa iman belum mencapai kesempurnaannya tanpa mendapatkan nilai taqwa. Berdasarkan hal ini maka orang-orang yang beriman harus cerdas mencari mediator yang cocok untuk dijadikan jembatan menuju taqwa. Al-Qur'an telah memberikan bimbingan kepada orang-orang Mukmin bahwa mediator yang paling efektif untuk memfasilitasi hubungan iman dengan taqwa adalah ibadah puasa. Ayat-ayat yang berkaitan dengan ibadah ini menekankan agar kehadiran puasa jangan dijadikan sebagai beban tapi harus dijadikan sebagai kebutuhan. Dengan kata lain, pelaksanaan ibadah puasa adalah sebagai media untuk menggiring seorang mukmin menuju tingkat muttaqin.

Efektifnya ibadah puasa sebagai mediator untuk membawa iman menuju taqwa dapat dilihat dalam Al-Qur'an. Ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan dengan puasa dua kali menutup pernyataannya dengan kata 'taqwa' yaitu Q.S. al-Baqarah ayat 183 dan Q.S. al-Baqarah ayat 187. Ayat 183 menegaskan kaitan taqwa dengan kewajiban melaksanakan puasa, sedangkan ayat 187 menjelaskan tentang mekanisme waktu pelaksanaan ibadah puasa. Peran yang dimainkan oleh puasa adalah sebagai mediator yang dapat mengakses kepada dua arah, yaitu akses kepada iman untuk kesempurnaan dan akses kepada taqwa untuk kemantapan dan kemuliaan. Melalui akses ini terjadilah perpaduan antara iman dengan taqwa sehingga keduanya saling mendukung dan saling membutuhkan. Dengan demikian, maka ibadah puasa menggiring pelakunya dari iman menuju taqwa.

Oleh Allah SWT, Taqwa dilukiskan sebagai puncak prestasi hidup yang dapat dilakukan manusia (Al-Hujuraat:13). Dalam Al-Qur’an ditemukan beberapa ayat yang menjelaskan ciri orang yang bertaqwa. Ciri-ciri ini sekaligus merupakan pendefinisian praktis dan aktual bagi taqwa misalnya, dalam surat Al-Baqarah ayat 3 dan 4, taqwa didefinisikan sebagai beriman kepada yang ghaib (iman kepada yang ghaib merupakan dasar yang kokoh bagi kehidupan manusia) dan menyadari serta menghayati terhadap tujuan eksistensial, misi keberadaannya di bumi, dan keyakinan serta konsistensinya dengan nilai-nilai dan aturan yang datang dari Allah. Selain itu taqwa juga dilukiskan sebagai suatu kebajikan yang mencangkup berbagai dimensi kehidupan (Al-Baqarah:177). Taqwa juga digambarkan sebagai upaya peningkatan diri menjadi hamba Allah yang benar-benar menyadari eksistensi dirinya (Ali-Imran:15-17). Karena itu orang bertaqwa selalu berlaku ihsan terhadap segala sesuatu selain selalu berpandangan jauh (Al-Hasyr:18). Perbuatan ihsan yang dilakukannya itu merupakan pencerminan kesadarannya bahwa setiap perbuatan baik selain dapat meningkatkan kualitas dirinya juga dapat melahirkan keluhuran akhlaknya. Perbuatan itu pula sebagai refleksi dari keyakinan bahwa seluruh perbuatannya akan dipertanggungjawabkan diakhirat nanti (Ali-Imran:133-136 dan Al-Anbiyaa’:48-49). Orang yang bertaqwa semua perbuatan yang di lakukan dilandasi oleh nilai kebenaran dengan setulus-tulusnya (Az-Zumar:33).
Karena itu taqwa yang merupakan buah ibadah (pengabdian hanya kepada Allah SWT yang menjadi tujuan eksistensial penciptaannya) dijadikan sebagai misi kenabian yang bersifat langgeng (Nuh:3, Al-‘Ankabuut:16, Huud:78, Asy-Syu’araa’:161-163, Ali-Imran:102). Seluruh dimensi ibadah merupakan tangga maju ketaqwaan. Sedangkan ibadah yang membuahkan taqwa adalah ibadah yang dilandasi tauhid, sebuah keyakinan dan kesaksian bahwa ”tidak ada Ilah, yang patut disembah selain Allah”. Keyakinan ini merupakan pandangan umum tentang realitas wujud, Al-Khaliq yaitu Allah SWT yang kekal, pencipta alam semesta beserta aturan dan permainannya. Al-Khaliq dan Al-makhluq mutlak berbeda dalam wujud maupun dalam eksistensinya.
Seorang Muslim yang telah mengikrarkan kesaksiannya bahwa “tidak ada Ilah, yang patut disembah, selain Allah”, meyakini bahwa finalitas terdiri dari tatanan transendental dan tatanan alamiah (al-Ta’lim al-Islamiyah dan al-Nawamis al-Kauniyah). Tatanan transendental dengan segala nilai yang ada didalamnya dijadikan pedoman untuk mengatur tata kehidupan. Tauhid seorang Muslim bermakna penolakan untuk menundukan kehidupan manusia kepada setiap tuntunan yang bersumber dari Allah SWT dan kesediaan yang total untuk diatur oleh hukum-hukum-Nya.
Iman dan Taqwa yang bersemayam kokoh dalam lubuk hati manusia dapat memancarkan segala mata air kebaikan, melahirkan segala daya dan upaya, memupuk ketinggian cita-cita, memperkokoh tekad dan kemauan, memudahkan segala gerak dan langkah, meringankan beban dan rintangan, menjauhi semua bentuk kesalahan dan menerangi perjalanan kehidupan, serta melahirkan jiwa yang ikhlas. Puncaknya, orang-orang yang bertaqwa, akan memperoleh kepemihakan Allah SWT dalam seluruh dimensi kesejarahan (An-Nahl:127-128, Al-Anfaal:19, At-taubah:36).
Rasulullah SAW suatu ketika pernah menasehati Sayyidina Ali Ibnu Abi Thalib, wahai Ali: Shalatlah apabila telah tiba waktunya karena itu akan menunjukkan engkau sebagai pribadi yang bertaqwa. Nasehat ini kalau dalam  surat An-Nisa sudah di jelaskan bahwa Sesungguhnya Shalat ada pada diri orang-orang yang beriman, dan telah di tetapkan waktunya. Maka wajar kalau baginda Rasulullah SAW dalam beberapa riwayat di katakan, suatu masa beliau sedang berasyik-masyuk, bersenda gurau dengan para istrinya, tetapi apabila tiba waktu shalat (adzan), Kaannahu Lam Ya’rifna Walam Na’rifhu: seakan-akan rasul tidak mengenal kami (para istri), dan kami pun tidak mengenalnya (rasul), beliau langsung menuju masjid untuk memenuhi panggilan-Nya, dan para istrinya pun langsung ikut berjamaah. Demikian dijaganya arti shalat jamaah oleh rasul dan keluarganya.
Besok di akhirat, ada 3 golongan manusia yang berbeda di dalam menjaga shalat jamaah waktu di dunia:
1.      Wujuuhuhum Ka al-Kawakib (Wajah seperti bintang)
Kelompok ini adalah mereka yang apabila mendengar adzan (panggilan shalat), mereka tidak melanjutkan aktivitasnya melainkan segera mengambil air wudlu’ untuk melaksanakan shalat.
2.      Wujuuhuhum Ka al-Qamar (Wajah seperti bulan)
Golongan ini bisa dicapai kepada mereka yang selalu dalam keadaan suci, walaupun belum ada panggilan shalat(adzan).
3.      Wujuuhuhum Ka al-Syams (Wajah seperti Matahari)
Golongan eksekutif yang dapat merasakan kenikmatan ini, karena mereka selalu dalam keadaan suci, dan sudah duduk I’tikaf di dalam masjid walaupun adzan belum berkumandang.
Berbekal Taqwa
Ia Adalah Pakaian Terindah Manusia tidak akan lepas dari kebutuhan terhadap pakaian, sedangkan ketakwaan adalah pakaian yang lebih penting daripada pakaian atau baju yang melekat di badan. Karena pakaian takwa tidak akan pernah rusak dan binasa. Ia akan selalu menyertai seorang hamba sampai kapan pun. Dia adalah keindahan hati dan ruh. Sedang pakaian badan tujuan utamanya adalah untuk menutupi aurat tubuh atau mungkin untuk perhiasan manusia. Jika dalam kondisi terpaksa pakaian badan ini terbuka, maka tak ada bahaya yang begitu berarti, namun kalau pakaian takwa yang terlepas, maka yang akan didapat adalah kehinaan. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman,
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian untuk menutupi ‘auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang baik.” (QS.4 :26)
Pakaian takwa ini senantiasa dibutuhkan orang setiap waktu. Tanpa pakaian ini, seseorang tidak punya arti, kemuliaan dan keberuntungan.
Ia Lebih Penting daripada Makanan dan Minuman
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. 2:197) Ibnu Umar Radhiallaahu anhu berkata, “Sesungguhnya termasuk kemuliaan seseorang adalah membawa bekal yang memadai dalam safar.” (Tafsir al-Qur’anil Azhim, Ibnu Katsir 1/224 dan Taisirul Karimir Rahman, as-Sa’di hal 74). Allah Subhannahu wa Ta'ala memerintahkan untuk berbekal di dalam bepergian karena dengan berbekal, seseorang tidak mungkin meminta-minta kepada orang lain yang berarti ia telah menjaga serta menghormati harta mereka. Dengan berbekal, seseorang juga dapat menolong orang lain, yang sama-sama sedang bepergian. Ketika Allah memerintahkan untuk berbekal dalam bepergian, maka Dia juga menyuruh untuk membawa bekal yang hakiki yaitu bekal menuju akhirat dengan membawa ketakwaan untuk menuju ke sana. Ia adalah bekal yang berkesinambungan manfaatnya, baik ketika di dunia mau pun kelak di akhirat. Ketakwaan merupakan bekal menuju kampung abadi di surga kelak, dia akan mengantarkan seseorang menuju kenikmatan yang sempurna dan kebahagiaan yang sesungguhnya. Maka barangsiapa yang tidak mau membawa bekal ketakwaan, ia akan terputus dan akan menjadi mangsa berbagai macam perbuatan jahat dan buruk. Dan terhalanglah ia untuk sampai ke Surga-Nya yang abadi, wal ‘iyadzu billah.
Balasan bagi orang-orang yang bertaqwa :
1.Diberikan furqon dan diampuni dosanya
2.Diberikan rahmat dan cahaya hidayah dari Allah
3.Diberikan jalan keluar dan rizki dari arah yang tidak disangka
4.Dimudahkan dari segala urusan
5.Ditutup dari kesalahan dan digandakan pahala baginya
6.Mendapatkan berkah dari Allah
Jalam menuju taqwa :
1.Muahadah ( Mengingat perjanjian dengan Allah)
2.Muraqabatullah (Merasa kehadiran/kesertaan Allah)
3.Muraqabatullah dalam melaksanakan ketaatan : ikhlas
4.Muraqabatullah dalam kemaksiatan : taubat, penyesalan dan meninggalkannya
5.Muraqabatullah dalam hal yang mubah : menjaga adab-adab terhadap Allah
6.Muraqabatullah dalam musibah : ridho kepada ketentuan Allah.
7.Muhasabah (Instropeksi diri)
8.Mu’aqobah (Pemberian sangsi)
9.Mujahadah (Optimalisasi)
Abi Naufal (21/1/2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman