Jumat, 11 Januari 2013

MUHASABAH

BERMUHASABAH

Dari Syadad bin Aus r.a., dari Rasulullah saw., bahwa beliau berkata, ‘Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt. (HR. Imam Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan’)

Perintah Evaluasi Diri


"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah tiap-tiap diri memperhatikan apa yang dipersiapkan untuk hari esok." (QS Al-Hasyr 59: 18)

Ayat di atas sangat jelas mengandung perintah Allah SWT kepada orang-orang yang beriman agar memperhatikan kembali apakah amal perbuatan yang dilakukannya mendatangkan manfaat untuk kehidupan akhirat atau tidak. Jika terdapat pada amal perbuatannya sesuatu yang diyakini bermanfaat untuk kehidupan akhirat maka dia patut bersyukur. Akan tetapi, jika tidak, maka dia patut menyesali dan segera melakukan tobat kepada Allah SWT.

Seorang yang beriman dan berakal seharusnya lebih bersungguh-sungguh menghisab diri dan perbuatannya. Karena semua itu berkaitan dengan kesengsaraan atau kebahagiaan yang kekal abadi di akhirat. Umar bin Khaththab RA berkata, ''Hisablah dirimu sendiri sebelum kamu dihisab di akhirat kelak. Timbang-timbanglah amal perbuatanmu sebelum ia ditimbang di akhirat.'' (Riwayat Abu Nuaim dalam Al-Hilyah).

Dalam riwayat lain, Umar RA setiap menjelang malam memukul kedua kakinya dengan cambuk seraya berkata kepada dirinya sendiri, ''Apa yang sudah kukerjakan hari ini.'' Perbuatan Umar bin Khaththab jelas merupakan manifestasi dari muhasabah (menilai kembali tindak-tanduk dan amal perbuatan).

Makna Muhasabah

Muhasabah atau introspeksi diri adalah kata yang hakikatnya sering disalahpahami mayoritas orang. Mereka beranggapan introspeksi diri adalah mengingat perbuatan dosa yang telah dilakukan, dengan menyesali dan menangisinya.

Padahal, pengertian tersebut bukanlah termasuk ke dalam muhasabah. Namun itu adalah salah satu dari syarat-syarat taubatan nasuhan (taubat yang murni). Merujuk kepada hadis Rasulullah SAW tentang hakikat muhasabah, akan kita temukan yang dimaksud dengan muhasabah adalah memaksakan diri dan menundukkannya agar taat melaksanakan semua perintah Allah SWT sebagai bekal di akhirat.

Rasulullah SAW menyebut orang seperti itu dengan sebutan 'orang yang berakal'. ''Orang yang berakal adalah orang yang memaksa dirinya untuk taat kepada Allah SWT dan berbuat (mempersiapkan bekal) bagi akhirat, sedangkan orang yang lemah adalah orang yang membiarkan dirinya mengikuti hawa nafsu kemudian berangan-angan agar Allah mengampuninya.'' (HR At Tirmidzi).

Muhasabahnya Rasulullah S.A.W

Muhasabah menurut Rasulullah SAW sama artinya dengan jihad nafs atau jihad memerangi dan mengekang hawa nafsu. Rasulullah SAW dalam sabdanya yang lain menegaskan jihad nafs adalah salah satu jihad paling besar dan termasuk ke dalam hakikat seorang mujahid. ''Mujahid adalah orang yang mengekang jiwanya untuk taat kepada perintah Allah.'' (HR Ahmad).

Dari pengertian di atas, jelas bahwa hakikat muhasabah bukan mengingat dosa-dosa yang telah lalu, kemudian menyesali dan menangisinya. Namun, hakikat muhasabah adalah memaksakan diri untuk taat melaksanakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangannya.

Hikmah Muhasabah

Karenanya, Umar bin Al Khatab pernah berkata, ''Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, karena sesungguhnya hisab pada hari kiamat adalah ringan bagi orang-orang yang menghisab dirinya di dunia.'' Maksudnya adalah tundukkanlah diri kalian agar patuh melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi larangannya karena dengan cara inilah hisab kalian akan ringan pada hari kiamat.

Urgensi Muhasabah

Imam Turmudzi setelah meriwayatkan hadits di atas, juga meriwayatkan ungkapan Umar bin Khattab dan juga ungkapan Maimun bin Mihran mengenai urgensi dari muhasabah.

1. Mengenai muhasabah, Umar r.a. mengemukakan:

‘Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.

Sebagai sahabat yang dikenal ‘kritis’ dan visioner, Umar memahami benar urgensi dari evaluasi ini. Pada kalimat terakhir pada ungkapan di atas, Umar mengatakan bahwa orang yang biasa mengevaluasi dirinya akan meringankan hisabnya di yaumul akhir kelak. Umar paham bahwa setiap insan akan dihisab, maka iapun memerintahkan agar kita menghisab diri kita sebelum mendapatkan hisab dari Allah swt.

2. Sementara Maimun bin Mihran r.a. mengatakan:

‘Seorang hamba tidak dikatakan bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisab pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya’.

Maimun bin Mihran merupakan seorang tabiin yang cukup masyhur. Beliau wafat pada tahun 117 H. Beliaupun sangat memahami urgensi muhasabah, sehingga beliau mengaitkan muhasabah dengan ketakwaan. Seseorang tidak dikatakan bertakwa, hingga menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri. Karena beliau melihat salah satu ciri orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa mengevaluasi amal-amalnya. Dan orang yang bertakwa, pastilah memiliki visi, yaitu untuk mendapatkan ridha Ilahi.

3. Urgensi lain dari muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir akan datang menghadap Allah swt. dengan kondisi sendiri-sendiri untuk mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya. Allah swt. menjelaskan dalam Al-Qur’an: “Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” [QS. Maryam (19): 95, Al-Anbiya’ (21): 1].

Perhitungkan Amal !

Terdapat beberapa aspek yang perlu dimuhasabahi oleh setiap muslim, agar ia menjadi orang yang pandai dan sukses.

1.Aspek Ibadah

Pertama kali yang harus dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah. Karena ibadah merupakan tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi ini. [QS. Adz-Dzaariyaat (51): 56]

2. Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki

Aspek kedua ini sering kali dianggap remeh, atau bahkan ditinggalkan dan ditakpedulikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Karena sebagian menganggap bahwa aspek ini adalah urusan duniawi yang tidak memberikan pengaruh pada aspek ukhrawinya. Sementara dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda:

Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda, ‘Tidak akan bergerak tapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara; umurnya untuk apa dihabiskannya, masa mudanya, kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia memperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, dan ilmunya sejauh mana pengamalannya.’ (HR. Turmudzi)

3.Aspek Kehidupan Sosial Keislaman

Aspek yang tidak kalah penting untuk dievaluasi adalah aspek kehidupan sosial, dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab dengan sesama manusia. Karena kenyataannya aspek ini juga sangat penting, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw. dalam sebuah hadits:

Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?’ Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain. Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)

Melalaikan aspek ini, dapat menjadi orang yang muflis sebagaimana digambarkan Rasulullah saw. dalam hadits di atas. Datang ke akhirat dengan membawa pahala amal ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu, ia juga datang ke akhirat dengan membawa dosa yang terkait dengan interaksinya yang negatif terhadap orang lain; mencaci, mencela, menuduh, memfitnah, memakan harta tetangganya, mengintimidasi dsb. Sehingga pahala kebaikannya habis untuk menutupi keburukannya. Bahkan karena kebaikannya tidak cukup untuk menutupi keburukannya tersebut, maka dosa-dosa orang-orang yang dizaliminya tersebut dicampakkan pada dirinya. Hingga jadilah ia tidak memiliki apa-apa, selain hanya dosa dan dosa, akibat tidak memperhatikan aspek ini. Na’udzubillah min dzalik.

4. Aspek Dakwah

Aspek ini sesungguhnya sangat luas untuk dibicarakan. Karena menyangkut dakwah dalam segala aspek; sosial, politik, ekonomi, dan juga substansi dari da’wah itu sendiri mengajak orang pada kebersihan jiwa, akhlaqul karimah, memakmurkan masjid, menyempurnakan ibadah, mengklimakskan kepasrahan abadi pada ilahi, banyak istighfar dan taubat dsb.

Tetapi yang cukup urgens dan sangat substansial pada evaluasi aspek dakwah ini yang perlu dievaluasi adalah, sudah sejauh mana pihak lain baik dalam skala fardi maupun jama’i, merasakan manisnya dan manfaat dari dakwah yang telah sekian lama dilakukan? Jangan sampai sebuah ‘jamaah’ dakwah kehilangan pekerjaannya yang sangat substansial, yaitu dakwah itu sendiri.

Evaluasi pada bidang dakwah ini jika dijabarkan, juga akan menjadi lebih luas. Seperti evaluasi dakwah dalam bidang tarbiyah dan kaderisasi, evaluasi dakwah dalam bidang dakwah ‘ammah, evaluasi dakwah dalam bidang siyasi, evaluasi dakwah dalam bidang iqtishadi, dsb?
Pada intinya, dakwah harus dievaluasi, agar harakah dakwah tidak hanya menjadi simbol yang substansinya telah beralih pada sektor lain yang jauh dari nilai-nilai dakwah itu sendiri. Mudah – mudahan ayat ini menjadi bahan evaluasi bagi dakwah yang sama-sama kita lakukan: Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [QS. Yusuf (12): 108]

Manfaatkan Waktu !

Imam Al-Ghazali dalam hal ini berkata, ''Ketahuilah jika seorang hamba memiliki waktu di pagi hari untuk mendengarkan nasihat-nasihat kebenaran, maka seharusnya dia juga memiliki waktu di sore hari untuk menghisab dirinya. Dia mesti merenungi kembali seluruh gerak-gerik dan perbuatannya sepanjang hari. Ke mana saja dia bergerak, sehari itu, dalam perkara apa dia bergerak, dan untuk tujuan apa pula dia bergerak?''

''Tirulah perbuatan para pedagang yang memperhitungkan seluruh aktivitas perdagangannya setiap hari, setiap bulan, dan setiap tahun. Mereka melakukan semua perhitungan itu karena menginginkan materi keduniaan dan takut kehilangan sedikit pun dari harta perdagangannya. Padahal dia mengetahui bahwa semua yang diusahakannya secara sungguh-sungguh itu pada akhirnya akan hilang (fana) juga.''

Pada suatu hari seorang laki-laki mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, ''Wahai Rasulullah berilah wasiat kepadaku.'' Rasul menjawab, ''Benarkah engkau mau menerima wasiatku?'' Lelaki itu menjawab, ''Ya''. Maka Rasulullah bersabda, '' Jika kamu sedang melakukan suatu urusan penting maka perhatikanlah baik-baik. Jika kamu rasa urusan itu dapat mendatangkan petunjuk (hidayah) untukmu maka teruskanlah. Namun jika kamu rasa urusan tersebut akan melalaikanmu maka hentikan.''

Muhammad SAW beristighfar setiap hari kepada Allah sebanyak 100 kali. Padahal beliau adalah ma'shum dan mahfudz, yakni dijaga oleh Allah SWT dari perbuatan dosa baik yang kecil maupun besar. Karena itu, kita sebagai makhluk yang setiap hari tak luput dari alpa dan dosa sudah semestinya melakukan muhasabah dan bertobat. Semoga kita selalu mendapat perlindungan dan petunjuk dari Allah SWT.

Marilah kita bergegas melaksanakan hakikat muhasabah yaitu dengan mengerjakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangannya, agar di akhirat kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang hisabnya ringan. Wallahu a'lam bish-shawab.

Abi Naufal (8-2-2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman