Jumat, 18 Januari 2013

MENYEBUT Allah

Berdzikir
TENANG HATI
Allah swt berfirman, "(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram."  (QS. Ar-Ra’d: 28).

Syekh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah telah menyebutkan manfaat-manfaat dzikir dalam kitabnya, Al-Wabil ash-Shayyib. Di antara faidah-faidah dzikir yang begitu agung, menurut Ibnul Qayyim, adalah dzikir dapat mendatangkan kebahagiaan, kegembiraan, dan kelapangan bagi orang yang melakukannya, serta dapat melahirkan ketenangan dan ketenteraman di dalam hati orang yang melakukannya. Sebagaimana firman Allah di atas.

Perintah Berdzikir

Allâh SWT. telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berdzikir kepada-Nya, sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Baqarah (2) : 152 :

“Maka berdzikirlah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan ingat kepada kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku”.

Anas bin Malik r.a. telah meriwayatkan bahwa Rasulûll

Allâh Yang Maha Mulia dan Maha Agung berfirman : “Wahai Ibnu Adam, apabila engkau berdzikir (mengingat dan menyebut) Aku di dalam diri-mu, maka Aku-pun akan mengingat-mu dalam diri-Ku. Dan jika engkau berdzikir (mengingat dan menyebut) Aku di tengah-tengah kelompok yang mulia, maka Aku-pun akan mengingat dan menyebut-mu di tengah-tengah para Malaikat yang mulia……”.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsîr juz I hal. 197)

Arti lain dari kata Dzakara ialah : “Mengerti dan Memahami”. Jadi, bila dikatakan :

“(Ia) Mengerti dan memahami perkara itu”

Orang yang paham dan memiliki pengertian atau pengetahuan yang dalam disebut “Ahludz-Dzikri” sebagaimana disebut dalam Al-Qur-ân surah An-Nahl (16) : 43 :

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu (Muhammad), kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan (Ahludz-Dzikri) jika kalian tidak mengetahui”.

Dan juga dalam surah Al-Anbiya (21) : 7 :

“Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah oleh-mu kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan (Ahludz-Dzikri) jika kalian tidak mengetahui”.

Jadi, arti Adz-Dzikr dalam konteks ini ialah “Pengetahuan” atau “Ilmu”. Itulah sebabnya Al-Qur-’ân disebut Adz-Dzikr karena ia mengandung ilmu pengetahuan yang sempurna yang mencakup kehidupan dunia dan akhirat sebagaimana disebut dalam surah Al-Hijr (15) : 9 :

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Adz-Dzikr (Al-Qur-‘ân), dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsîr juz II hal. 547)

Berdasarkan ayat-ayat ini, Abu Ja’far Al-Baqir menegaskan bahwa umat Muhammad saw. adalah Ahlu-Dzikri, karena umat ini memiliki –sumber– pengetahuan yang paling lengkap dan sempurna dibanding umat-umat sebelumnya, yaitu : Al-Qur-’ânul-Karîm.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsîr juz II hal. 570)

Makna Dzikrullah

Kata Arab untuk ingatan ialah dzikr. Ada beberapa
jenis atau tingkatan ingatan. Ada ingatan akan hal-hal fisik yang berada di depan kita,
dan ada ingatan akan hasrat, kecemasan, dan sebagainya.

Sepanjang jalan rohani, ingatan berhubungan dengan apa yang berada dalam fitrah manusia.Yakni ingatan akan Hakikat Allah Yang Mahakuasa, Sumber segala wujud dan sifat. Sumber itu berada dalam diri setiap orang. Pada jalan sufi, orang dituntut untuk tidak mengingat segala sesuatu lainnya yang dapat dilihat, segala sesuatu selain Allah, untuk kembali kepada ingatan yang sejati, Allah. Kata Arab untuk ingatan kepada Allah ialah Dzikrullah.

Jadi, ingatan sejati akan Allah telah ada dalam setiap hati, baik orang menyadarinya atau tidak. Melalui bimbingan seorang guru rohani, si pencari dibawa ke luar, ke suatu tingkatan di mana tidak ada ingatan akan apa pun yang dapat disebutkan. Kemudian apa yang telah selalu ada di sana, meliputi segala sesuatu, dialami dan disaksikan dengan jelas. Tujuan praktik sufi adalah untuk secara spontan sadar akan hakikat mutlak seraya tetap menyadari keterbatasan fisik dan material dari dunia fenomena yang mengelilingi kita. Yang pertama adalah kesadaran batin di luar indera, dan yang kedua adalah kesadaran lahiriah yang berdasarkan indera. Jadi, tujuan seorang guru sufi ialah memberikan praktik- praktik yang sesuai kepada muridnya dan mengawasi hasilnya.

Jenis Dzikir

Sebagian ulama lain membagi dzikir menjadi dua yaitu: dzikir dengan lisan, dan dzikir di dalam hati. Dzikir lisan merupakan jalan yang akan menghantar pikiran dan perasaan yang kacau menuju kepada ketetapan dzikir hati; kemudian dengan dzikir hati inilah semua kedalaman ruhani akan kelihatan lebih luas, sebab dalam wilayah hati ini Allah akan mengirimkan pengetahuan berupa ilham.

Imam Al Qusyairi mengatakan: "Jika seorang hamba berdzikir dengan lisan dan hatinya, berarti dia adalah seorang yang sempurna dalam sifat dan tingkah lakunya."

Dzikir kepada Allah bermakna, bahwa manusia sadar akan dirinya yang berasal dari Sang Khalik, yang senantiasa mengawasi segala perbuatannya. Dengan demikian manusia mustahil akan berani berbuat curang dan maksiat dihadapan-Nya. Dzikir berarti kehidupan, karena manusia ini adalah makhluq yang akan binasa (fana), sementara Allah senantiasa hidup, melihat, berkuasa, dekat, dan mendengar, sedangkan menghubungkan (dzikir) dengan Allah, berarti menghubungkan dengan sumber kehidupan ( Al Hayyu).

Imam Nawawi (rahimahullâh) mengatakan bahwa dzikir itu dapat dilakukan dengan hati atau dengan lisan. Akan tetapi lebih afdhal bila dilakukan dengan keduanya. Namun, bila ingin memilih diantara kedua hal itu, maka lebih afdhal bila dilakukan dengan hati. Di samping itu tidak layak bagi seseorang untuk meninggalkan dzikir dengan lisan dan hati hanya karena kuatir dituduh riya (pamer). Jadi, dzikir dengan hati dan lisan itu harus tetap dilakukan dengan niat semata-mata karena Allâh SWT.
(Al-Adzkar hal. 6)

Namun, Imam Nawawi juga menegaskan bahwa yang dimaksud dzikir di sini ialah hadirnya hati. Maka sudah sepantasnya bagi setiap orang yang melakukan dzikir untuk menyadari bahwa itulah tujuannya sehingga timbul keinginan untuk meraih hasilnya dengan mentadabbur ucapan-ucapan dzikirnya serta memikirkan makna-maknanya. Karena tadabbur atau tafakkur (merenung) dalam berdzikir merupakan keharusan sebagaimana ketika ia membaca Al-Qur-ân karena kedua-duanya memiliki maksud dan tujuan yang sama. (Al-Adzkar hal. 9)

Sepanjang jalan rohani, ingatan berhubungan dengan apa yang berada dalam fitrah manusia.Yakni ingatan akan Hakikat Allah Yang Mahakuasa, Sumber segala wujud dan sifat. Sumber itu berada dalam diri setiap orang. Pada jalan sufi, orang dituntut untuk tidak mengingat segala sesuatu lainnya yang dapat dilihat, segala sesuatu selain Allah, untuk kembali kepada ingatan yang sejati, Allah. Kata Arab untuk ingatan kepada Allah ialah Dzikrullah.

Jadi, ingatan sejati akan Allah telah ada dalam setiap hati, baik orang menyadarinya atau tidak. Melalui bimbingan seorang guru rohani, si pencari dibawa ke luar, ke suatu tingkatan di mana tidak ada ingatan akan apa pun yang dapat disebutkan. Kemudian apa yang telah selalu ada di sana, meliputi segala sesuatu, dialami dan disaksikan dengan jelas. Tujuan praktik sufi adalah untuk secara spontan sadar akan hakikat mutlak seraya tetap menyadari keterbatasan fisik dan material dari dunia fenomena yang mengelilingi kita. Yang pertama adalah kesadaran batin di luar indera, dan yang kedua adalah kesadaran lahiriah yang berdasarkan indera. Jadi, tujuan seorang guru sufi ialah memberikan praktik- praktik yang sesuai kepada muridnya dan mengawasi hasilnya.

Dzikrullah dapat dilakukan dengan dua cara, dengan mengingat Allah dan banyak berdzikir dengan bertasbih, bertahmid, bertahlil (mengucapkan Laa ilaha illallaah), ataupun bertakbir. Dan dengan memahami makna-makna Alquran dan hukum-hukumnya. Karena di dalam Alquran terdapat dalil-dalil dan petunjuk-petunjuk yang jelas, serta bukti kebenaran yang nyata.

Namun, yang amat disayangkan, masih banyak kaum Muslimin yang belum memahami hal ini. Bahkan, untuk mendapatkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa, justru mencari-cari solusi selainnya. Padahal kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa yang hakiki tidaklah mungkin dihasilkan melainkan hanya dengan dzikrullah.

Menurut Syekh Ibnul Qayyim, sesungguhnya, hati tidak akan (merasakan) ketenangan, ketenteraman, dan kedamaian, melainkan jika pemiliknya berhubungan dengan Allah SWT (dengan melakukan ketaatan kepada-Nya).

"Barangsiapa yang tujuan utama (dalam hidupnya), kecintaannya, rasa takutnya, dan ketergantungannya hanya kepada Allah, maka ia telah mendapatkan kenikmatan dari-Nya, kelezatan dari-Nya, kemuliaan dari-Nya, dan kebahagiaan dari-Nya untuk selama-lamanya," jelas Ibnul Qayyim.

Penjelasan ini juga menujukkan pemahaman, bahwa jika seseorang meninggalkan ketaatan kepada Allah SWT, atau bahkan bermaksiat kepada-Nya, maka hatinya akan sempit, gersang, selalu gelisah, resah, dan gundah. Adapun kemaksiatan yang terbesar adalah syirik, dan Allah tidak akan mengampuni orang yang berbuat syirik sampai ia bertaubat sebelum ia mati.

"Orang yang paling mulia jiwanya, yang paling tinggi derajatnya dalam merasakan kelezatan (dalam hatinya), adalah (orang yang paling) mengenal Allah, yang paling mencintai Allah, yang paling rindu dengan perjumpaan dengan-Nya, dan yang paling (kuat) mendekatkan dirinya kepada-Nya dengan segala hal yang dicintai dan diridhai oleh-Nya," papar Ibnul Qayyim.

Itulah dzikrullah dan tha’atullah (taat kepada Allah), sebagai kunci utama untuk membuka hati seseorang dalam merealisasikan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwanya.

Sedangkan tingkatan tha’atullah yang paling tinggi dan agung adalah tauhidullah (mentauhidkan Allah). Dan (sebaliknya), tingkatan maksiat yang paling besar dosanya dan paling buruk akibatnya, adalah asy-syirku billah (menyekutukan Allah SWT).

Dengan kata lain, orang yang paling berbahagia, tenteram, dan tenang jiwanya adalah seorang Muslim yang bertauhid dan merealisasikan tauhidnya dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan orang yang paling sengsara hidupnya di dunia ini, dan tidak merasakan kebahagiaan, ketenangan, dan ketenteraman jiwa yang hakiki dan abadi, adalah orang yang musyrik dan bermaksiat kepada Allah SWT.

Fadhilah Dzikir

"Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu (jiwamu) dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai." (Qs Al A'Raaf:205)

Aku hadapkan wajahku kepada wajah yang menciptakan langit dan bumi, dengan lurus. Aku bukanlah orang yang berbuat syirik, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku kuserahkan (berserah diri) kepada Tuhan sekalian Alam ...

Adapun hitungan-hitungan lafadz, seperti membaca Asmaul Husna, membaca Al Qur'an, shalat, haji, zakat, dll, merupakan bagian dari sarana dzikrullah, bukan dzikir itu sendiri, yaitu dalam rangka menuju penyerahan diri (lahir dan bathin) kepada Allah. Tidak ada kemuliaan yang lebih tinggi dari pada dzikir dan tidak ada nilai yang lebih berharga dari usaha menghadirkan Allah dalam hati, bersujud karena keagungan-Nya, dan tunduk kepada semua perintah-Nya serta menerima setiap keputusan-Nya Yang Maha Bijaksana

Dzikir berarti cinta kepada Allah, tidak ada tingkatan yang lebih tinggi diatas kecintaan kepada Allah ..., maka berdzikirlah kamu (dengan menyebut ) Allah, sebagaimana kamu ingat kepada orang tua kalian, atau bahkan lebih dari itu ... (Al Baqarah: 200)

"Katakanlah, jika bapak-bapak, anak&endash;anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik." (Qs. At Taubah:24 )

Pada tatanan spiritualitas Islam, dzikrullah merupakan kunci membuka hijab dari kegelapan menuju cahya Ilahy. Al Qur'an menempatkan dzikrullah sebagai pintu pengetahuan makrifatullah, sebagaimana tercantum dalam surat Ali Imran 190-191.

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, atau sambil duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka"

Kalimat "yadzkurunallah" orang-orang yang mengingat Allah, didalam 'tata bahasa arab' berkedudukan sebagai ma'thuf (tempat bersandar) bagi kalimat-kalimat sesudahnya, sehingga dzikrullah merupakan dasar atau azas dari semua perbuatan peribadatan baik berdiri, duduk dan berbaring serta merenung (kontemplasi). Dengan demikian praktek dzikir termasuk ibadah yang bebas tidak ada batasannya. Bisa sambil berdiri, duduk, berbaring, atau bahkan mencari nafkah untuk keluarga sekalipun bisa dikatakan berdzikir, jika dilandasi karena ingat kepada Allah. Juga termasuk kaum intelektual yang sedang meriset fenomena alam, sehingga menemukan sesuatu yang bermanfaat bagi seluruh manusia.

Salah satu keistimewaan ibadah dzikrullah adalah bahwa, ia merupakan ibadah yang paling mungkin dilaksanakan di segala situasi, kondisi, tempat, waktu, kedaan dan lain-lain, dengan hampir tanpa penghalang atau kendala kecuali dari dalam diri sendiri. Maka maklum jika perintah dan contohnya adalah dzikir sebanyak-banyaknya di segala keadaan. Dan oleh karenanya pula, ibadah dzikrullah juga bisa berfungsi sebagai penutup kekurangan dan pengganti (dari aspek pahala, dan bukan secara hukum) bagi ibadah-ibadah lain yang terlewatkan penunaiannya. Dari Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang laki-laki berkata; wahai Rasulullah, sesungguhnya syari’at-syari’at Islam telah (terasa) banyak bagiku (sehingga aku takut tidak bisa memenuhinya semuanya), maka beritahukan kepadaku sesuatu (amalan) yang dapat aku jadikan sebagai pegangan (yang bisa menutup kekurangan-kekuranganku)! Beliau bersabda: “Hendaknya senantiasa lidahmu basah karena berdzikir kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Berdzikir Berarti Hidup

Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu dia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Permisalan orang yang berdzikir mengingat Rabb-nya (Tuhan-nya) dan orang yang tidak berdzikir mengingat Rabb-nya seperti (perbandingan antara) orang yang hidup dan yang mati.” (HR. Al-Bukhari).

Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim mengibaratkan dzikrullah (berdzikir kepada Allah) bagi seorang mukmin adalah seperti peran nafas bagi makhluk hidup atau layaknya fungsi air bagi ikan. Maka seorang muslim atau muslimah yang tidak berdzikir adalah ibarat seseorang yang sudah tidak bernafas atau bagaikan ikan yang dijauhkan dari air, apa jadinya? Tentu saja mati, bukan? Karena memang hidup hakiki dalam konsep Islam adalah ketika seseorang itu senantiasa sambung dan berhubungan dengan Allah melalui dzikir yang banyak dan benar, serta melalui berbagai ketaatan yang lain.

Oleh karena itu, Teladan kita Baginda Sayyidina Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dulu senantiasa berdzikir kepada Allah dalam segala kondisi, situasi dan keadaan. Dari Aisyah dia berkata, “Dahulu semasa hidup, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, selalu berdzikir kepada Allah dalam semua keadaannya.” (HR. Muslim).

Dzikir Sebanyak-banyaknya.

Terdapat banyak sekali perintah dan anjuran agar kita senantiasa berdzikir kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya dalam segala kondisi dan situasi, dengan kedua arti dan esensi dzikir yang telah disebutkan diatas. “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah, dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang” (QS. Al-Ahzaab: 41-42). “Apabila telah ditunaikan shalat (Jum’at), maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan berdzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung” (QS. Al-jumu’ah: 10). “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal (ulul albab); (yaitu) orang-orang yang senantiasa berdzikir mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring, dan mereka juga selalu bertafakkur memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berucap): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini semua dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali ‘Imraan: 190-191).

Ringan Di Lisan, Berat Dalam Timbangan.

Meskipun ringan dilaksanakan bagi yang sudah terbiasa, namun nilai ibadah dzikrullah sangatlah tinggi dan istimewa, serta besar dan berlipat-ganda pahala juga balasannya di sisi Allah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya dzikir mengingat Allah (dalam shalat dan lainnya) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain), dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-’Ankabuut: 45). Dari Abu Hurairah dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: ‘Sesungguhnya membaca dzikir: Subhaanallah, al-hamdu lillah, laa ilaaha illallah, dan Allahu akbar, adalah lebih aku cintai daripada semua yang terkena oleh sinar matahari.(maksudnya bumi seisinya)” (HR. Muslim). Seperti misalnya dzikir tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dan lain-lain, adalah dzikir-dzikir dengan nilai pahala sedekah yang sangat tinggi dan luar biasa sekali. Dari Abu Dzar bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah menguasai dan mendominasi seluruh pahala. Mereka shalat seperti kami shalat dan puasa seperti kami puasa, namun (selain itu) mereka bisa bersedekah dengan sisa harta mereka (sementara kami yang miskin tidak bisa)” Maka beliau pun bersabda: “Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara bagi kalian untuk bisa bersedekah pula (seperti mereka)? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, ber-amar bilma’ruf adalah sedekah, ber-nahi ‘anil munkar adalah sedekah, bahkan pada aktivitas hubungan suami istri seorang dari kalian pun terdapat nilai sedekah.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, ketika salah seorang diantara kami menyalurkan nafsu syahwatnya, apakah juga akan mendapatkan pahala?” Beliau menjawab: “Bagaimana sekiranya ia melampiaskannya secara haram, bukankah berdosa? Begitupun sebaliknya, bila ia melampiaskannya secara halal, maka tentu iapun akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim). Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Ada dua kalimat yang ringan di lisan, berat dalam timbangan, dan disukai oleh Allah Dzat Ar- Rahman yaitu: Subhaanallahil-’adziim dan Subhanallah wabihamdihi.” (HR. Muttafaq ‘alaih).

Dzikrullah merupakan sarana pembangkitan kesadaran diri yang tenggelam, oleh sebab itu dzikir lebih komprehensif dan umum dari berpikir. Karena dzikir melahirkan pikir serta kecerdasan jiwa yang luas, maka dzikrullah tidak bisa hanya diartikan dengan menyebut nama Allah, akan tetapi dzikrullah merupakan sikap mental spiritual mematuhkan dan memasrahkan kepada Allah Swt.

Zaid bin Aslam menceritakan bahwa Nabi Musa a.s. pernah bertanya kepada Allâh : “Wahai Rabb-ku, bagaimanakah cara aku bersyukur kepada-Mu?”. Maka Allâh SWT. menjawab :

“Berdzikirlah engkau senantiasa kepada-Ku dan jangan engkau lalai dari-Ku. Maka jika engkau berdzikir kepada-Ku berarti engkau telah bersyukur kepada-Ku. Dan jika engkau lalai dari-Ku berarti engkau telah kufur kepada-Ku”.

Abi Naufal (18/1/2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman